SEKALI MALING, TETAP MALING...


Sabtu, 9 Januari 1999

Jepang Kirim Utusan Mencek Penyelewengan Bantuan 

Tokyo, Kompas 

Gencarnya pemberitaan di media massa domestik Jepang akhir-akhir ini,
mendorong Pemerintah Jepang segera mengirimkan utusan khusus. Mereka
akan mengumpulkan fakta di lapangan tentang penyelewengan alokasi
bantuan, termasuk beras ke Indonesia. Utusan khusus itu, dijadwalkan
akan bertemu langsung dengan sejumlah pejabat Indonesia.

Demikian Staf Kementerian Luar Negeri Jepang, Jun Yamazaki, yang
berkompeten dalam masalah  bantuan, saat dihubungi koresponden Kompas
Yusron Ihza di Tokyo, Jumat (8/1). Dia mengatakan, mengingat masalah ini
bersifat mendesak dan segera, Kedutaan Besar Jepang di Jakarta akan
ditugaskan mengemban tugas ini, paling tidak untuk tahap awal.

"Jalan yang sedang kami pikirkan saat ini adalah memanfaatkan Kedutaan
Besar kami di Jakarta, untuk berbicara langsung dengan Pemerintah
Indonesia mengenai masalah itu," kata Yamazaki seraya menambahkan, staf
ahli organisasi Jepang di Indonesia juga akan ikut dilibatkan dalam
masalah tersebut.

Ditambahkan, misi khusus Jepang itu ditugasi untuk menyampaikan pesan
yang meminta Pemerintah Indonesia mempercepat penyaluran bantuan itu.

Sejak Rabu (6/1) hingga Jumat kemarin, masalah penyelewengan bantuan
beras-yang pernah diperjuangkan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita
itu-terus mendapat sorotan media massa Jepang. Harian Yomiuri Shimbun
edisi Rabu lalu, menyebutkan bahwa berita itu didasarkan atas peliputan
langsung di lapangan, bahkan melengkapi beritanya dengan foto timbunan
beras di salah satu gudang penyimpanan beras di Jakarta.

Harian lain, Nihon Keizai Shimbun edisi Jumat (8/1), menyebutkan bantuan
beras bersifat kemanusiaan itu, kini menumpuk di gudang-gudang
penyimpanan. "Bahwa beras itu sebagian besar menumpuk di gudang, ini
merupakan kenyataan yang jelas," tulis harian ini.

Ditambahkan, di samping alasan transportasi dan kesulitan penggilingan
beras yang masih berkulit ari, informasi dari Indonesia sendiri bahwa
beras itu diperjualbelikan secara tidak sah juga ditemukan di lapangan.
Hal yang sama juga ditulis oleh Yomiuri. ''Penyelidikan segera mengenai
kebocoran bantuan itu akan dilakukan Pemerintah Jepang,'' demikian Nihon
Keizai Shimbun.

Sampai sekarang, Jepang telah mengirimkan 450.000 ton beras dari jumlah
500.000 ton, yang perjanjiannya ditandatangani bulan Juni tahun lalu.
Status bantuan beras itu adalah pinjaman yang harus dikembalikan
Pemerintah Indonesia 30 tahun kemudian.

Menumpuknya beras itu selama sekitar empat bulan di gudang penyimpanan,
menimbulkan kecemasan bahwa kelak beras itu membusuk. Pihak Jepang juga
merasa aneh mengapa penimbunan itu dapat terjadi,
padahal Pemerintah Indonesia mengaku kekurangan pangan.

Bantuan beras itu telah diangkut oleh 90 kapal menuju 21 pelabuhan di
Indonesia. Namun sejauh ini pemerintah baru menyalurkannya ke Irian Jaya
dan Jawa Tengah sejumlah 10.000 ton. ''Sebagian besar beras itu ''tidur
saja'','' tulis Yomiuri.

Memalukan

Mengomentari hal itu, ekonom Universitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu,
menilai, penyalahgunaan bantuan asing memang sebagian besar dilakukan di
lapangan. ''Selama dua tahun bekerja di Bank Dunia, saya mempelajari
tiga modus penyelewengan. Pertama, sebenarnya pemerintah tidak
membutuhkan bantuan, tetapi pihak donor menawarkan karena ada kelebihan
likuiditas. Akhirnya, bantuan yang ditawarkan itu diselewengkan di
lapangan, dikatakan untuk membangun jalan, tetapi yang dibuat hanya
jembatan,'' katanya.

Modus kedua, lanjut Anggito, pemerintah mendesak pihak donor-yang pada
posisi tidak dapat menolak-untuk memberikan bantuan. Bantuan yang
diminta secara paksa ini selanjutnya diselewengkan departemen teknis
terkait. ''Ketiga, pemerintah dan oknum-oknum di pihak donor
bersekongkol menyelewengkan bantuan itu,'' ujarnya.

Sementara ekonom dari FE-UI, Anwar Nasution menyatakan tak heran mengapa
Jepang memantau setiap penyaluran bantuannya. Itu dilakukan untuk
menjamin bantuan mencapai sasaran. Mereka juga tidak mau jika bantuan
itu disalahgunakan untuk money politics.

''Kelakuan mereka (yang mengkorupsi bantuan) sudah seperti maling saja
kok. Bukan hanya Jepang, rakyat Indonesia juga marah kalau sumbangan
di-tilep pejabat. Anda pikir apa alasan rakyat memaksa Soeharto
lengser?'' ujarnya.

Perilaku itu dinilainya sangat merusak citra Indonesia di mata
internasional. ''Jangan heran jika kasus ini sampai mempengaruhi bantuan
Jepang di masa-masa mendatang pada Indonesia, bahkan bisa mempengaruhi
donor-donor internasional lainnya,'' kata Nasution. (tat/cc) 



Minggu, 10 Januari 1999

Jepang Teliti Bantuan Pemerintah Harus Segera Berikan "Clearance"

Tokyo, Kompas

Jepang sangat serius memantau masalah penggunaan bantuannya termasuk
bantuan beras ke Indonesia, terutama setelah masalah korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) terangkat ke permukaan menjelang berakhirnya rezim
Orde Baru. Begitu seriusnya, Jepang kini memakai jasa konsultan untuk
meneliti masalah penggunaan bantuannya ke Indonesia.

"Dalam masalah keseriusan, saat ini telah ada kontrak pihak Jepang
dengan konsultan-konsultan ahli untuk meneliti penggunaan bantuannya di
Indonesia; dan hasilnya sedang ditunggu," kata Mitsuo Nakamura, profesor
ahli Indonesia di Universitas Chiba, seperti dilaporkan koresponden
Kompas, Yusron Ihza, semalam dari Tokyo.

Jepang, menurut Nakamura, akan berbicara keras kepada Pemerintah
Indonesia mengenai masalah penyaluran bantuan, khususnya bantuan beras.
Sikap ini merupakan hal yang wajar, sebab sebagian besar bantuan Jepang
berasal dari pajak yang dipungut dari rakyat, sehingga Pemerintah Jepang
wajib mempertanggungjawabkan penggunaan pajak itu kepada rakyatnya.

Menurut Nakamura, dalam soal bagaimana bantuan beras itu
didistribusikan, Jepang akan mengambil sikap keras dan terus terang.
"Bantuan Jepang juga akan disesuaikan dengan perkembangan politik
Indonesia, terutama sejauh mana keseriusan Indonesia mengatasi masalah
KKN," tandasnya.

Di tempat terpisah, Prof Takashi Shiraishi, ahli Indonesia dari
Universitas Kyoto, juga mengatakan hal serupa. "Pemerintah Jepang tentu
tidak mungkin meneliti semua bantuannya ke Indonesia, tetapi dalam hal
kebocoran tentu akan dimonitor dan tidak dibiarkan," katanya.

Kalau sistem distribusi bantuan di Indonesia tidak diperbaiki, kata
Nakamura, Jepang akan berpikir bantuan yang selama ini disalurkan ke
Indonesia tidak ada gunanya, kecuali untuk bantuan kemanusiaan yang
benar-benar mendesak. Tetapi Jepang pada prinsipnya tidak ingin melihat
Indonesia jatuh ke dalam situasi yang lebih buruk. "Jepang terus mencari
cara yang terbaik," ujarnya

Namun yang jelas, tandas Nakamura, pantas disesalkan jika saat ini masih
banyak beras bantuan Jepang yang menumpuk di gudang-gudang. Pemerintah
Jepang berharap, Pemerintah Indonesia mencari solusi sesegera mungkin,
agar bantuan itu tersalur ke masyarakat yang saat ini membutuhkan untuk
persiapan Lebaran. 

Sejauh ini, salah satu alasan penumpukan bantuan itu adalah tidak
tersedianya mesin untuk menggiling beras yang masih mengandung kulit
ari. Akan tetapi menurut sumber-sumber di Jepang, Pemerintah Indonesia
menyatakan siap menerima beras dalam bentuk itu saat penandatanganan
perjanjian bulan Juni tahun lalu.

Beras Jepang itu sendiri saat ini umumnya hanya diimpor dan dikonsumsi
oleh restoran-restoran Jepang kelas satu, yang ada di Indonesia. Jika
diimpor secara komersial, harga beras Jepang tersebut sampai di
pelabuhan di Indonesia sekitar Rp 30.000 per kg.

Masalah serius

Sementara itu, pengamat ekonomi, Dibyo Prabowo dan Didiek J Rachbini
yang dihubungi Kompas secara terpisah, di Jakarta, Sabtu (9/1), mendesak
kepada pemerintah, agar segera mengambil sikap dan memberikan jawaban
(clearance) kepada Pemerintah Jepang.

"Lepas dari benar tidaknya berita adanya penyelewengan bantuan itu,
pemerintah harus segera turun ke lapangan dan meneliti. Setelah itu
segera menyampaikan jawabannya kepada Pemerintah Jepang. Sebab, ini
menyangkut citra Indonesia," kata Dibyo.

Dibyo, yang juga Dosen FE UGM itu, tidak begitu yakin akan adanya
penyelewengan pendistribusian. Sebab, dia melihat, saat ini banyak beras
yang membanjir di pasaran, termasuk beras impor. Banyaknya beras di
gudang-gudang itu menunjukkan bahwa kondisi saat ini pasar sudah
dibanjiri beras.

Kalau Menpangan AM Saefuddin mengisyaratkan akan adanya pajak bagi impor
beras, menurut Dibyo, itu berarti pemerintah ingin membatasi beras dari
luar. Pihaknya tidak akan begitu saja membenarkan adanya penyelewengan.
Sebab, perlu juga dipikirkan kalau beras bantuan membanjir di pasar,
bisa-bisa akan merusak harga beras di pasar.

Akan tetapi bagaimanapun, dia setuju agar pemerintah segera mengusut,
kapan datang, ke mana arahnya, dan di mana letak persoalannya.
"Pemerintah jangan diam saja dan harus segera mengambil sikap. Kalau ada
penyelewengan, itu tidak sulit diteliti. Kalau perlu ditunjukkan lewat
televisi," tegasnya.

Mengejutkan

Didiek Rachbini menilai, ada baiknya kalau ada tim eksternal yang ikut
mengawasi pendistribusian bantuan dari luar negeri ke Indonesia. Kalau
semakin banyak elemen luar yang ikut mengawasi dan membantu
mengungkapkan masalah penyelewengan, maka reformasi akan berjalan baik.
"Kita patut menghormati maksud mereka (utusan Jepang-Red)," ujar Didiek.

Dia mengaku terkejut mendengar reaksi Pemerintah Jepang yang mencium
adanya penyelewengan bantuan yang diberikannya itu. Meskipun masalahnya
masih perlu diteliti, dia juga curiga kemungkinan itu bisa terjadi.
Sebab, dalam krisis pangan seperti kemarin, mengapa banyak importir
beras yang hanya mengejar rente impor, bukan sebaliknya efisiensi impor.
"Banyak orang rebutan kapling impor, bukan efisiensi impor," katanya.

Dia sependapat, Pemerintah Indonesia harus memberikan penjelasan atas
reaksi Jepang mengenai dugaan adanya penyelewengan itu. "Menpangan
jangan ngurusi masalah politik terus, tetapi sebaiknya juga mberesin
masalah pangan itu. Masalah itu jangan dianggap main-main. Sudah
sepantasnya kalau otoritas memberikan pertanggungjawabannya," katanya.

Ditanya apakah karena saat ini sudah banyak beras di pasaran, sehingga
bantuan beras menumpuk di gudang, Didiek justru mendengar masih banyak
yang mencari beras. Sebab, diperkirakan Indonesia masih akan membutuhkan
beras.

Tentang masalah pangan di Indonesia ini, berdasarkan sebuah riset, kata
Didiek, masalahnya terletak pada kesenjangan. Bahwa di satu pihak banyak
orang kaya yang menumpuk beras, tetapi di pihak lain masyarakat kecil
kekurangan beras. "Jadi selain kekurangan produksi beras, masalah lain
adalah kesenjangan penyimpanan beras. Sebenarnya, kalau persediaan beras
yang ada pada orang kaya dan toko-toko dibagikan, maka sudah mencukupi,"
katanya. (ose)

Kirim email ke