Tahun 1977
Di tahun itu, setamat SMA saya melamar di Pusri. Pelamarnya sekitar 500
orang. Ujian level pertama tinggal 107 orang termasuk saya. Lalu ujian
tingkat kedua, tinggal 43 orang dan alhamdulillah, termasuk saya. Menurut
informasi, yang akan diterima adalah 30 orang. Terakhir adalah skrining
(tertulis dan lisan). 

Dalam skrining lisan, saya ditanya setujukah saudara PNS masuk suatu
partai politik? Kenapa tidak, begitu jawab saya tangkas. Lalu terjadilah
perdebatan. Saya setuju, penanya tidak setuju dengan alasan dengan masuk
partai, akan terjadi "dwi fungsi". Kenapa tidak, hidup ini adalah multi
fungsi, begitu kira-kira jawab saya. Setelah debat sana, debit sana,
akhirnya saya "diusir", dengan kata-kata Yah sudahlah kalau begitu, lihat
saja pengumuman nanti.

Keluar dari ruang itu, saya tercenung. Tiba-tiba datanglah "tukang sapu",
maap pegawai di sana juga. Beliau bertanya, kenapa ribut-ribut. Lalu saya
ceritakan masalahnya, PNS itu.  Masyaallah, begitu kata beliau sambil
geleng-geleng kepala. Dik, katanya: mereka itu, adalah CPM, dan berarti
GOLKAR. Sepertinya tidak akan lulus, begitu beliau mengakhiri obrolan.
Memang benar, saya tidak lulus skrining.

Zamanpun telah berubah, kalau dulu Golkar ngotot PNS tidak boleh masuk
partai, beberapa minggu lalu Golkar masih ngotot untuk membolehkan PNS
masuk partai.

Saya sendiri? Malah ikut berubah, ujung2nya jadi PNS yang tanpa perahu.
PNS yang tak pernah ikut pemilu walaupun jadi Ketua RT. 

Pemilu yang akan datang, saya mau nyoblos ah, maklum zaman sudah berubah.
Tetapi, nyoblos yang mana yah?

Salam berubah-ubah,
IH

Kirim email ke