Sumber:
http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=12441
 
News / IMPRESI DARI EROPA 
Harian Batam Pos, Minggu, 31-Juli-2005, 19:16:45 41   
Apresiasi Warisan Budaya Kebhinekaan

Oleh: A Kohar Ibrahim
 
 
Dengan memahami pandangan Mahmoud Darwich yang mengapresiasi “Warisan peradaban manusia diperkaya oleh suatu proses yang panjang“. Dan bahwasanya asal-usul yang modern itu klasik. Begitu pula yang “pelopor itu asalnya ribuan tahun“. Maka dengan meneladani semangat dan gaya pandang elang laut ala Hang Nadim, akan lebih mudahlah bagi kami untuk menyikapi kehidupan dan warisan budaya Melayu Riau. Khususnya terhadap penilaian historis bahwa “Sastra Riau bermula dari puncak”.
 
Tentunya penilaian itu bukan sembarangan, melainkan berdasarkan fakta atau bukti-bukti akan adanya budayawan, sastrawan beserta hasil karyanya. Hasil-hasil karya masa lampau hingga kekinian zaman. Hasil aktivitas-kreativitas seni sastra yang telah memperkaya khazanah sastra bukan hanya Melayu, tapi sekaligus juga Indonesia, Nusantara bahkan dunia.
Hasil kesusasteraan Melayu itu pun telah dengan sendirinya memperkaya sekaligus mendorong maju ilmu pengetahuan. Karena satu sama lainnya saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Ilmu, baik yang secara umum maupun khusus seperti kesusastraan itu, kemajuannya senantiasa melalui asah-ujian dalam praktik, pertukar-pikiran atau bahkan perdebatan yang bebas merdeka.
 
Artinya, adanya kebebas-merdekaan dalam mengekspresikan diri, sekalipun terjadi keberbedaan dalam kebersamaan.
Keberbedaan pendapat yang selayaknya dianggap wajar dalam upaya menemukan dan menegakkan kebenaran. Suatu kewajaran pula adanya keberbedaan itu, jika diingat wilayah Indonesia dan penduduk yang terdiri dari berbagai bangsa atau sukubangsa sekalian budayanya. Yang secara obyektif dinyatakan sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
 
Maka dari itu kami bisa memaklumi, bahkan dalam hal apresiasi keberadaan bahasa dan sastra Melayu dalam kaitannya dengan sastra Indonesia umumnya, terdapat berbagai pendapat, penilaian atau pandangan. Karena hal itu tak bisa dianggap lain kecuali menunjukkan adanya kedinamikaan intelektualitas yang pantas.
Bahwa ada orang meragukan atau mempertanyakan sesuatu atau hal ihwal — suatu kesimpulan, suatu penilaian atau pandangan sekalipun –- adalah merupakan kewajaran yang sewajar-wajarnya.
 
Dari kalangan intelektual Indonesia yang mengutarakan kewajaran adanya keberbedaan pendapat, wajarnya meragukan dan mempertanyakan sesuatu dalam rangka menemukan kenyataan dan kebenaran, adalah penyair dan pakar kesusastraan Indonesia Ajip Rosidi. Seperti yang diucapkannya dalam ceramah di KBRI London 1999 berjudul “Mitos, Indoktrinasi dan Realitas”, yang kemudian termuat dalam buku “Trang-trang Kolentrang” terbitan Grimukti Pasaka.
 
Ajip secara tajam mengkritisi ditumbuh-kembangkannya mitos sejak awal masa pergerakan kebangsaan yang kemudian dimanfaatkan oleh Orde Lama dan lebih-lebih lagi oleh Orde Baru dengan cara indoktrinasi yang menjadikan orang ketakutan terhadap kenyataan dan ketakutan terhadap pendapat yang berbeda dari yang diajukan secara resmi oleh sang penguasa.
Hal mana mengakibatkan kemunduran bahkan kerugian yang dahsyat dengan terjadinya bukan saja pembunuhan pendapat atau pikiran orang, melainkan juga pembunuhan orangnya itu sendiri. Apakah orang-orang sebagai individual maupun kolektif pergerakan – seperti dalam pergolakan yang terjadi di berbagai daerah disebabkan oleh keberbedaan dan ketidak-puasan terhadap pusat.
 
Meskipun telah terjadi tindakan yang [EMAIL PROTECTED]&, anehnya kata Ajip : “ …kita tidak merasa bersalah, apalagi berdosa, walaupun sehari-hari kita taat menjalankan syari’at agama – seperti sembahyang lima kali sehari atau setiap Ahad pergi ke gereja. Kita telah menjadi robot tempaan indoktrinasi yang tidak mempunyai hati nurani.”
 
Oleh karena hati nurani sudah terbekukan, orang hanya mendengar kepada perintah resmi dari pemerintah tanpa berpikir atau bertanya apakah benar ataukah salah. Karenanya, menurut Ajip : “Sebagai bangsa kita sudah terbiasa tidak mempunyai pendapat sendiri, apalagi yang bersumber dari hati nurani. » Oleh karena itulah pula, « ketika tiba ‘zaman reformasi’, kebanyakan bangsa kita menjadi gamang.”
 
Setuju atau tidak dengan Ajip Rosidi yang menilai praktek Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila ternyata samasekali bukan demokrasi pun tidak memberi kesempatan untuk melatih hidup sebagai demokrat.
 
Namun adalah pendapatnya yang bernas mengenai kehidupan berdemokrasi, yang bukanlah menuntut agar kita diberi kesempatan untuk memperdengarkan suara kita saja, melainkan juga kesediaan kita untuk mendengarkan orang lain mengemukakan pendiriannya yang tidak mustahil bertentangan dengan pendapat dan kepentingan kita. Kita bukan saja harus berlapang dada mendengarkannya, tapi harus pula menerimanya sebagai kebenaran yang sama besar haknya dengan pendapat kita.
 
Kita yang sudah terbiasa berpikir satu jurusan dan menganggap pikiran yang tidfak sesuai dengan kita sebagai pikiran ‘subversif’ yang harus dibunuh (termasuk orangnya), tidak mudah menerima prinsip-prinsip demokrasi seperti itu. Kita cenderung untuk menghancurkan orang-orang yang berbeda pendapat atau bertentangan pendapat dengan kita mempergunakan kekuasaan yang (masih) ada pada kita atau bahkan mempergunakan kekuatan fisik.
Saya sengaja mensitir pendapat seorang demokrat macam Ajip Rosidi itu karena memang layak untuk disimak sebagai butir-butir pikiran yang bernas. Kebernasan baik dalam melakukan peninjauan beragam segi kehidupan bangsa pada umumnya, maupun kehidupan kebudayaan khususnya, lebih khusus lagi bidang seni sastra.
 
Karena dalam bidang inipun terdapat keberbedaan pendapat atau pandangan dalam hal-hal tertentu seperti kapan dimulainya kesusastraan Indonesia. Termasuk adanya perbedaan pendapat antara yang dikemukakan Ajip Rosidi sendiri dengan beberapa budayawan atau sastrawan lainnya. Seperti yang antara lain dicanangkan oleh Asep Salahudin Samboja dalam eseinya « Merekonstruksi Sejarah Sastra Indonesia » yang dilansir Cybersastra 26 Agustus 2002.
 
Asep dengan eseinya itu dengan jelas mendemonstrasikan dirinya selaku intelektual yang selaras dengan pandangan Ajip Rosidi. Yakni mengenai perlunya meninggalkan ketakutan seraya menunjukkan keberanian bertanya dan berpikir serta mengemukakan pendapat sendiri, yang kemungkinan sekali bisa berbeda dengan pendapat orang lain. Dalam kaitan ini, justeru keberbedaan dalam melakukan penentuan kapan sastra Indonesia bermula seperti yang disajikan oleh A Teeuw dan Ajip Rosidi serta Umar Junus.
 
Yang ketiga-tiganya « membuat titik awal kelahiran sastra Indonesia » dengan mengandalkan tolok ukurnya bukan dari wilayah internal sastra itu sendiri melainkan dari luarnya, yakni « kesadaran kebangsaan » dan atau yang « bersifat nasional ». Jelasnya : sejak adanya Pergerakan Nasional dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dan Asep mengajukan pertanyaan yang selayaknya mampu menggugah hati dan pikiran pembacanya :
“Ketika sekarang bangsa Indonesia mengakui bahwa candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 di jaman dinasti Syailendra sebagai anasir sejarah nasional Indonesia, kenapa karya-karya sastra pujangga-pujangga lama kita tidak diakui dalam serjarah sastra Indonesia ?”
 
Setelah mengurai lebih lanjut eseinya dengan mengutarakan sederetan panjang nama-nama pujangga lama dan baru serta mengajukan Perancis sebagai contoh, Asep Salahudin Samboja menulis baris-baris pertama dari paragrap akhirnya : “Kalau kita mau jujur, sebenarnya perjalanan sejarah sastra Indonesia pun sudah berabad-abad….“
 
Suatu pernyataan sekaligus kesimpulan yang kami setujui – selaras dengan sikap yang menggaris-bawahi pandangan Mahmoud Darwich seperti diutarakan di atas.
Makna tersiratnya adalah juga berupa pengakuan terhadap fenomena sejarah « sastra Riau bermula dari puncak ». Yang ibarat puncak gunung tak mungkin adanya tanpa lembah, kaki, lereng dengan isi dan semua sisinya. Dan puncak yang menjulang itu telah menjadi warisan amat bermakna bukan saja bagi bangsa Melayu, melainkan juga Indonesia dan dunia. ***
 

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
******Ajak lainnya bergabung ! Kirimkan e-mail kosong (isi to...saja)ke:
        [EMAIL PROTECTED] (langganan)
        [EMAIL PROTECTED] (keluar)
Site: http://come.to/indomarxist




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke