. KOMPAS, Minggu, 19 September 1999 TIMOR TIMUR KOSOVO DI TEATER ASIA-PASIFIK NGONO yo ngono, ning ojo ngono. Barangkali pepatah Jawa yang pernah populer itu menjadi kiasan yang tepat untuk menyimpulkan tingkah laku Perdana Menteri Australia John Howard belakangan ini. Misi PBB menertibkan keamanan di Timtim, telah "disulap" oleh Perdana Menteri Howard menjadi sebuah petualangan politik yang sulit diterima akal sehat. Kalau mau sedikit tenggang rasa, sebetulnya Perdana Menteri Howard tidak perlu mengancam-ancam melalui media massa dengan melontarkan kata-kata yang pedas. Sulit juga dipahami, mengapa para pejabat Australia begitu tedeng aling-aling menunjukkan "otot" dengan memperagakan kehebatan militernya di Darwin sana, seolah-olah mereka-lah Sekjen PBB? Lalu bagaimana dengan pilihan logis lainnya, seperti melancarkan diplomasi rahasia terhadap Jakarta? Hubungan erat antara dua tetangga yang sangat dekat ini, luntur seketika akibat berondongan ancaman yang dikeluarkan Perdana Menteri Howard dan rekan-rekannya di pemerintahan. Jika dipahami secara rasional, perilaku Australia bisa diterima karena peranannya yang khusus dalam ikut menyelesaikan masalah Timtim. PM Howard ingin mengoreksi kesalahan masa lalu, memberikan restu kepada Jakarta untuk menyerbu Timtim dan mengakui integrasi. Untuk itulah Howard dan timnya mati-matian berupaya agar Jakarta mengubah sikap. Bagi rezim Howard, kemerdekaan Timtim merupakan sebuah sasaran yang harus dicapai melalui diplomasi dengan Jakarta. Sasaran itu sulit dicapai pada pemerintahan Orde Baru karena Soeharto sedikit banyak melibatkan Deplu dan Tni dalam masalah Timtim. Lain dengan kepemimpinan Presiden BJ Habibie yang sangat kontras dibandingkan Soeharto. Bagi Canberra, Habibie ibarat loose cannon yang sewaktu-waktu bisa mengambil keputusan yang independen dan melanggar komitmen Deplu atau TNI. Contohnya, adalah Habibie yang menolak lamaran Australia dan Selandia Baru untuk menjadi anggota Asia-Europe Meeting (ASEM) meskipun menlu ASEAN sudah menyepakatinya. Habibie merupakan kesempatan sejarah bagi Australia, harus dibujuk untuk menyetujui penentuan pendapat. Entah bagaimana caranya mereka berhasil. Ini sangat menarik untuk dijadikan kajian ilmiah. Namun satu hal yang pasti, bagaikan petir di siang bolong, akhir-nya Habibie mengumumkan kebijaksanaan dua opsi itu setelah membaca dan me-mikirkan surat dari Howard bulan Desember 1998. Padahal waktu itu Deplu dapat dikatakan sudah berhasil meyakinkan Sekjen PBB dan Portugal untuk menyetujui tawaran otonomi yang diperluas. Dan asal tahu, bahkan Xanana Gusmao dan Uskup Belo pun sebetulnya sudah setuju pula dengan konsep otonomi tersebut. Mengapa Habibie tiba-tiba menyimpang dari otonomi? Mungkinkah, sebagai ilmuwan yang pernah dididik di Barat, yakni Jerman Barat, ia memahami makna HAM dan hak kemerdekaan semua bangsa? Apa pun alasannya, pemerintahan PM Howard melancarkan diplomasi yang berbeda. Australia paham, untuk urusan Timtim, Soeharto ikut menyertakan Menlu Ali Alatas dan panglima-panglimanya dalam proses pengambilan keputusan. Semen-tara menghadapi Habibie yang lebih "independen", Perdana Menteri Howard tak mau terlalu sering berurusan dengan Alatas atau TNI. Apa sudah siap? Sebetulnya, rakyat Australia sudah tenang dari "gangguan" instabilitas selama masa pemerintahan Orde Baru. Meskipun secara ekonomis mereka harus membina hubungan dagang yang dekat dengan Indonesia, secara fisik mereka merasa aman dari ancaman invasi seperti yang mereka khawatirkan ketika Bung Karno masih ada. Namun, perubahan politik di Indonesia telah menjadi pertimbangan bagi Canberra untuk masuk ke Timtim. Mereka tidak pernah melancarkan intervensi, kecuali ke "wilayah pengaruh" di Papua Niugini dan Bouganville. Tetapi Australia setuju menjadi pemimpin pasukan ke Timtim, sebuah perubahan sangat mendasar bagi angkatan bersenjata mereka. Bagi Australia, Indonesia saat ini tidak lagi stabil dan agresif seperti ketika dipimpin dua presiden sebelumnya. Situasi politik yang tak stabil di Indonesia, justru akan menguntungkan Australia. Mengapa? Ketidakstabilan akan membuat militer Indonesia ti-dak diorganisir sebagai kekuatan yang mengancam, seperti Soekarno melancarkan konfrontasi atau ketika Soeharto menyerbu Timtim. Itulah sebabnya mereka khawatir bangkitnya Soekarnoisme lewat Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, atau kepemimpinan TNI ala Soeharto. Namun, Indonesia yang labil pun akan membahayakan Australia. Inilah dilemanya: stabil susah, labil pun sulit. Kalau labil, akibat perten-tangan politik domestik, Indonesia akan menutup perairan yang strategis, yang menghubungkan dua samudera, Pasifik dan Hindia. Konyolnya, Australia tidak memiliki kekuatan untuk "mengatur" rezim baru di Indonesia. Hanya negara-negara tertentu saja yang mampu melakukan itu, seperti AS, Cina, atau Rusia. Jika Indone-sia aktif mengadakan kerja sama militer dengan salah satu negara besar itu, Australia akan merasa terancam dari Laut Timor. Dalam rangka mencegah skenario semacam itulah Australia harus menunjukkan kemampuan militernya, khususnya kemampuan matra laut dan udara untuk "mengawasi" perairan di utara negaranya. Malahan mereka akan sangat bersyukur mendapat peluang masuk ke Timtim, sebagai awal untuk menjadikan Timtim merdeka sebagai pangkalan militer. Kehadiran permanen di Timtim semakin penting karena Canberra tidak selamanya yakin dengan intensi AS di Indonesia. Misalnya, AS tak begitu perlu dukungan Australia jika telah mendapatkan pangkalan atau akses militer di Indonesia atau di Selandia Baru. Jadi Australia merasa harus mengambil kendali atas wilayah di sekitar ini dari AS. Begitu pula dengan misi PBB ke Timtim, Australia merasa harus memainkan peranan terpenting. Tetapi sukses misi itu sangat tergantung dari sikap TNI: apakah mau mundur atau tidak? Harapan Australia tentu saja Pangab Jenderal TNI Wiranto memerintahkan pasukan menarik diri dari wilayah Timtim. Lagi pula, pengalaman pasukan PBB sering menunjukkan sikap meremehkan kompleksitas misinya di lapangan. Jadi, misi pasukan PBB pimpinan Australia tidak akan berjalan mulus sebagaimana diperkirakan. Apalagi citra Australia sudah keburu buruk di mata Indonesia, menambah besar potensi pecahnya konflik senjata. Sulit menghindari terjadinya analogi, bahwa Timtim akan serupa dengan konflik Kosovo di teater Asia-Pasifik. Nah, apakah pasukan dan pemerintah, juga rakyat Australia, siap menghadapinya? (bas)