Orang Miskin Dilarang Jadi Presiden

Aliran dana DKP kepada sejumlah capres pada Pemilu 2004 harus diselesaikan
secara hukum, tanpa harus memandang siapa dan jabatan apa yang ada di
belakang mantan capres itu.

Oleh: M Rifqinizamy Karsayuda
Staf pengajar FH Unlam

Satu minggu terakhir ini, pemberitaan di berbagai media massa diwarnai kasus
dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang melibatkan
Rokhmin Dahuri. Dana nonbudgeter DKP itu, konon mengalir ke berbagai pihak
termasuk calon presiden (capres) pada Pemilu 2004 lalu.

Tak sedikit mantan capres yang tak mengakui menerima dana dari DKP tersebut,
namun ada juga yang mengakuinya. Adalah Amien Rais, orang yang kali pertama
mengakui hal itu secara terbuka. Bahkan, Amien membuka wacana baru bahwa
beberapa capres pada Pemilu 2004 juga menerima sejumlah dana dari luar
negeri.

Kasus dana DKP yang 'melibatkan' capres di pemilu lalu, membuat kasus ini
bukan hanya menjadi kasus hukum namun juga politik yang dapat menjadi
blunder bagi banyak pihak.

UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
sesungguhnya telah memberikan batasan perihal dana kampanye. Jika benar
beberapa capres menerima dana dari DKP yang notabene adalah bagian dari
pemerintah, maka capres dimaksud jelas melanggar larangan perihal dana
kampanye sebagaimana ditegaskan dalam pasal 45 UU 23/2003 ini.

Pasal 45 tersebut menegaskan: Pasangan calon dilarang menerima sumbangan
atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari: (a) negara asing,
lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara
asing; (b) penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya;
(c) pemerintah, BUMN dan BUMD.

Ketentuan tersebut juga menegaskan, tidak dibenarkan seorang capres dan/atau
cawapres menerima bantuan dari luar negeri, baik dari pemerintah maupun
lembaga swasta dan perorangan dari luar negeri sebagaimana 'nyanyian' Amien
Rais atas capres yang lain.

Bagaimana jika capres pada Pemilu 2004 menganggap dana yang diberikan
Rokhmin adalah milik pribadi, bukan milik DKP? Kalau itu yang dijadikan
dalil, maka hal tersebut juga merupakan satu bentuk pelanggaran atas UU ini.

Sebagaimana diberitakan media massa, hampir semua capres menerima dana lebih
dari Rp100 juta. Padahal UU Pilpres menegaskan, sumbangan yang dapat
diberikan oleh perorangan kepada capres tidak boleh melebihi Rp100 juta
(Vide Pasal 43 ayat 3). 

Presiden Kaya

Aliran dana DKP kepada sejumlah capres pada Pemilu 2004 harus diselesaikan
secara hukum, tanpa harus memandang siapa dan jabatan apa yang ada di
belakang mantan capres itu.

Dalam konteks yang lain, mengalirnya dana DKP ke sejumlah capres
sesungguhnya memberikan sinyal: Pertama, pelanggaran pemilu. Utamanya
perihal dana pemilu 'kemungkinan besar' terjadi pada pemilu presiden 2004
lalu, namun pelanggaran ini tak dapat ditindaklanjuti oleh panwas maupun KPU
untuk menganulir calon presiden. Pasalnya, pembuktian terhadap sejumlah
aliran dana baik dari pribadi maupun institusi (termasuk pemerintah) kepada
capres sangat sulit dibuktikan.

Kedua, realitas politik di Indonesia menunjukkan, kampanye untuk
memperebutkan jabatan publik semacam presiden, gubernur dan bupati
membutuhkan political cost yang tak sedikit. Dengan demikian, 'bantuan' dari
berbagai pihak dalam jumlah yang tak sedikit mutlak dibutuhkan.

Ketiga, bagaimana pun politik sangat sarat kepentingan. Maka, jabatan
politik apa pun termasuk presiden sesungguhnya diikuti berbagai kepentingan
yang bukan hanya dari kelompoknya, melainkan juga dari kelompok lain. Kasus
DKP membuktikan, aliran dana dari satu orang/lembaga bukan hanya diberikan
untuk satu capres tertentu, melainkan mengalir ke hampir semua capres kala
itu. Pemberian dana kepada capres itu, dapat dianalisis sebagai bagian dari
'pengamanan' kepentingan kepada siapa pun yang kelak menjadi presiden.

Ketiga alasan tersebut mengisyaratkan, untuk menduduki jabatan politik di
republik ini, seseorang harus memiliki kekuatan finansial yang kuat.
Bagaimana tidak, hanya seseorang yang kuat secara finansial yang dapat
mendanai biaya kampanye tanpa menerima sumbangan dari pihak lain dalam
jumlah besar. Kalau demikian, pemegang jabatan politik hanya akan diisi oleh
orang kaya.

Saat ini, DPR RI membahas RUU Pilpres sebagai bagian dari Paket RUU Politik.
UU yang akan datang diharapkan dapat secara tegas mengatur perihal dana
kampanye, sumber, serta besar dana yang dapat disumbangkan untuk capres.
Aturan tersebut tentu harus diikuti oleh sistem pengawasan yang lebih ketat,
akuntabel termasuk sanksi dan prosedur penerapan sanksi yang lebih tegas.
Rumusan demikian, bisa menjadi salah satu solusi agar orang miskin tidak
dilarang menjadi presiden.

http://www.indomedia.com/bpost/052007/31/opini/opini1.htm





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke