Pengantar Untuk Revolusi Permanen Edisi Bahasa Indonesia

Oleh Alan Woods (In Defence of Marxism)


Semua teori, program, dan
kebijakan cepat atau lambat akan menemukan ekspresinya di dalam praktek. Teori
Revolusi Permanen, yang merupakan salah satu perkembangan teori Marxis yang 
paling
penting, sudah dikonfirmasikan secara positif oleh Revolusi Oktober 1917 di
Rusia. Teori ini juga sudah dikonfirmasikan, secara negatif, di dalam banyak
peristiwa semenjak itu. Contoh yang paling buruk dari ini adalah pembantaian
satu setengah juta kaum komunis Indonesia pada tahun 1965.



Trotsky pertama kali
mengembangkan teori Revolusi Permanen ini semenjak tahun 1904. Apa isi teori
ini? Revolusi Permanen, walaupun menerima fakta bahwa tugas-tugas objektif yang
dihadapi oleh kelas buruh Rusia adalah tugas-tugas revolusi borjuis
demokratrik, menjelaskan bahwa bagaimana di sebuah negara yang terbelakang di
dalam era imperialisme, kaum "borjuis nasional" tidak mampu memainkan peran
yang progresif.



Alasannya adalah karena
kaum borjuis yang lemah di kerajaan Tsar Rusia terikat dan tidak terpisahkan
dengan tuan-tuan tanah feodal di satu pihak dan kekuatan modal imperialis di
pihak yang lain, dan oleh karena itu mereka sama sekali tidak mampu
melaksanakan tugas-tugas historis mereka (reformasi agraria, modernisasi
masyarakat, demokrasi, masalah nasional, dll). Gagasan ini diuji setahun
kemudian (pada tahun 1905) di dalam Revolusi Rusia yang pertama, ketika kaum
borjuis liberal yang diwakili oleh Partai Kadet mengkhianati revolusi tersebut
dan mendukung otokrasi Tsar.



Sudah ada beberapa
contoh sebelumnya. Bahkan pada tahun 1848-49, selama periode revolusi borjuis
demokratik di Eropa, Marx and Engels tanpa belas kasihan menelanjangi peran
kaum borjuis yang penakut dan kontra-revolusioner, dan menekankan pentingnya
bagi para buruh untuk mempertahankan keindependenan kelas mereka, bukan hanya
dari kaum borjuis liberal tetapi juga dari kaum borjuis kecil demokrat yang
plin-plan. Marx menekankan ini di dalam banyak artikel,
seperti The Bourgeoisie and the Counter-Revolution
(1848). Dan sebenarnya, Marx lah yang pertama kali menggagaskan ide
Revolusi Permanen. Tetapi Trotskylah, yang mengambil Marx sebagai titik
tolaknya, yang kemudian mengembangkan ide ini menjadi sebuah teori yang lengkap
yang dapat diaplikasikan di situasi sekarang ini.


Leninisme
dan Menshevisme


Sebelum Perang Dunia Pertama, ada
perdebatan yang sengit di dalam tubuh Sosial Demokrasi Rusia mengenai
perspektif Revolusi Rusia. Kaum Menshevik, yang merupakan sayap oportunis dari
gerakan buruh Rusia, mengembangkan teori dua-tahap sebagai perspektif mereka
untuk revolusi Rusia. Mereka berargumen bahwa, karena tugas-tugas revolusi ini
adalah tugas-tugas revolusi borjuis demokratrik, maka kelas borjuis demokratik
nasional-lah yang harus mengambil kepemimpinan revolusi ini. Mereka menunda
revolusi sosialis ke hari depan yang jauh, dan menyerahkan kepemimpinan buruh
kepada kaum liberal. Teori Revolusi Permanen adalah jawaban yang paling
sempurna terhadap posisi reformis dan kolaborasi-kelas dari kubu Menshevik.



Apa posisi Lenin dalam hal ini? Dalam
masalah politik yang utama (hubungan antara partai pekerja dengan kaum
borjuis), posisi Lenin dekat dengan posisi Trotsky, dan dia berjuang melawan
posisi kolaborasi-kelas Menshevik. Lenin setuju dengan Trotsky bahwa kaum
liberal Rusia tidak mampu melaksanakan revolusi borjuis-demokratik, dan tugas 
ini hanya bisa dilaksanakan oleh
kaum proletar yang beraliansi dengan kaum tani miskin.



Mengikuti jejak langkah Marx, yang telah
menjelaskan bahwa "bagi kaum buruh, partai borjuis demokratik lebih berbahaya
daripada kaum liberal sebelumnya", Lenin menjelaskan bahwa kaum borjuis Rusia,
jauh dari menjadi sekutu kaum buruh, pasti akan berpihak pada konter revolusi.
Dia menulis pada tahun 1905, "Kaum borjuis pasti akan berpihak pada konter
revolusi, dan akan melawan rakyat segera setelah kepentingan-kepentingannya
yang sempit dan egois terpenuhi, segera setelah mereka ¡mundur' dari demokrasi
yang konsisten (dan mereka sudah mulai mengambil langkah mundur dari demokrasi
yang konsisten)." (Lenin, Collected Works, vol. 9, hal.98)



Dalam pandangannya Lenin, kelas mana yang
dapat memimpin revolusi borjuis-demokratik? "Yang tersisa adalah ¡rakyat',
yakni kaum proletar dan tani. Kaum proletarlah satu-satunya kelas yang bisa
diandalkan untuk berjalan hingga garis finis, karena mereka berjalan melampaui
revolusi demokratik. Inilah mengapa kaum proletar berjuang di garis depan untuk
pembentukan sebuah republik dan menolak saran yang bodoh dan tak bernilai untuk
memikirkan mengenai kemungkinan mundurnya kaum borjuis." (Ibid.)



Di dalam semua pidato dan tulisan Lenin,
peran konter-revolusioner dari kelas borjuis demokratik ditekankan oleh Lenin
berulang kali. Akan tetapi, sampai pada tahun 1917, dia tidak percaya kalau
kaum buruh Rusia akan dapat berkuasa sebelum revolusi sosialis di Eropa Barat -
sebuah perspektif yang dipertahankan hanya oleh Trotsky sebelum tahun 1917
ketika ini diadopsi oleh Lenin di Tesis
April-nya.


Revolusi
Oktober


Kelas pekerja Rusia - seperti yang Trotsky
prediksi pada tahun 1904 - meraih kekuasaan sebelum para pekerja Eropa. Mereka
melaksanakan semua tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik, dan dengan segera
menasionalisasi industri dan menuju pelaksanaan tugas-tugas revolusi sosialis.
Kaum borjuis secara terbuka memainkan sebuah peran konter-revolusioner, tetapi
ini dipatahkan oleh kaum pekerja yang beraliansi dengan kaum tani miskin. Oleh 
karena itu, Revolusi Oktober secara
megah mendemonstrasikan kebenaran dari teori Revolusi Permanen.



Setelah mengambil kekuasaan dan menyita
para tuan tanah dan para kapitalis, kaum Bolshevik menyerukan sebuah seruan
revolusioner kepada para buruh sedunia untuk mengikuti contoh mereka. Lenin
tahu dengan sangat baik bahwa tanpa kemenangan revolusi di negara-negara
kapitalis maju, terutama di Jerman, Revolusi Rusia tidak akan bisa selamat
terisolasi, terutama di negara terbelakang seperti Rusia.  Apa yang terjadi 
kemudian (baca: degenerasi
Uni Soviet yang menjadi birokratis) menunjukkan bahwa perspektif ini adalah
benar-benar tepat. Pembentukan International Ketiga (Komunis International), 
yakni
partai dunia untuk revolusi sosialis, merupakan manifestasi konkrit dari
perspectif tersebut.



Bila saja Komunis Internasional tetap
memegang teguh posisi Lenin dan Trotsky, kemenangan revolusi sedunia sudah
pasti akan terjamin. Sayangnya, tahun-tahun pertumbuhan Komintern terjadi
seiring dengan konter revolusi Stalinis di Rusia, yang memiliki sebuah efek
yang menghancurkan bagi Partai-Partai Komunis di seluruh dunia. Birokrasi
Stalinis, setelah meraih kontrol di Uni Soviet, mengembangkan sebuah perspektfi
yang sangat konservatif.



Teori bahwa sosialisme bisa dibangun di
satu negara adalah sebuah penyelewengan terhadap ide-ide Marx dan Lenin. Pada
awalnya, Stalin bahkan mengakui hal ini. Sampai pada bulan Februari 1924, di
dalam tulisannya The Foundations of Leninisme,
Stalin menyimpulkan pandangan Lenin mengenai pembangunan sosialisme:



"Penumbangan kekuasaan kaum borjuis dan
pembentukan pemerintahan proletariat di satu negara belumlah menjadi kemenangan
mutlak sosialisme. Tugas utama sosialisme - yakni
pengorganisiran produksi secara sosialis - masih harus dilaksanakan.
Dapatkan tugas ini dipenuhi, dapatkah kemenangan akhir sosialisme di satu
negara tercapai, tanpa bantuan bersama dari kaum proletar di beberapa negara
maju? Tidak, ini adalah hal yang mustahil.
Untuk menumbangkan kaum borjuis, usaha satu negara adalah cukup - sejarah dari
revolusi kita sudah menunjukkan ini. Unuk kemenangan akhir sosialisme, untuk 
pengorganisiran produksi secara sosialis,
usaha dari satu negara terutama sebuah negara petani seperti Rusia, tidaklah
cukup. Untuk ini, bantuan dari kaum proletar di beberapa negara maju
dibutuhkan."



"Secara keseluruhan, inilah ciri karakteristik dari teori Leninis
mengenai revolusi proletarian."



Tidak ada keraguan sama sekali kalau
kalimat diatas mewakili ciri karakteristik dari teori Leninis mengenai revolusi
proletarian, yang saat itu tidak dipertanyakan oleh siapapun. Akan tetapi,
sebelum tahun 1924 berakhir, buku Stalin sudah dirubah, dan isi di atas diganti
dengan isi yang benar-benar terbalik. Pada
bulan November 1926, Stalin mengatakan:



"Untuk titik tolaknya, partai ini selalu
mulai dengan gagasan bahwa kemenangan sosialisme di negara itu dan tugasnya
dapat dicapai dengan kekuatan dari satu negara."



Ini merepresentasikan sebuah revisi yang
fundamental terhadap ide Marxisme-Leninisme. Yang sebenarnya direfleksikan oleh
ide ini adalah mentalitas kaum birokrat, yang tidak ingin lagi menghadapi badai
dan stress revolusi, dan ingin segera memulai tugas "membangun sosialisme di
Rusia". Dengan kata lain, mereka inign melindungi dan memperbesar hak-hak
istimewa mereka dan tidak "membuang-buang" sumber daya negara untuk mengejar
revolusi dunia. Di pihak yang lain, mereka takut kalau revolusi di
negara-negara lain dapat berkembang dengan sehat dan mengancam dominasi mereka
di Rusia, dan oleh karena itu mereka secara aktif mencoba mencegah revolusi di
negara yang lain.



Daripada mengadopsi sebuah kebijakan
revolusioner yang berdasarkan keindependenan kelas, seperti yang Lenin selalu
anjurkan, mereka menganjurkan sebuah aliansi antara Partai Komunis dengan "kaum
borjuis nasional yang progresif" (dan bila tidak ada kaum borjuis nasional yang
progresif di lapangan, mereka siap untuk menciptakannya) untuk melaksanakan
revolusi demokratik, dan setelah itu, di masa depan yang sangat jauh, ketika
negara tersebut sudah mengembangkan sebuah sistem ekonomi kapitalis yang
matang, barulah mereka berjuang untuk sosialisme. Kebijakan ini merupakan
sebuah perpecahan total dari Leninisme dan kembali ke posisi Menshevisme yang
tua dan sudah tercemar - yakni teori "dua-tahap".


Revolusi
Permanen di masa kini


Kondisi politik sekarang bahkan lebih jelas
dibandingkan dengan tahun 1917. Semenjak Perang Dunia Kedua, semua "negara
ketiga" telah melalui sebuah periode gejolak sosial yang berkelanjutan.
Pencapaian kemerdekaan secara formal, walaupun disambut oleh kaum Marxis,
tidaklah menyelesaikan masalah-masalah bekas negara koloni ini. Selama mereka
tetap berada di dalam basis kapitalisme, tidak ada jalan ke depan. Mereka tetap
diperbudak oleh negara-negara kapitalis maju. Menggantikan penjajahan
militer-birokratik yang langsung, kita sekarang memiliki dominasi tidak
langsung melalui mekanisme pasar dunia dan perdagangan internasional.



Kaum borjuis nasional di negara-negara
koloni ini memasuki pentas sejarah terlalu telat, ketika dunia sudah
dibagi-bagi antara beberapa kekuatan imperialis. Mereka tidak mampu memainkan
peran progresif apapun dan mereka lahir dibawah telapak kaki mantan tuan
penjajahnya. Seperti halnya di kerajaan Tsar Rusia, kaum borjuis yang lemah dan
korup di Asia, Amerika Latin, dan Afrika terlalu tergantung pada modal asing
dan imperialisme untuk bisa membawa maju masyarakat mereka. Mereka terikat 
dengan
seribu benang, bukan hanya pada modal asing, tetapi juga pada kelas tuan tanah,
yang  bersama-sama dengan mereka
membentuk satu blok reaksioner yang menentang semua kemajuan.



Apapun perbedaan yang mungkin eksis antara
elemen-elemen ini (kaum borjuis nasional, modal asing, dan tuan tanah),
perbedaan tersebut adalah tidak signifikan dibandingkan dengan ketakutan mereka
terhadap massa, ketakutan yang menyatukan mereka
untuk melawan massa.
Hanya kelas proletar, bekerja sama dengan kaum tani miskin dan kaum miskin
kita, yang dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial dengan merebut kekuasaan
ke tangan mereka, menyita kaum imperialis dan kaum borjuis, dan memulai tugas
merubah masyarakat secara sosialis.



Dibawah kondisi masa kini, tugas-tugas
revolusi borjuis-demokratik di negara-negara terbelakang tidak dapat
diselesaikan dengan basis relasi properti kapitalis. Kaum borjuis yang lemah
dari negara-negara eks-koloni ini terlalu terikat dengan modal asing
internasional untuk bisa melaksanakan revolusi nasional sampai ke garis akhir.
Dan mereka juga tidak bisa berkompetisi dengan kompetitor dari negara industri
maju untuk pasar dunia. Sebagai akibatnya, status ekonomi mereka memburuk terus
menerus dibandingkan dengan negara-negara kapitalis maju.



Penghancuran ekonomi dari negara-negara
terbelakang ini menciptakan kondisi krisis sosial yang akut dan permanen. Di
satu pihak, masyarakat tani subsisten semakin terkikis berangsur-angsur, di
pihak yang lain, kelas kapitalis tidak mampu menerapkan sistem ekonomi kapitalis
di seluruh masyarakat. Bangkitnya negara polisi-militer di seluruh "dunia
ketiga" hanyalah sebuah ekspresi dari ketidakmampuan kaum borjuis dari 
negara-negara
koloni tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas revolusi demokratik. Hanya
melalui kediktaturan revolusioner dari kelas proletar, beraliansi dengan kaum
tani miskin, maka negara-negara terbelakang ini mampu mulai menyelesaikan
masalah-masalah ekonomi dan sosial mereka.



Dengan berdiri di muka bangsa dan memimpin
semua lapisan tertindas di dalam masyarakat (kaum borjuis kecil urban dan
rural), kaum proletar dapat mengambil kekuasaan dan kemudian melaksanakan
tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik (terutama reformasi agraria dan
penyatuan negara dan pembebasan negara dari dominasi asing).



Akan tetapi, setelah berkuasa, kelas
proletar tidak akan berhenti disana dan akan mulai mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan sosialis dan mengekspropriasi kaum kapitalis. Dan karena
tugas-tugas ini tidak dapat diselesaikan di satu negara saja, terutama di satu
negara yang terbelakang, ini akan menjadi permulaan dari revolusi dunia. Oleh
karena itu, revolusi ini "permanen" dalam dua hal: karena revolusi ini mulai
dengan tugas-tugas borjuis-demokratik dan berlanjut ke tugas-tugas sosialis,
dan karena revolusi ini mulai di satu negara dan berlanjut ke skala
internasional.


Peran
Partai-Partai Komunis


Teori dua-tahapnya Menshevik dan Stalinis
telah memainkan satu peran yang kriminal di dalam perkembangan revolusi di
negara-negara koloni. Dimana saja teori ini sudah diaplikasikan, ia telah
menghasilkan malapetaka. Pada tahun 1920an, mengikuti teorinya Stalin "blok
empat kelas", Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang masih muda saat itu dipaksa
untuk bergabung dengan partai borjuis nasional Kuomintang, yang kemudian secara
fisik menghancurkan PKT, serikat-serikat buruh, dan soviet-soviet tani selama
Revolusi Cina 1925-27. Alasan mengapa Revolusi Cina kedua (tahun 1949)
mengambil bentuk perang tani dimana kelas buruh Cina berperan pasif adalah
karena hancurnya kelas proletar akibat kebijakan-kebijakan Stalin, yang Trotsky
gambarkan sebagai "sebuah karikatur Menshevisme yang buruk."



Di Irak pada tahun 1950an dan 1960an,
Partai-Partai Komunis disana adalah kekuatan besar yang mampu mengorganisir
demonstrasi satu juta orang di Baghdad.
Saat itu, mereka bisa saja dengan mudah mengambil kekuasaan. Tetapi, dari pada
mengambil sebuah kebijakan kelas yang independen dan memimpin buruh dan tani
untuk merebut kekuasaan, mereka mencari aliansi dengan kaum borjuis "progresif"
dan seksi-seksi tentara yang "progresif". Tentara "progresif" ini, setelah naik
ke tampuk kekuasaan di atas punggung Partai-Partai Komunis Irak, kemudian
menghancurkan mereka dengan membunuh dan memenjara anggota-anggota dan
pimpinan-pimpinan mereka. Rakyat Irak membayar sangat mahal dengan dikuasai
oleh diktatur Saddam Hussein, dan horor peperangan dan okupasi asing yang
berlanjut dari sana.



Di Sudan, proses yang
sama terjadi bukan sekali saja, tetapi dua kali. Pada tahun 1967, Partai
Komunis Sudan (PKS) mampu memanggil demonstrasi 2 juta orang di Khartoum.
Tetapi para pemimpin PKS mengadopsi kebijakan "Aliansi Patriot" dengan kaum
borjuis "progresif". Apa hasil dari aliansi ini? Hasilnya adalah kediktaturan
Nimeiri, pembantaian PKS dan kemenangan kaum reaksioner di Sudan dengan
konsekuensi-konsekuensi yang tragis. Akan tetapi, semua malapetaka ini kecil
dibandingkan dengan pembantaian para Komunis di Indonesia pada tahun 1965.


Indonesia


Indonesia bukanlah
pengecualian. Walaupun memiliki potensial produksi yang besar, Indonesia tetap
terpuruk miskin dan terbelakang. Pada satu ketika, Indonesia adalah daerah
surplus-beras; pada tahun 1965, Indonesia harus mengimpor 150 ribu ton beras
setiap tahunnya. Ekonomi Indonesia terpuruk dengan hutang besar kepada
komunitas bank internasional, terutama bank AS. Setiap tahun, defisit anggaran
meningkat dua kali lipat. Jumlah defisit pada tahun 1965 adalah sekitar 1000
milyar rupiah. Mata uang Rupiah telah jatuh menjadi 1/100 dari harga legalnya
sebagai akibat dari inflasi kronik, yang 6 tahun sebelum kudeta 1965 telah
membuat ongkos kehidupan naik 2 ribu persen.



Walaupun ekonomi sedang
runtuh, Negara Indonesia saat itu membelanjakan 75% anggaran untuk persenjataan
(1 milyar dollar AS setiap tahun). Dengan ekonomi yang meluncur ke bawah dengan
cepat, Sukarno terpaksa menasionalisasi semakin banyak perusahaan-perusahaan
asing. Untuk melakukan ini, dia harus bersandar pada dukungan Partai Komunis
Indonesia - sebuah aksi yang tidak luput dari perhatian Washington.



Rejim Bonapartis dari
Sukarno dipenuhi dengan korupsi. Di tengah-tengah kemiskinan massal, upah
rendah dan masalah perumahan yang besar, Sukarno dan elit-elitnya hidup seperti
raja. Di bawah arahan Sukarno, sejumlah uang yang besar diboroskan untuk
membangun gedung-gedung mewah seperti Hotel Indonesia di Jakarta, dimana,
mengutip Sunday Times, "Tiga juta
rakyat, yang kebanyakan miskin, tinggal ... di rumah-rumah kumuh ... yang
kebanyakan akan runtuh". Sukarno tinggal di sebuah vila putih - yang dulunya
adalah tempat tinggal gubernur Belanda - dan dikelilingi dengan
perabotan-perabotan mewah dan karya-karya seni yang mahal. "Tiga ruang utama
yang megah tersebut tampak seperti museum dalam kebesarannya dan aurannya. 
Setiap
ruang itu diperaboti dengan megah dan dikarpeti. Setiap ruang digantungi dengan
sebagian dari koleksi lukisan megahnya Sukarno."



Kemiskinan dan kesukaran
rakyat mengakibatkan tumbuhnya PKI secara pesat. Tidak ada gerakan buruh di
"Negara Ketiga" yang tumbuh sepesat Indonesia. PKI, yang secara praktikal
hilang keberadaannya setelah kudeta yang gagal pada tahun 1948, menjadi Partai
Komunis terbesar ketiga di dunia - hanya Partai Komunis Tiongkok dan Uni Soviet
yang lebih besar.


Kebijakan Menshevik PKI


Jumlah anggota PKI saat
itu adalah 3 juta. Ia memiliki dukungan 10 juta anggota serikat buruh dan kaum
tani yang terorganisir. Yang terlebih penting, PKI mengklaim dukungan 40 persen
dari tentara Indonesia. Partai Bolshevik pada tahun 1917 tidak memiliki basis
yang sekuat itu. Pada bulan Februari, Bolshevik hanya memiliki 8000 anggota di
sebuah negara besar dengan 150 juta rakyat. Namun hanya dalam 9 bulan, Lenin
dan Trotsky memimpin Partai Bolshevik untuk menaklukkan kekuasaan. Secara
kontras, PKI dengan kekuatannya yang besar, memimpin kaum buruh dan tani
Indonesia menuju kekalahan yang penuh darah. Mengapa?



Di dalam perpecahan
Sino-Soviet, PKI berpihak dengan Peking, dan mempertahankan hubungan yang dekat
dengan kaum Stalinis Cina. Kita mungkin berpikir bahwa ini adalah sebuah
kombinasi yang revolusioner. Tetapi ini salah. Kebijakan PKI adalah kebijakan
kolaborasi kelas. Kepemimpinan PKI mengekori kepemimpinan sang borjuis
Bonapartis yang "progresif", Sukarno. Setelah 1948, semua sisa-sisa ideologi
revolusioner secara sistematis dihapus dari program PKI. Program dan Konstitusi
PKI tahun 1962 menggarisbawahi tugas partai untuk membentuk "negara rakyat
demokratik". Ini tidak ada kesamaannya dengan sosialisme.



"Negara rakyat
demokratik" ini akan merupakan sebuah "demokrasi tipe baru", yang bukan
berdasarkan kelas buruh, tetapi berdasarkan sebuah blok kaum buruh dan tani
dengan bermacam-macam koleksi "sekutu", termasuk " kaum borjuis kecil
perkotaan, kaum intelektual, kaum borjuis nasional (!), elemen-elemen
aristokrat yang maju (!!) dan elemen-elemen patriotik secara umum (!!!)" Dari
bentuk ini, sangatlah sulit untuk meraih kesimpulan mengenai karakter kelas
dari "negara rakyat demokratik" karena bentuk tersebut diatas hanyalah daftar 
semua kelas dan strata di Indonesia.
Ini berarti bahwa program PKI dengan orientasi Peking yang "revolusioner"
hanyalah mempertahankan status quo.



Daripada
kediktaturan proletar, PKI merujuk pada "otoritas" dari "rakyat" - sebuah
formula yang tidak ada artinya. Pada tahun 1955, PKI mengadvokasikan sebuah
koalisi nasional, dan menawarkan untuk menumpulkan program mereka yang sudah
tumpul menjadi sebuah daftar tujuan-tujuan yang sepenuhnya non-komunis. Ahli
teori utama dari PKI, yakni Aidit, menganjurkan teori "dua-tahap"nya 
Menshevik-Stalinis,
yang menunda revolusi sosialis ke masa depan yang jauh:



"Pada saat kita
menyelesaikan tahapan pertama dari revolusi kita yang sekarang sedang dalam
progres, kita dapat melakukan negosiasi bersahabat dengan elemen-elemen
progresif lainnya di dalam masyarakat kita, dan tanpa perjuangan bersenjata
kita akan memimpin bangsa ini menuju revolusi sosialis. Lagipula, kaum
kapitalis nasional di negara kita adalah lemah dan tak terorganisir. Sekarang,
di dalam revolusi demokratik nasional kita, kita berpihak dengan mereka dan
berjuang di dalam perjuangan bersama untuk menendang keluar dominasi modal
asing dari tanah air ini".



Argumen Aidit
penuh kontradiksi. Bila kaum borjuis nasional adalah lemah dan tak
terorganisir, maka lebih banyak alasan untuk menyapu mereka ke samping dan
membentuk pemerintahan buruh dan tani. Kenyataannya, seperti yang Lenin
garisbawahi ratusan kali, justru karena kelemahan kaum borjuis nasional yang
membuat mereka menjadi batu halangan yang reaksioner di dalam jalan menuju
revolusi demokratik di negara-negara terbelakang. Mereka (baca kaum borjuis
nasional) meragukan kemampuan mereka untuk mengontrol kekuatan-kekuatan yang
dilepaskan dari gerakan nasional demokratik itu sendiri, mereka menjadi ambigu, 
dan akhirnya mereka terdorong ke pihak
reaksioner karena takut terhadap kelas pekerja mereka sendiri. Untuk alasan
ini, sangatlah reaksioner bila kita mencoba memisahkan secara mekanis fase-fase
revolusi demokratik dan revolusi sosialis di negara-negara terbelakang. 
Pilihannya
adalah: revolusi demokratik "bergerak menuju" kediktaturan proletariat, atau
revolusi demokratik tersebut hancur di bawah palu reaksi.



Apa yang disebut
posisi "Leninis" dari Aidit dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya adalah identik
dengan posisi kaum Menshevik yang dilawan dengan gigih oleh Lenin sampai pada
tahun 1917. Bagi mereka, kediktaturan proletariat yang revolusioner ditunda
sampai masa depan yang jauh (dan oleh karena itu aman) - 50, 100, bahkan 300
tahun kemudian. Pertama-tama, kita selesaikan dahulu "tahapan pertama", lalu
setelah ini "tercapai sepenuhnya", kita "lakukan negosiasi bersahabat" dengan
mereka yang mungkin tertarik dengan "tahapan kedua". Akan tetapi, sejarah 
tidaklah
terjadi seperti itu.

"Gerakan 30 September"

Puluhan tahun
kebijakan dua-tahap Menshevik yang diadopsi oleh kepemimpinan PKI akhirnya 
menghancurkan
partai tersebut dan bersama-sama dengan itu seluruh gerakan buruh dan tani di
Indonesia dengan satu sapuan. Ini menyebabkan kehancuran gerakan Komunis di
Indonesia - yang saat itu adalah Partai Komunis ketiga terbesar setelah Uni
Soviet dan Cina - dan sebuah pergeseran radikal di dalam politik Indonesia dan
seluruh Asia Tenggara. Peristiwa yang memicu malapetaka ini adalah Gerakan 30
September.



Washington
bersihkeras untuk menumbangkan Sukarno dan menghancurkan PKI. Mereka
mengganggap prospek sebuah pemerintahan Komunis di Indonesia sebagai hari
kiamat. Pada sebuah pidato tahun 1965, Richard Nixon membenarkan pemboman
Vietnam Utara sebagai satu cara untuk melindungi "kekayaan mineral yang besar"
di Indonesia. Seperti yang ditulis oleh ahli sejarah John Rossa di dalam
bukunya Pretext for Mass Murder, yang
merupakan buku sejarah yang terbaru mengenai Gerakan 30 September:



"Tentara yang
mulai tiba di Vietnam pada bulan Maret 1965 tidak akan berguna bila kaum
Komunis menang di sebuah negara yang lebih besar dan strategis. Kemenangan PKI 
di Indonesia akan membuat
intervensi di Vietnam sia-sia ... McGeorge Bundy, seorang
penasehat keamanan nasional untuk Presiden Kennedy dan Johnson, juga telah
menekankan bahwa Vietnam sudah bukan lagi kepentingan yang vital ¡setelah 
revolusi
anti-komunis di Indonesia'."



Kebijakan-kebijakan Sukarno melawan
perusahaan-perusahaan asing, kebijakan Non-Bloknya (yang diperagakan di
Konferensi Asia-Afrika 1955), pengutukannya terhadap imperialisme Barat, dan
ketergantungannya pada PKI yang semakin meningkat, semua ini meyakinkan
Pemerintahan AS untuk membuat aliansi dekat dengan perwira-perwira reaksioner
seperti Jendral Nasution yang sangat anti-komunis. Dari tahun 1958 hingga 1965,
Amerika melatih, mendanai, menasehati, dan mensuplai seksi dari tentara 
Indonesia
yang anti-komunis. 



Akan tetapi, seperti yang dipaparkan di
dalam dokumen-dokumen rahasia pemerintahan AS yang telah dibuat publik, para
jendral sayap kanan ini sadar kalau mereka tidak akan dapat melakukan kudeta 
model
lama untuk melawan Sukaro dan PKI - karena Sukarno masih terlalu populer dan
PKI memiliki dukungan massa. Usaha-usaha sebelumnya untuk membelah Indonesia ke 
dalam negara-negara yang lebih
kecil ("zona komunis" dan "zona non-komunis') - seperti yang terjadi di Korea 
dan Vietnam - gagal total. Usaha-usaha
yang gagal ini justru memperkuat Sukarno dan PKI karena garis anti-imperialisme
mereka terbukti benar di mata rakyat.



Untuk alasan-alasan ini, sebuah kudeta
terbuka tidak dapat dilakukan di Indonesia. Supaya kudeta
sayap-kanan dapat berhasil, ia harus disamarkan sebagai sebuah usaha untuk
menyelamatkan Presiden Sukarno. Pada tahun 1959, Dewan Keamanan Nasional AS
sudah mengakui bahwa serangan terbuka terhadap PKI harus "dibenarkan secara
politik untuk kepentingan Indonesia sendiri" dan PKI harus didorong "ke posisi
dimana mereka menentang secara terbuka Pemerintahan Indonesia [Sukarno]."
Howard Jones, Duta Besar AS di Jakarta (1958-1965), mengatakan di dalam sebuah
pertemuan tertutup di Filipin pada bulan Maret 1965, "Tentu saja dari sudut
pandang kita, sebuah usaha kudeta yang gagal dari PKI adalah sebuah
perkembangan yang paling efektif untuk memulai sebuah pemutaran balik tren
politik di Indonesia." Triknya adalah untuk memprovokasi PKI untuk mengambil
aksi yang terburu-buru yang dapat digunakan sebagai alasan untuk
menghancurkannya.



Perangkap ini diluncurkan dan
pemimpin-pemimpin PKI jatuh ke dalam perangkap ini. Para pemimpin PKI, daripada
memobilisasi massa
untuk melawan kaum reaksioner tersebut, justru berusaha meluncurkan sebuah
kudeta istana dengan membunuh para jendral pemimpin sayap-kanan. Saya menulis
sebuah artikel mengenai peristiwa ini, Perspectives,
pada bulan Oktober 1965, beberapa minggu setelah kemenangan konter-revolusi. Di
dalam artikel ini saya menjelaskan bahwa bukannya membeberkan rencana-rencana
kaum sayap kanan, bukannya memobilisasi massa untuk mogok umum dan menyerukan
kepada pendukungnya di dalam angkatan bersenjata untuk melucuti para perwira
mereka dan bergabung dengan buruh untuk menumbangkan rejim yang busuk ini,
kepemimpinan PKI justru berkonspirasi untuk membunuh para jendral reaksioner
tersebut - sebuah konspirasi yang sangat rahasia sehingga selain Aidit tak
seorangpun dari anggota Komite Pusat yang mengetahui rencana ini.



Enam jendral dibunuh, tetapi Nasution
selamat. Bersama-sama dengan Suharto dan perwira sayap kanan lainnya, mereka
memanggil pasukan mereka, melepaskan propaganda media anti-komunis yang luar
biasa, dan memobilisasi demonstrasi mahasiswa (yang sebagian didanai oleh duta
besar AS). Revolusi istana ini rubuh. Kebijakan-kebijakan keliru dari Aidit dan
kepemimpinan PKI menaruh nyawa tiga juta buruh dan tani komunis di tangan kaum
reaksioner. Koran Daily Telegraph
menganalisa situasi ini di dalam editorialnya pada tanggal 12 Oktober, yang
berjudul The Civil War in Indonesia:



"Sangatlah jelas dari kejadian-kejadian
sepuluh hari terakhir di Indonesia
bahwa ini bukanlah sebuah kudeta istana seperti sebelumnya yang mengguncang
Republik Sukarno, ini adalah sebuah perang sipil yang menyebar. Tanah
konfontrasi sekarang mengkonfrontasi dirinya sendiri. Tiga kepala dari sang naga
ini, Muslim, Nasionalis, dan Komunis, saling menggigit satu sama lain, dan
pertikaian ini telah menyebar dari Jawa ke Sumatra.
Persaingan ketiga kekuatan ini yang telah ditangani oleh Dr. Sukarno sekarang
meledak. Bila angkatan bersenjata mencurigai sebuah kudeta Komunis, mereka
jelas-jelas terkejut dengan kekejamannya dan mereka terkacaukan dengan
terbunuhnya enam jendral mereka. Sekarang jelas kalau Dr. Sukarno ada di bawah
perlindungan angkatan bersenjata, dan dia telah mentoleransi kampanye melawan
gerilya komunis dan akhirnya menanggalkan kepura-puraan kalau Nasakom atau
Front Persatuan dia masih eksis."



Perang sipil ini dimainkan oleh satu pihak
saja. Bukannya meluncurkan ofensif yang agresif melawan kaum reaksioner - yang
pada jam-jam terakhir ini dapat menyelamatkan Partai Komunis - kepemimpinan PKI
justru mengandalkan aliansi mereka dengan "borjuis progresif" Sukarno. Saat
kaum komunis berjuang melawan massa
reaksioner, PKI tetap diwakili di kabinet Sukarno, mendukung demagog Sukarno
mengenai "kesatuan nasional", kestabilan, dll. Sampai akhirnya, mereka tetap
menempel pada Sukarno, tetapi Sukarno dan kabinetnya sudah impoten.



Puluhan ribu anggota PKI yang jujur dan
militan, yang kebingungan karena tidak adanya kepemimpinan dari partai mereka,
menyerahkan diri mereka ke kaum reaksioner, karena mereka percaya - seperti
yang dikatakan oleh pemimpin mereka - bahwa Sukarno akan melindungi mereka.
Akan tetapi, sang Bonapartis Sukarno sudah menjadi hanya sebuah simbol dan
tidak berkuasa lagi. Dengan begini, puluhan ribu anggota PKI sesungguhnya
menyerahkan diri mereka ke massa
reaksioner seperti domba yang pergi menuju tempat pemotongan hewan.



Pemerintahan Indonesia
tergantung di udara. Perjuangan politik yang sesungguhnya telah pindah ke
jalanan. Nasution memobilisasi kekuatan Muslim reaksioner. Markas PKI di Jakarta
di serbu dan dibakar oleh massa ribuan pemuda, yang berteriak "Gantung Aidit". 
Massa menyeruak di jalanan, menempel
poster-poster bertulisan "Hancurkan Kaum Komunis". Massa di depan duta besar
Amerika berteriak "Hidup Amerika". Sebuah demonstrasi 500 ribu orang menuntut
aksi terhadap semua yang berpartisipasi di Gerakan 30 September. Hasil akhirnya
adalah pembantaian setidaknya satu setengah juta kaum Komunis.



CIA memainkan peran yang
aktif di dalam pembunuhan massal ini. Yang disebut-sebut sebagai pahlawan
demokrasi di Washington, London, dan Paris dengan segera mengakui rejim
pembunuh ini. Peran kriminal dari imperialisme sangatlah jelas. Tetapi para
imperialis tidak akan dapat meraih kemenangan yang semudah ini bila bukan
karena kebijakan-kebijakan kepemimpinan PKI yang membawa malapetaka. Ketika
kekuasaan negara secara terbuka ditantang di dalam sebuah perang sipil, 
"moderasi"
dan "jalan tengah" menghilang seperti uap air. Tetapi kepemimpinan PKI bahkan
tidak bisa menyerukan mogok umum. Mereka bertingkah seperti para pemimpin
Sosial Demokrat dan Stalinis di Jerman pada tahun 1933 - dan mereka membayarnya
dengan harga yang sama.



Dimana kelas pekerja
dikalahkan tanpa perlawanan sama sekali, ini menyebabkan runtuhnya moral yang
sangat besar dan melumpuhkan rakyat untuk waktu yang sangat lama. Kekalahan
1965 mengusung sebuah periode militer-reaksioner yang kejam. Ini juga
menyebabkan runtuhnya moral dari kaum buruh dan tani di Malaysia. Tidak
mengejutkan kalau koran Daily Telegraph
mengekspresikan dengan jelas kepuasan mereka terhadap pesta-pora
konter-revolusi di Indonesia. Sebagai penutup, pengalaman Indonesia mengekspos
kepalsuan frase-frase "revolusioner" dari kaum Stalinis Cina. Satu-satunya
respon dari kaum birokrasi Cina terhadap pergolakan di Indonesia adalah pesan
"salam hangat" kepada Sukarno ketika dia akhirnya keluar dari persembunyiannya.


Pelajaran dari Kekalahan


Masalah ketepatan sebuah
teori atau masalah teori Menshevik-Stalinis bukanlah masalah akademik tetapi
merupakan masalah yang praktikal. Pengalaman dari kebijakan-kebijakan Stalinis
di dalam berbagai revolusi telah secara pasti membuktikan karakter
konter-revolusioner mereka. Selama puluhan tahun, kelas pekerja negara-negara
kolonial atau eks-kolonial telah membuktikan keberanian dan potensial
revolusioner mereka. Berkali-kali mereka telah bergerak untuk melaksanakan
transformasi revolusioner di negara mereka.



Di Irak, Sudan, Iran,
Chile, Argentina, India, Pakistan, dan Indonesia, kaum pekerja telah
menunjukkan bahwa mereka ingin menjadi tuan dari tanah air mereka. Bila mereka
gagal, ini bukan karena mereka tidak bisa berhasil, tetapi ini karena mereka
kekuarangan sebuah syarat penting untuk merebut kekuasaan: yakni sebuah
kepemimpinan yang benar-benar revolusioner. Setiap kali, mereka terbentur
dengan sebuah tembok karena partai dan pemimpin yang mereka percayai untuk
memimpin mereka menuju transformasi sosialis justru menjadi halangan yang
besar. Napoleon pernah berkata: "pasukan yang kalah belajar dengan baik". Bagi
kaum Marxis, pelajaran dari kekalahan lebih penting daripada pelajaran dari
kemenangan.



Para buruh bisa
mempelajari kesalahan-kesalahan mereka, tetapi hanya bila pengalaman-pengalaman
ini dijelaskan dan dianalisa dengan sabar oleh kaum pelopor revolusioner. Kaum
Marxis revolusioner memiliki sebuah tugas untuk menjelaskan pelajaran-pelajaran
dari kejadian 1965 di Indonesia kepada gerakan buruh. Apa perbedaan utama 
antara Rusia pada tahun 1917
dan Indonesia pada tahun 1965? Perbedaan utamanya bukanlah di kondisi-kondisi
objektif. Kondisi objektif di Indonesia pada tahun 1964-65 sangatlah mendukung.
Rakyat Indonesia telah mengalahkan imperialisme Belanda. Kaum komunis memiliki
dukungan mayoritas kelas buruh dan tani. Tetapi sebuah kebijakan dan perspektif
yang keliru cukup untuk menghancurkan revolusi ini. Bila Revolusi Oktober
membuktikan ketepatan teori Revolusi Permanen secara positif, maka malapetaka
Indonesia membuktikan ketepatan teori Revolusi Permanen secara negatif dan
secara sangat brutal.



Kesimpulannya
sangat jelas. Tanpa sebuah partai revolusioner, potensial dari kaum proletar
tetaplah akan menjadi potensial. Hubungan antara kelas dan partai adalah serupa
dengan hubungan antara uap dan mesin piston. Tetapi, keberadaan partai tidaklah
cukup untuk memastikan kesuksesan. Partai ini harus dipimpin oleh pria dan
wanita yang dipersenjatai dengan pemahaman akan tugas-tugas revolusi, taktik,
strategi, dan perspektif, dan bukan hanya tugas-tugas nasional tetapi juga
internasional.



Untuk meraih
kekuasaan, tidaklah cukup kalau kaum pekerja siap untuk bertempur. Bila cukup
hanya dengan kesiapan untuk bertempur, maka kelas pekerja sudah meraih
kekuasaan di semua negara tersebut dari dulu. Ini akan sangat mudah dicapai
karena mereka ada di dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan kaum pekerja
Rusia pada tahun 1917. Tetapi mereka tidak meraih kekuasaan. Mengapa tidak?
Karena kelas pekerja membutuhkan sebuah partai dan sebuah kepemimpinan. Untuk 
mengabaikan
kenyataan fundamental ini adalah anarkisme yang kekanak-kanakan. Marx 
menjelaskan
semenjak dulu bahwa tanpa organisasi, kelas pekerja hanyalah bahan mentah untuk
eksploitasi. 

Walaupun berjumlah banyak dan memainkan peran kunci di dalam
produksi, kaum proletar tidak akan mampu merubah masyarakat kecuali bila ia
menjadi sebuah kelas di dalam dan untuk dirinya sendiri ("in-and-for itself") 
dengan kesadaran, perspektif, dan pemahaman
yang dibutuhkan.



Untuk menunggu
sampai kelas proletar secara keseluruhan memperoleh pemahaman yang dibutuhkan
untuk merebut kekuasaan dan merubah masyarakat adalah sebuah proposisi yang
utopis, yang pada intinya berarti menunda revolusi untuk selamanya. Kita perlu
mengorganisir lapisan kelas proletar yang paling maju, mendidik para kader, dan
memenuhi mereka dengan perspektif revolusioner, bukan hanya dalam skala
nasional tetapi juga dalam skala internasional, untuk mengintegrasikan mereka
ke dalam rakyat di semua level, dan untuk secara sabar mempersiapkan diri untuk
menghadapi momen ketika perjuangan-perjuangan parsial menjadi sebuah ofensif
revolusioner yang umum.



Krisis ekonomi
global sekarang ini adalah sebuah gejala dari sistem kapitalisme dunia yang
telah kehabisan potensial untuk maju. Dan ini hanyalah permulaan dari sebuah
proses revolusioner yang akan bergulir di dalam tahun-tahun ke depan. Bila 
sebuah
partai Leninis yang sejati eksis, ini akan berakhir di sebuah revolusi proletar
yang klasik. 

Walaupun menderita kekalahan dan kemunduran, kaum pekerja dan tani
Indonesia pasti akan mengambil jalan perjuangan lagi dan lagi. Penggulingan
Suharto merupakan indikasi dari kenyataan ini. Satu persatu negara Asia, para
buruh, tani, dan pelajar akan mengambil jalan perjuangan karena tidak ada lagi
alternatif.



Revolusi Indonesia - yang
hanya bisa mengambil karakter sosialis - sekarang ada di agenda lagi. Sebuah
revolusi di Indonesia akan menggoncang seluruh Asia dan memiliki pengaruh yang
besar terhadap kaum pekerja dan tani di Malaysia, Filipin, India, Pakistan,
Bangladesh dan Sri Lanka. Pembentukan federasi sosialis Indonesia, Malaysia,
dan Filipin akan menyelesaikan masalah-masalah nasional secara adil. Potensial
produksi yang besar dari negara-negara ini hanya bisa direalisasikan dengan
sebuah ekonomi sosialis terencana, yang akan menciptakan kondisi untuk merubah
hidup rakyat banyak.



Syaratnya adalah bagi
rakyat pekerja untuk mengambil kekuasaan ke tangan mereka. Kaum pekerja dan
tani Indonesia memiliki sejarah perjuangan yang luar biasa. Generasi kaum
pekerja dan tani yang baru akan menemukan kembali tradisi-tradisi ini,
mempersenjatai diri mereka dengan ide-ide Marxisme dan memimpin massa ke
kemenangan akhir. Mereka akan membalas dendam martir-martir mereka yang
terbunuh, menggulingkan penindas mereka, dan membangun kembali masyarakat ini
secara sosialis. 



London, 17 Desember 2008




      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, 
Bangun Sosialisme!

Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:indo-marxist-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:indo-marxist-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    indo-marxist-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke