Ajarkan Anak Menghormati Orangtua
Keluarga Dwijo Sukatmo dan Anna Soedjono meyakini sukses anak, dimulai dari restu orangtua. Bagaimana implementasinya sehari-hari? Bagi orangtua, anak tentu saja merupakan anugerah terbesar dalam hidup mereka. Kasih sayang dan pendidikan menjadi modal bagi anak untuk melangkah dan menjadi lebih baik di hari depan. Sebagai fondasi utama, pasangan pelukis Dwijo Sukatmo dan penulis cerita anak-anak, Anna Soedjono, menanamkan kepada buah hati mereka untuk selalu menghormati orangtua. Hasilnya, mereka mampu membentuk tiga buah hati mereka, Alfa Eko Ario Sukatmo (31), Beta Dwi Hapsari Sukatmo (28), dan Rizki Tri Widodo Sukatmo (25), menjadi anak-anak yang mengerti dan memahami orangtua mereka. Bukan hanya sebagai orangtua yang melahirkan juga menjadi teman dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa dasar, Dwijo Sukatmo mendapatkan ajaran agar selalu menghormati orangtua dari ibunya atau nenek dari anak-anaknya yang bernama Gangsarwati. Teladan itu diberikan oleh Dwijo yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga tentara dengan menghormati orangtuanya hingga akhir hayat. Walaupun sang ibu, Gangsarwati telah tiada, teladan untuk selalu menghormati orangtua masih tetap diteruskan oleh Dwijo dengan lebih sering mengunjungi makam orangtuanya, dan menjadi rutinitas setiap bulan yang kemudian diikuti oleh anak-anak bahkan tiga cucu yang kemudian menghiasi hari-harinya. "Dalam hidup saya sebagai pelukis, tiga wanita yang sangat berpengaruh dalam kehidupan saya adalah, ibu saya, istri, dan anak saya. Dari mereka, saya bisa menjadi pelukis besar," kata Dwijo yang pernah menjadi satu-satunya pelukis Indonesia yang berhasil mengikuti Biennale Internasional III Taciborz di Polandia pada tahun 2000. Untuk mengenang jasa ibu dan memberikan pelajaran kepada anak-anak bagaimana menghargai orangtua, Dwijo tidak henti-hentinya bercerita kepada anak-anaknya tentang bagaimana peran ibu dan istri dalam hidupnya. Misalnya seperti menceritakan bagaimana seorang ibu bisa merestui anaknya memasuki dunia seni rupa. Padahal, pada tahun 1970-an bidang yang kini digelutinya itu dianggap dunia yang tidak menjanjikan. "Bayangkan zaman itu, mana ada orangtua yang mengizinkan anak-anaknya untuk kuliah di Akademi Seni Rupa. Apalagi pada saat itu, seniman lebih identik dengan berandalan, preman, dan tidak bisa mengurus diri sendiri. Namun, dengan pemahamannya sendiri, ibu saya mengizinkan saya, itu adalah sesuatu yang sangat berarti bagi saya," demikian penuturan Dwijo mengenang bunda yang dibanggakannya. Kehidupan sebagai pelukis kemudian menjadi lebih mudah bagi Dwijo, apalagi berkat restu orangtua dan dorongan istri tercinta. Perupa yang memiliki segudang prestasi ini pernah meraih penghargaan Karya Utama pada Biennale VIII Seni Lukis Indonesia (1989) dan penghargaan Karya Pilihan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan (1991). Lalu penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 1993 semakin mengukuhkan namanya sebagai perupa senior Indonesia.Hingga saat ini karya-karya Djiwo dikoleksi oleh kalangan kolektor dalam dan luar negeri, termasuk dikoleksi oleh Museum Seni Nasional Indonesia. "Dengan restu orangtua dan dorongan istri, kehidupan dan jenjang karier rasanya menjadi lebih mudah dijangkau. Berangkat dari sana kami menanamkan bagaimana menghormati orangtua kepada anak-anak," cetusnya saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, beberapa waktu lalu. Seiring berlalunya waktu, dan tiga buah hati pasangan ini menginjak dewasa dan akhirnya harus membina kehidupan bersama keluarga mereka masing-masing. Rupanya, teladan menghormati orangtua juga membekas di hati anak dan menantu Djiwo. Mereka pun mengaplikasikan pendidikan yang telah diberikan pasangan Dwijo-Anna. Keluarga baru tersebut melihat dan juga merasakan buah manis yang dinikmati di hari tua orangtua terkasih mereka. Buktinya, nenek-kakek ini sekarang sering bepergian berdua untuk mengunjungi anak-anak mereka yang berada di kota-kota berbeda. "Setelah anak-anak menikah semua, saya dan istri juga masih bisa merasakan kedekatan dengan anak-anak, apalagi ketika anak-anak mulai kangen, mereka meminta kami datang dan mengunjungi mereka di rumah mereka. Itu membuktikan kalau anak-anak sangat menyayangi orangtua mereka," kata Dwijo lagi. Tidak sampai di situ saja, keharmonisan keluarga pasangan Dwijo dan Anna ternyata masih tetap tercipta. Apalagi setelah mereka kembali tinggal berdua di rumah. Itu membuat pasangan ini memiliki sebuah ikatan yang kuat di antara mereka. "Ke mana pun saya pameran, istri saya selalu saya ajak, kalau saya melukis di rumah, istri saya bisa lebih konsentrasi menulis. Suatu hari saya ingin menerbitkan tulisan-tulisan istri saya menjadi sebuah buku," kata Dwijo. Sesuai Perjanjian Pranikah Perjalanan panjang kehidupan pasangan Dwijo Sukatmo dan Anna Soedjono tidak hanya fokus pendidikan menghormati orangtua. Ada sisi lain yang sangat menarik yang terangkum dalam perjalanan awal rumah tangga pasangan ini sampai akhirnya memutuskan untuk hidup bersama. Pertemuan pasangan Dwijo dan Anna dimulai ketika Dwijo yang memiliki sahabat yang ternyata sepupu Anna. Pertemuan awal pasangan ini sebenarnya berlangsung biasa-biasa saja karena pada waktu itu, pasangan ini sama sekali tidak memiliki hasrat atau keinginan untuk menjalin hubungan. Namun, ketika seringnya mereka mengikuti acara-acara kebudayaan bersama-sama, akhirnya pasangan ini mulai berpacaran, dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Sebagai pelukis, tentu saja tidak mudah bagi Dwijo untuk meyakinkan calon mertua untuk bisa melepaskan anaknya. Karena anggapan yang mencuat saat itu, dunia seniman adalah dunia yang identik dengan ketidakmapanan. Namun, dengan ikrar dan perjanjian pranikah yang bisa dikatakan unik, akhirnya pasangan ini bisa membuktikan keberadaan mereka sebagai pasangan seniman yang mapan dan hidup disegani. "Ketika hendak menikah,dalam perjanjian pranikah, saya didukung oleh istri, berjanji untuk menyisihkan 30 persen penghasilan saya untuk membeli perlengkapan melukis, misalnya saya dapat Rp15 juta, Rp5 juta kami gunakan untuk membeli alat-alat melukis, jadi di rumah tidak pernah saya kekurangan peralatan melukis," kata Dwijo. Tidak sampai di situ saja, dukungan istri terhadap profesi suami menurut Dwijo sangat mendukung. Terbukti setiap kali selesai melukis dengan sebuah karya baru, sang istrilah yang pertama menjadi komentator. Menurut dia, komentar dari istrinya sering kali banyak benarnya. Pernah satu kali dia mengikutkan sebuah lukisan berjudul Kuda-Kuda ke ajang Biennale, Jakarta. Lukisan tersebut diikutsertakan berdasarkan saran istri dan tiga anaknya. "Dari dua lukisan yang saya tawarkan kepada mereka, akhirnya mereka sepakat memilih Kuda-Kuda, akhirnya lukisan itu mendapatkan penghargaan dalam Biennale," kata Dwijo. Sikap saling mendukung sehingga pasangan ini sukses dengan profesinya masing-masing, juga dibuktikan pasangan ini dengan tetap menjaga komitmen perjanjian pranikah mereka hingga hari ini. "Janji yang kami ucapkan ketika pranikah, sampai hari ini masih kami pegang teguh. Sekarang saya juga dibantu oleh istri saya dengan membuatkan kanvas sendiri. Kualitas kanvas buatan istri saya tidak kalah dengan buatan Jerman," kata Dwijo bangga. (bernadette lilia nova/sindo/mbs) sumber: okezone [Non-text portions of this message have been removed]