---------------------------------------------------------- Visit Indonesia Daily News Online HomePage: http://www.indo-news.com/ Please Visit Our Sponsor http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1 -0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0 Free Email @KotakPos.com visit: http://my.kotakpos.com/ ---------------------------------------------------------- Konflik vertikal dan horizontal di Maluku selama setahun terakhir, selain berakar pada permasalahan lokal juga ditengarai dikendalikan oleh elite politik dan militer di Jakarta. Hal yang terakhir ini dapat disimak dari kenyataan terjadinya rentetan pertikaian di berbagai wilayah Maluku, setiap kali tak lama setelah adanya kecaman atau tindakan yang kurang menyenangkan yang dialami elite politik atau militer tertentu. Demikian dikemukakan Dr Tamrin Amal Tomagola, sosiolog asal Halmahera Utara, yang juga dosen Pascasarjana UI dalam konferensi pers "Evaluasi Satu Tahun Sikap Pemerintah terhadap Maluku" di Aula Masjid Al Azhar Jakarta, Rabu (5/1) siang. Konferensi pers diadakan oleh Tim Independen Gabungan Pemetaan Masalah Maluku (Tegap Maluku) yang merupakan jaringan kerja sama antara Jaring Media Profetik, Medical Emergency Rescue Community (MER-C), Pos Keadilan Peduli Umat, dan Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia. Menurut Tomagola, khusus tentang kerusuhan di Halmahera Utara, ia melihat ada tiga sebab utama, yaitu perebutan wilayah agama yang akarnya sudah berlangsung lebih dari 127 tahun lalu, perebutan tambang emas di Malifut, dan perebutan kursi Gubernur Maluku Utara. Tentang perebutan wilayah agama, salah satu pelatuknya adalah peristiwa meletusnya Gunung Makian tahun 1975, yang memaksa suku Makian yang tinggal di 16 desa di Pulau Makian harus direlokasi atau "bedol pulau". Mereka kemudian dimukimkan di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Malifut, dekat tanah genting Bobaneigo, bagian terselatan Halmahera Utara. Berdasarkan PP No 42/1999 tentang pembentukan Kecamatan Malifut, suku Makian yang mayoritas beragama Islam tetap tinggal di 16 desa, dikhawatirkan membuat posisi lima desa asli suku Kao dan enam desa asli suku Jailolo yang mayoritas Kristen lalu menjadi minoritas. Tanggal 18 Agustus, meletuslah pertikaian jilid pertama di Halmahera Utara antara suku Kao dan Jailolo melawan suku Makian. Jilid kedua Pertikaian jilid kedua kemudian pecah tanggal 24 Oktober, mulai dari penghancuran 16 desa suku Makian. Para pengungsi suku Makian di Ternate dan Tidore kemudian membalas warga Kristen di Ternate dan Tidore, yang mendorong mereka yang terakhir ini mengungsi ke Manado dan Bitung. Pertikaian jilid ketiga terjadi pada 26 Desember lalu, ketika warga Kristen di Kecamatan Tobelo menyerang dua desa Muslim di sana, kemudian disusul dengan penyerbuan warga Muslim di Kecamatan Galela yang berlangsung hingga kini. Tentang perebutan tambang emas di Malifut, menurut Tomagola, tambang emas ini terletak di desa-desa penduduk asli Kao. "Karena itu, penolakan pihak penduduk asli atas PP No 42/ 1999, selain dilatarbelakangi perimbangan kuantitas antarumat beragama, juga didorong keinginan untuk memonopoli berkah tambang emas," katanya. Tentang perebutan kursi Gubernur Maluku Utara, Tomagola menyatakan, dilatarbelakangi oleh sejarah persaingan hegemoni antara kesultanan Ternate di satu pihak dengan kesultanan Tidore dan Bacan di lain pihak. "Sultan Ternate secara terbuka telah menyatakan minatnya untuk menjadi Gubernur Maluku Utara. Namun, tidak betul jika Kompas menulis bahwa Sultan Tidore juga ingin jadi Gubernur Maluku Utara. Ia hanya terseret keinginan masyarakat Halmahera Tengah untuk mendukung Bupati Halmahera Tengah menjadi Gubernur Maluku Utara," kata Tomagola. Tidak setuju Sementara itu, Tegap Maluku menyatakan sikap bahwa Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang ditunjuk oleh Presiden dengan Keppres No 151/1999 untuk menangani konflik di Maluku, hingga kini belum mampu menunjukkan hasilnya. Karena itu, Tegap Maluku mendesak dicabutnya Keppres No 151/1999. Menanggapi itu, Tomagola menyatakan, banyak faktor yang kompleks yang membuat penyelesaian konflik Maluku sulit dituntaskan. Tomagola yang masuk dalam tim penyelesaian masalah Maluku pimpinan Prof Selo Soemardjan, yang dibentuk Megawati, mengajukan usulan solusi jangka pendek, menengah hingga panjang. Solusi jangka pendek antara lain; kunjungan pimpinan negara ke Maluku Utara, penyegaran satuan aparat keamanan, tindakan tegas aparat penegak keamanan, pengusutan pelanggaran HAM, penegakan hukum, dan rehabilitasi fisik material dan mental. Solusi jangka menengah seperti; memfasilitasi pertemuan suku Makian-Malifut dengan suku Kao dan Jailolo, menata kembali tata-kelembagaan dialog antariman, aktualisasi lembaga adat, mensukseskan pemilu lokal, dan keadilan dalam menikmati berkah tambang emas. Solusi jangka panjang antara lain membangun prasarana yang menopang penggalian potensi daerah.*** ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Didistribusikan tgl. 6 Jan 2000 jam 05:27:27 GMT+1 oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]> http://www.Indo-News.com/ ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++