Pihak Pesantren harus tanggap dengan model tulisan seperti ini, seakan2 
mengandung kebenaran, padahal akan membahayakan khususnya bagi anak2 kami di 
Pondok Pesantren kalau sampai "mengiyakan/membenarkan" tulisan ini. Harus kita 
bedakan antara gerakan dalam agam yang sifatnya perbedadan pendapatan 
(ikhtilafat), seperti masalah perbedaan antara para imam madzhab (contoh: qunut 
shubuh, raka'at tarawih, dll) atau hal itu adalah penyimpangan (mukhalafat), 
seperti yang terjadi pada syi'ah, ahmadiyah, apalagi Lia Eden, Ahmad Mushaddiq, 
dll. Undang2 seperti itu sangat perlu karena agama kita ini memang perlu 
dilindungi dari penyimpangan2.....terlalu banyak dasar/dalil, apalagi bukti 
bahwa Nabi kita tidak mentolelir penyimpangan, tetapi mentolelir perbedaan 
pendapat....wallahu'alam..

--- Pada Sel, 23/3/10, MGR <indun...@yahoo.com> menulis:

Dari: MGR <indun...@yahoo.com>
Judul: [IKBAL Al-Amien] Mengapa Agama Tak Butuh Dilindungi
Kepada: "kmnu2000" <kmnu2...@yahoogroups.com>
Tanggal: Selasa, 23 Maret, 2010, 9:26 AM







 



  


    
      
      
      ABRAHAH heran bukan kepalang. Abdul Muthallib, pembesar Mekah yang 
menemuinya, hanya peduli pada nasib unta yang dirampas penguasa dari negeri 
Habsyah (Ethiopia) itu, bukan nasib Ka'bah yang hendak dihancurkan. Kata 
Abrahah, "Mengapa kamu hanya peduli pada dua ratus ekor untamu, tapi tak peduli 
pada Bait (Ka'bah) yang merupakan agamamu dan agama moyangmu, yang hendak 
kuhancurkan? " Abdul Muthallib menjawab, "Aku peduli pada nasib unta, karena 
aku pemiliknya, sedangkan Bait itu punya Pemilik yang akan menjaganya." Inilah 
sekelumit dialog yang dikisahkan oleh Ibn Hisyam dalam "Al-Sirah al-Nabawiyah" 
, satu di antara biografi tentang Nabi Muhammad yang cukup otoritatif.

Kalau zaman sekarang, Abdul Muthallib mungkin akan dituduh egois, pasif, dan 
"materialistik" , hanya peduli pada hartanya, tapi tidak peduli pada agamanya. 
Namun, di balik sikap itu tersimpan
 iman Abdul Muthallib yang kuat: bahwa Allah yang menjaga Ka'bah tidak tidur 
dan akan bertindak. Benar. Setelah itu, datanglah segerombolan burung Ababil 
yang membawa batu dari neraka dan melempari pasukan gajah Abrahah hingga hancur 
lebur. Tahun itu dikenal sebagai Tahun Gajah, tahun kelahiran Nabi Muhammad.

l l l

SAAT ini kita sedang menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap 
sebuah undang-undang yang niatnya melindungi agama dari penodaan, yakni 
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan 
Agama. Namun niat tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. UU ini dalam 
kehidupan sosial malah ikut menyulut konflik. Contohnya dari rekomendasi 
penting Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) dalam "Laporan 
Kebebasan Beragama 2009 di Jawa Barat", yang mendesak pencabutan UU itu. Secara 
normatif UU tersebut dianggap "tidak selaras dengan semangat konstitusi yang 
dengan tegas menjamin hak
 kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan" . Melalui UU ini juga ditetapkan 
pasal 156-a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur ancaman sanksi 
pidana bagi yang dituduh sebagai "penoda agama".

Melalui temuan INCReS, sepanjang 2009 di Jawa Barat terjadi 10 kasus 
pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparatus negara, dan 35 
kasus intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan yang 
dilakukan oleh organisasi massa garis keras yang memakai "jubah Islam". Dalam 
aksi-aksi kekerasan ditemukan, UU itu dipakai sebagai dalih pembenar untuk 
menyesatkan, menyapu, hingga menangkap individu dan kelompok yang dituding 
menodai agama.

Pertanyaannya: mengapa UU ini dianggap mendesak dan darurat untuk dicabut? 
Benarkah agama tidak butuh aturan yang melindunginya? Dari temuan yang sangat 
umum kita mencermati tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama 
atau berkeyakinan malah berlindung di balik UU ini. Karena
 itu, dugaan yang mengatakan pencabutan UU ini akan menyebabkan konflik 
horizontal dalam masyarakat merupakan kekeliruan yang berlawanan dengan fakta 
sosial. Yang terjadi malah sebaliknya, selama ini konflik horizontal yang 
beraroma agama menggunakan UU ini-khususnya pasal 156-a-sebagai dalih melakukan 
penyesatan, kekerasan, penangkapan, dan penghakiman sepihak. Logika 
sederhananya: kalau tidak ingin konflik horizontal terus terjadi dalam 
masyarakat, UU Nomor 1/PNPS/1965 dan pasal 156-a itu harus dihapus (mansukh).

Bagaimana UU tersebut bekerja sebagai pemicu, dalih, dan akhirnya vonis yang 
mengkriminalkan keyakinan? Pertama, dimulai dengan munculnya dugaan pada 
kelompok yang memiliki ajaran yang dianggap bertentangan dengan "keyakinan 
umum". Kelompok ini baik yang ada sejak dulu atau benar-benar baru. Contohnya, 
Syiah dan Ahmadiyah, yang masuk kelompok lama, sedangkan Lia Eden masuk 
kategori baru. Nah, dengan memakai UU dan pasal 156-a itu,
 kelompok tersebut dibidik dari sudut penodaan, bukan melalui sudut perbedaan. 
Keberadaan kelompok "tersangka" ini tidak lagi dipahami sebagai pihak yang 
keyakinannya dijamin, tapi bisa diancam sanksi pidana. Inilah tahap pertama 
bagaimana UU tersebut menyuguhkan cara pandang yang keliru dalam melihat 
perbedaan ajaran yang sebenarnya lumrah terjadi.

Tahap kedua: sebuah kelompok yang telah diidentifikasi sebagai "kelompok 
kriminal" dari perspektif keyakinan akan dimusuhi dan diupayakan untuk 
dilenyapkan. Tahap kedua ini adalah sebuah reaksi tindakan yang ditempuh 
melalui dua cara: pertama, ormas-ormas garis keras akan menindak langsung 
kelompok itu. Tindakan ini ilegal dan kriminal, tapi mereka selalu memakai 
dalih UU yang mengkriminalkan kelompok tersebut. Tak jarang ditambah fatwa 
untuk memperkuat dugaan kriminal. Kelompok "tersangka" pun dihajar dengan 
aturan negara dan fatwa agama.

Cara kedua: ormas garis keras tidak melakukan tindakan
 langsung, tapi menekan aparat pemerintah untuk melakukan tindakan kekerasan. 
Dalam konteks ini, aparat negara biasanya mengambil sikap yang paling "aman" 
dan "nyaman", karena ormas garis keras biasanya mengancam akan melakukan 
tindakan langsung kalau aparat tidak turun. Maka, dalam dugaan aparat, lebih 
baik menciduk kelompok yang kecil dan lemah daripada melawan ormas yang 
biasanya datang bergerombol dan tak ragu melakukan kekerasan. Di sini aparat 
negara bukan pelindung bagi warga negara dan kelompok minoritas, melainkan 
aparatus ormas garis keras yang mengatasnamakan mayoritas. Maka jangan heran 
kalau aparat negara menempati posisi tertinggi dalam pelanggaran kebebasan 
beragama, seperti yang dilaporkan INCReS.

Tahap ketiga: perbedaan agama dan keyakinan itu diseret ke pengadilan, dan 
ujung-ujungnya vonis pidana bagi terdakwa. Kerap kali saksi ahli yang 
dihadirkan ke pengadilan adalah mereka yang juga memulai, melaporkan, atau 
terlibat dalam
 tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang itu.

|||

Saya masih terheran-heran dengan tuntutan bahwa agama harus dilindungi oleh 
sebuah peraturan dari negara. Bagi saya, tuntutan ini bersumber dari iman yang 
krisis dan penuh dengan ketakutan: agamanya takut ternoda, rusak, atau bahkan 
punah. Tuntutan ini berlawanan dengan klaim absolut mereka tentang agama 
mereka, yang katanya sempurna, abadi, dan tak lekang oleh zaman. Mereka 
mengakui agama mereka sempurna, tapi tanpa sadar mengakui pula agama mereka 
bisa dinodai dan dikurangi.

Saya adalah bagian dari umat yang menegaskan bahwa agama, kepercayaan, dan 
keimanan yang kami miliki tidak akan bisa dinodai oleh siapa pun dan kapan pun. 
Apalagi agama yang dimaksudkan adalah agama yang telah berusia tak hanya 
ratusan tapi ribuan tahun, agama yang telah matang, dewasa, dan kenyal 
menghadapi tantangan.

Saya juga tak menafikan kelompok atau individu seperti cerita
 Abrahah, yang ingin "memusnahkan" agama. Kadang mereka memiliki alasan yang 
bisa dimengerti: menurut mereka, sikap permusuhan pada agama muncul karena 
agama sering disalahgunakan untuk menebarkan kebencian dan kekerasan. Kalau 
boleh, saya ingin mengambil tamsil agama dengan lautan. Apakah seseorang atau 
kelompok yang ingin mengencingi lautan berhasil menodai kemurnian lautan?

Untuk menyikapi kelompok atau individu yang berbuat jahat dengan membawa agama, 
yang bisa ditindak adalah perbuatan mereka, bukan keyakinan mereka. Seseorang 
yang menyembah batu, atau meyakini barang pusaka atau jimat bertuah, tidak bisa 
dikriminalkan karena keyakinan itu. Tapi mereka bisa ditangkap kalau memakai 
batu sembahan, pusaka, dan jimat mereka untuk mencelakakan orang lain.

Bagi saya, episode yang pernah "menodai" lautan dengan "limbah"-nya yang 
terbesar adalah modernisme. Periode ini dimulai dengan sikap ingkar terhadap 
apa yang berasal dari (doktrin) agama,
 yang akhirnya bisa membuktikan bahwa kemajuan bisa lahir tanpa campur tangan 
formal agama. Pertanyaannya: apakah agama lantas mati? Justru agama berkembang 
sangat pesat. Agama sebagai spirit tetap berfungsi seperti ulasan Max Weber, 
yang menyatakan pengaruh etika Protestan dalam kapitalisme, tapi bukan doktrin 
formal Protestan. Di Amerika kita sering memperoleh laporan tentang kebangkitan 
Kristen. Dan akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 sering dipahami sebagai 
kebangkitan semua agama di dunia, dari agama-agama besar hingga ajaran 
spiritual.

Agama juga bukan seperti satwa liar yang hutannya telah punah sehingga harus 
dilindungi. Bukan pula seperti candi, kuil, dan bangunan kuno lainnya yang 
kehilangan daya sihirnya sehingga tidak dipedulikan, maka perlu dirawat secara 
khusus dalam "cagar alam" dan "cagar budaya" yang dijamin oleh peraturan. 
Padahal agama terus hadir dalam kehidupan ini, lembaga-lembaga keagamaan: 
pendidikan, pesantren, syiar,
 penerbitan, ormas, film, musik, dan lain-lain semakin tumbuh dan tidak 
menunjukkan perlunya sebuah "cagar agama". Yang perlu diwaspadai sebenarnya 
bukan agama yang bisa dinodai atau akan punah, tapi "overdosis" agama yang 
sering dibawa pada penyebaran kebencian, kekerasan, dan terorisme.

Dari penelusuran sejarah ini bisa disimpulkan, agama tak bisa dinodai dan 
dibunuh. Rahasia ketahanan agama ini bukan karena ia dijaga oleh undang-undang 
yang memberikan sanksi pidana kepada kelompok yang dianggap menodainya, 
melainkan karena diberikan kebebasan kepada umat untuk mengembangkan agamanya 
dalam pemikiran, perayaan, dan kebudayaan sehingga agama terus langgeng. Agama 
tak akan punah selama ia kata almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mampu 
bersanding dengan kemaslahatan manusia.

Karena itu, bagi saya, peraturan yang beriktikad-meskipun baik-ingin melindungi 
agama merupakan kesia-siaan. Bahkan peraturan ini telah dijadikan dalih 
pelanggaran.
 Peraturan itu dijadikan pembenaran bagi seorang saudara untuk menikam 
saudaranya yang lain hanya gara-gara perbedaan agama. Seharusnya peraturan itu 
lebih ditujukan pada perlindungan manusia yang menganut agama, bukan pada agama 
yang menurut keyakinan pemeluknya telah dijamin keabadiannya. Seperti Abdul 
Muthallib, kakek Nabi Muhammad, yang menyerahkan urusan agama (Ka'bah sebagai 
Bait Allah) kepada Pemiliknya.

Mohamad Guntur Romli

Majalah TEMPO Edisi: 04/39, Tanggal: 22 Maret 2010

http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2010/03/22/ KL/mbm.20100322. 
KL133053. id.html


        Akses email lebih cepat. 
 Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke Internet Explorer 8 baru yang 
dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! (Gratis)

    
     

    
    


 



  






      Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari 
Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke