Sumber: http://kontak.club.fr/Kisah%20perempuan%20korban%20peristiwa%2065.htm

Sinar Harapan 29 Juli 2005

Kisah Para Perempuan Korban 1965 (1)

”Genjer-genjer” Menyeret Sumilah ke Plantungan


Oleh Fransisca Ria Susanti

Pengantar Redaksi:


Penjara Plantungan di Kendal, Jawa Tengah, menjadi saksi bisu dari kisah tragis para perempuan Indonesia yang diisolasi di bekas Rumah Sakit Lepra tersebut. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah menjadikan mereka sebagai "tumbal" hanya karena tudingan terlibat atau dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Minggu (24/7), para eks tahanan politik (tapol) Plantungan menggelar "reuni" di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) di Bugisan, Yogyakarta. SH menurunkan kisah mereka dalam dua tulisan yang dimuat Jumat dan Sabtu (30/7).

Yogyakarta – Genjer-genjer mlebu kendil wedange gemulak/Setengah mateng dientas yong dienggo iwak/ Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben/Genjer-genjer dipangan musuhe sego. (Genjer-genjer dimasukkan dalam kuali panas/ Setelah setengah matang diangkat untuk lauk/Nasi di piring dan sambel jeruk di atas cobek/Genjer-genjer dimakan bersama nasi)
Bait di atas adalah penggalan lagu Genjer-genjer karya seniman Banyuwangi, Muhammad Arif dan dipopulerkan oleh Bing Slamet. Anda pernah mendengarnya atau barangkali menyenandungkannya pelan-pelan?

Generasi yang hidup di era 1960-an akrab dengan lagu ini. Di film “Gie” yang kini diputar di bioskop-bioskop Jakarta, dendang Genjer-genjer juga terdengar, dilantunkan para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjelang peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.

Jika Anda melantunkan lagu yang bercerita soal kemelaratan warga Banyuwangi di masa pendudukan Jepang itu sekarang, tak akan ada dampak apa-apa, kecuali mungkin tatapan aneh lingkungan sekitar yang menduga Anda sebagai anak yang dilahirkan dari rahim ibu pengikut Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) atau setidaknya simpatisan dari PKI. Namun jika lagu itu dinyanyikan menjelang peristiwa G30S, maka petaka menjadi takdir yang menghampiri.
Sumilah, perempuan asal Prambanan, Yogyakarta adalah salah satu contoh dari takdir itu. Gadis Sumilah yang waktu itu masih berumur 14 tahun sama sekali tak tahu asal muasal kenapa pagi tanggal 19 November 1965 itu, ia bersama 47 orang (tujuh perempuan) lainnya diharuskan berkumpul oleh lurah desanya di sebuah lapangan. Kemudian mereka diangkut oleh truk ke penjara Wirogunan.

Sepanjang jalan, Sumilah mencoba mengingat apa kesalahannya, tapi tak juga ketemu.

Satu-satunya yang melintas di ingatannya adalah kesukaannya menari bersama teman-teman sepermainannya dengan iringan Genjer-genjer. “Saya suka. Nada lagu itu enak sekali,” ujarnya mengenang, Minggu (24/7) siang di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) di Bugisan, Yogyakarta.

Namun justru kesukaan inilah yang menjadi malapetaka baginya. Ia tinggal di hotel prodeo selama 14 tahun, tanpa ada tuduhan maupun pengadilan. Mula-mula, ia tinggal di penjara Wirogunan, Yogyakarta. Setiap hari, ia hanya diberi makan jagung beberapa butir dan kadang-kadang sayur lembayung.

Ia menjalani pemeriksaan di bawah sejumlah tekanan. Saat ditanyakan jenis tekanan atau siksaan yang ia alami selama pemeriksaan, Sumilah melengos. Pandangannya menerawang. Kenangan itu terlalu menyakitkan. Enam bulan lamanya, Sumilah berada di Wirogunan, sebelum kemudian dipindahkan ke penjara Bulu di Semarang dan terakhir di Plantungan pada tahun 1971.

Di Plantungan inilah, Sumilah yang menjadi tahanan termuda, mengetahui bahwa ia adalah korban salah tangkap. Sumilah yang seharusnya menjadi target penangkapan adalah seorang guru SD asal Kulon Progo, Yogyakarta yang menjadi anggota PGRI Non-Vaksentral. Kedua Sumilah ini sempat berada bersama di penjara Wirogunan. Meski begitu, Sumilah yang hanya jebolan kelas 4 SD tidak dilepaskan oleh petugas.

Dan saat Sumilah bocah ini harus berada di bui selama 14 tahun, Sumilah lainnya yang menjadi target hanya menempati penjara Wirogunan selama tiga tahun. Empat puluh tahun setelah penangkapan yang ironis itu, keduanya terlihat duduk bersila, berdampingan di pendopo SMKI, Minggu (24/7) siang itu. Entah apa yang mereka bicarakan dalam acara reuni eks tapol Plantungan itu.

Seandainya masa lalu begitu menyakitkan untuk diceritakan, barangkali keduanya tengah berbincang tentang hidup yang harus mereka jalani di usia senja sekarang.

Sumilah asal Prambanan kini menjalani hidup dengan laki-laki bekas kader Pemuda Rakyat (PR) yang menikahinya setelah ia keluar dari penjara tahun 1978. Dikarunia dua putra, laki-laki dan perempuan, Sumilah kini menghabiskan hidupnya dengan berjualan sate di areal depan Prambanan. “Saya bertemu dengan suami saya di Muntilan. Saya waktu itu berjualan sate di tempat bulik saya dan ia merupakan salah satu pembeli,” tutur Sumilah mengenang.

Satu-satunya syarat yang diajukan Sumilah saat laki-laki itu melamarnya hanyalah supaya laki-laki itu bersedia menikahinya secara Katolik. Sementara kisah pahit masa lalu mencoba mereka lupakan. Di depan kedua anaknya, cerita tersebut juga tak dikatakan. Sampai kemudian, saat Syarikat (organisasi nonpemerintah di Yogyakarta yang memiliki kepedulian terhadap para korban peristiwa 1965) berniat mendokumentasikan kisah Sumilah dalam film dokumenter “Kado Untuk Ibu”, anak perempuannya yang duduk di bangku SMA, baru mengetahui tragedi yang menimpa ibunya.

Gadis yang besar di era reformasi itu pasti tak menyangka bahwa hanya gara-gara sebuah lagu, ibunya harus menghabiskan 14 tahun masa hidupnya di balik jeruji penjara. Sayangnya, 40 tahun setelah kesewenang-wenangan itu berlalu, negara ini tak juga menemukan aktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Jalan rehabilitasi terhadap para korban pun tak juga mulus. nn
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/29/sh03.html

++++

Kisah Para Perempuan Korban 1965 (2 - Habis)


Sumpah Iman di Tengah Siksaan


Oleh Fransisca Ria Susanti

YOGYAKARTA - Adegan Getsemani saat Yesus begitu ketakutan dan menginginkan agar proses penyaliban yang akan menimpanya tak terjadi, seperti diputar ulang di Plantungan, Kendal sekitar awal 1970-an.
Bedanya, doa ini disampaikan di tengah berlangsungnya siksaan dan diucapkan oleh Sumarmiyati, perempuan asal Yogyakarta yang dipenjarakan oleh pemerintahan Soeharto hanya gara-gara ia menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), sebuah organisasi yang dicap underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sumarmiyati bahkan menyatakan sumpah, jika ia diberi kekuatan untuk bisa mengatasi siksaan dan diberi kesempatan untuk menikah dan punya anak, maka satu anaknya akan ia persembahkan untuk Tuhan. Sebagai penganut Katolik, sumpah “persembahan” ini adalah izin untuk membiarkan anaknya menjadi biarawan.

Bersama perempuan lainnya, Sumarmiyati dimasukkan dalam penjara Orde Baru tanpa pernah diadili pasca Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Desember 1965, perempuan tersebut dimasukkan ke penjara karena keterlibatannya di IPPI. Tapi kemudian dilepaskan pada April 1966.
Saat ia dikeluarkan, seorang pastor menampungnya dan menyekolahkannya hingga ia memperoleh ijazah untuk mengajar di Sekolah Dasar di Janti, Yogyakarta. Namun pada April 1968, Sumarmiyati kembali ditangkap atas tuduhan melakukan gerilya politik (gerpol).
Bantahan terhadap tudingan ini sama sekali tak diperhatikan. Tak ada satu pun pengadilan yang digelar untuk membuktikan tudingan ini. Sumarmiyati dijebloskan ke penjara, untuk kedua kalinya, hingga tahun 1978. Ia berpindah-pindah dari penjara Wirogunan, lalu ke Bulu dan terakhir di Plantungan.

Dalam film dokumenter “Kado untuk Ibu” yang digarap oleh Syarikat (organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan nasib para korban peristiwa 1965),

Sumarmiyati bertutur bagaimana ia dan tapol perempuan lainnya ditelanjangi dan dipaksa untuk menciumi penis para pemeriksanya.
“Kami disuruh melakukan itu karena menurut mereka kami layak diperlakukan seperti itu,” tuturnya getir.

Saskia Eleonora Wierenga dalam studinya tentang “Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia” menyebutkan bagaimana Orde Baru sengaja menciptakan stigma bagi perempuan yang terlibat atau diduga simpatisan PKI. Penciptaan stigma tersebut diperkuat melalui media massa yang ada saat itu, di antaranya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha..
Dalam koran-koran tersebut, aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) –organisasi yang dicap underbouw PKI- digambarkan turut terlibat dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya dengan melakukan tari-tarian saat pembantaian dilakukan. Mereka bahkan dilukiskan sebagai perempuan jalang yang menyetubuhi para jenderal tersebut sebelum dibunuh.

Drama Kecengengan
Guna menguatkan image tersebut, rezim Soeharto bahkan meminta para seniman menggambarkan adegan tarian para aktivis Gerwani ini di relief Monumen Pancasila Sakti.

Pencitraan ini melahirkan stigmatisasi yang menyakitkan bagi para aktivis politik perempuan yang dekat dengan PKI, juga para perempuan yang ditangkap hanya karena diduga simpatisan organisasi tersebut..
Namun bagi Sumarmiyati, stigma ini tak berarti banyak bagi dirinya ketika pada November 1978, dua bulan setelah ia keluar dari Plantungan, sang pacar yang juga baru keluar dari penjara datang melamar. Setidaknya, hidup serumah dengan laki-laki yang memahami pilihan politiknya, membuat Sumarmiyati lebih kuat dalam menjalani hidup.

Selain itu, lingkungannya pun bisa menerima. Bahkan ia mendapatkan dispensasi dari kawan-kawan di organisasi gerejanya untuk meminjam uang kas. Padahal salah satu syarat peminjaman saat itu adalah melampirkan “surat bersih diri” (surat keterangan tidak terlibat G30S) dari kelurahan.

Dan sesuai dengan sumpah yang ia ucapkan saat berada dalam siksaan, satu dari dua orang anak Sumarmiyati kini sedang melanjutkan studi di seminari tinggi. Jika ia berhasil menyelesaikan studi tersebut, maka ia akan ditahbiskan menjadi pastor.

Sumarmiyati dan juga ratusan perempuan yang hadir di forum reuni eks tapol Plantungan di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI), Bugisan, Yogyakarta, Minggu (24/7) siang itu, masih merekam kesewenangan rezim Orde Baru dengan jelas di ingatan. Namun hidup terus berjalan. Persoalan keseharian membuat bayang-bayang kenangan yang menyiksa itu sedikit kabur.

Sumini Martono, aktivis Gerwani Wonosobo yang jadi tapol selama 10 tahun, adalah contoh lain dari ketegaran itu. “Saya ditangkap dengan janji akan dilepaskan setelah suami saya ditangkap. Tapi setelah suami saya ditangkap, saya tak juga dilepas. Dan saat saya sudah dikeluarkan, suami saya ternyata sudah hilang,” ungkapnya.

Hilang, dalam bahasa para tapol, adalah dibunuh. Suami Sumini memang terbukti dibunuh oleh para aparat Orde Baru dan mayatnya dihanyutkan di sebuah luweng di Wonosari. Tempat ini dikenal sebagai tempat pembantaian para aktivis yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI pasca perisiwa G30S.

Saat menceritakan kisah tersebut, Sumini menyampaikannya dengan enteng. Tapi bukan berarti ia tak merasa kehilangan. Hanya saja, ketika sebuah penderitaan sudah tak tertahankan dan tak ada jawaban yang bisa diberikan atasnya, maka satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menjalani hidup dengan kekuatan yang tersisa.

Ketegaran yang ditunjukkan Sumarmiyati dan Sumini serta ribuan eks tapol Plantungan membuat keluhan anggota DPR dan pejabat negara saat ini tentang gaji yang minim tampak seperti drama kecengengan.

 


Start your day with Yahoo! - make it your home page

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
******Ajak lainnya bergabung ! Kirimkan e-mail kosong (isi to...saja)ke:
        [EMAIL PROTECTED] (langganan)
        [EMAIL PROTECTED] (keluar)
Site: http://come.to/indomarxist




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke