great story: about husband & wife {01}

  

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang 

alami dan saya menyukai perasaan   hangat yang muncul di perasaan 

saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

 

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya
harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, 

alasan-alasan saya   mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang
menjemukan.

 

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif 

serta berperasaan   halus. Saya merindukan saat-saat romantis 

seperti seorang anak yang menginginkan permen. 

Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

 

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan.Rasa   sensitif-

nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang   

romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan
cinta yang ideal.

 

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan   keputusan saya 

kepadanya, bahwa saya menginginkan   perceraian.

 

"Mengapa ?",tanya suami saya dengan terkejut.

 

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta

yang saya inginkan," jawab saya. 

 

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan   komputernya,
tampak seolah-olah sedang mengerjakan 

sesuatu, padahal tidak.   

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak  dapat
mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa

saya harapkan darinya   ?

 

Dan akhirnya suam i saya bertanya," Apa yang dapat saya lakukan   

untuk merubah pikiran kamu ?" 

 

Saya   menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan 

pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya 

di   dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya:

Seandainya, saya   menyukai setangkai bunga indah yang

ada di tebing gunung. Kita berdua tahu   jika kamu memanjat gunung 

itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk 

saya ?"

 

Dia termenung dan akhirnya berkata,

"Saya akan  memberikan jawabannya besok."       

 

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya. 

 

Keesokan paginya, dia tidak ada di   rumah, dan saya menemukan 

selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah   sebuah gelas 

yang berisi susu hangat

yang bertuliskan...

 

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu   untukmu, 

tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan   alasannya."

 

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.

Saya melanjutkan untuk membacanya.

 

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ' teman baik   kamu 

' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan

tangan saya untuk   memijat kaki kamu yang pegal."

 

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi aneh'.

 

Saya harus membelikan sesuatu   yang dapat menghibur kamu di rumah at au
meminjamkan lidah saya   untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

 

"Kamu selalu terlalu   dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku,
dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu.

 

Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat
menolong mengguntingkan kuku kamu dan   mencabuti uban kamu."

 

"Tangan saya akan memegang tangan kamu,membimbing kamu menelusuri pantai,
menikmati matahari pagi dan pasir yang indah.

 

Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah

seperti cantiknya wajah kamu."

 

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing
gunung itu hanya untuk mati.

Karena, saya tidak   sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi
kematian saya."

 

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa

mencintai kamu   lebih dari saya mencintai kamu. 

Untuk  itu Sayang, jika semua yang telah   diberikan tangan

saya, kaki saya, mata saya tida k cukup buat kamu,   saya

tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki,

dan mata lain   yang dapat membahagiakan kamu." 

 

Air mata saya jatuh ke atas   tulisannya dan membuat tintanya 

menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha   untuk  terus membacanya.

 

"Dan   sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu
puas   dengan semua jawaban ini, dan tetap  menginginkan saya untuk tinggal
di rumah   ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang
berdiri di sana menunggu jawaban kamu."

 

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini,   Sayang, 

biarkan saya masuk untuk membereskan barang- barang saya, dan 

saya   tidak akan mempersulit hidup kamu.

Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

 

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di  depan pintu
dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan   roti kesukaan
saya.

 

Oh, kini saya tahu,tidak ada orang yang pernah mencintai saya 

lebih dari dia mencintai saya.

 

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah   berangsur-

angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak 

dapat   memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu
sesungguhnya  telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan
sebelumnya.

 

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan
kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. 

    



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke