.       KOMPAS, Minggu, 19 September 1999

        SANGAT WAJAR, PEMUTUSAN HUBUNGAN DENGAN AUSTRALIA

        TIMTIM merupakan "arena perjudian" strategis yang sangat
        tinggi taruhannya bagi PBB, Barat, ASEAN serta Indonesia dan
        Australia. Ketegangan diplomatik yang terjadi belakangan ini
        memperlihatkan semua pihak tak mau kalah dalam perjudian ini.
        Ironisnya, satu-satunya yang sudah pasti kalah dalam perjudian
        itu adalah rakyat Timtim sendiri.

        Lokasi dan wilayah sekitarnya, selat-selat di sekitarnya,
        potensi minyak bumi dan uraniumnya, menjadi ukuran betapa
        pentingnya nilai geo-strategis negara Timtim yang merdeka bagi
        negara-negara Barat, terutama Australia. Bagi Negara Kanguru
        ini, Timtim merupakan sebuah hadiah yang tak ternilai
        harganya, yang diraih berkat upaya yang keras selama
        bertahun-tahun.

        Bagaimana dengan AS? Sejak kehilangan pangkalan Subic dan
        Clark di Filipina, hegemoni AS di Asia-Pasifik berkurang
        sangat drastis. Krisis di Selat Taiwan, uji coba rudal Korut,
        ketegangan di Kepulauan Spratly, membuktikan kurang mampunya
        AS memaksakan hegemoni seperti dulu. Apalagi, Cina muncul
        sebagai raksasa ekonomi dan militer yang memiliki potensi
        mengendalikan Asia-Pasifik.

        Dalam rangka mengoreksi ketidakseimbangan pengaruh itu, AS
        coba meningkatkan kembali hegemoninya melalui lajur diplomasi
        dan militer. Prakarsa Menlu Madeleine Albright untuk memainkan
        peranan sentral dalam penyelesaian konflik Spratly melalui
        ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF ), kurang berhasil.

        Namun diplomasi militer Menhan William Cohen dan Komando AS di
        Pasifik, justru lebih berhasil. Kunjungannya mengelilingi
        negara-negara Asia-Pasifik menumbuhkan kembali rasa aman di
        kalangan sekutu yang membutuhkan "payung keamanan" AS di
        kawasan ini. Gagasan Cohen mendapatkan akses militer di
        kawasan ini telah mendapat jawaban positif dari sejumlah
        negara.

        Washington memandang Indonesia sebagai negara yang sangat
        ideal untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan strategisnya,
        baik pada sektor militer, maupun juga bidang politik dan
        ekonomi. Maka itulah sebetulnya AS tidak mau konfrontatif
        terhadap Jakarta. Apalagi, nilai strategis Timtim tidak
        sepenting Pulau Biak ataupun Kepulauan Natuna.

        Namun Presiden Bill Clinton, juga Albright, sadar betul bahwa
        PBB dan negara-negara Barat membutuhkan peranan moral dan
        politik AS dalam pasukan PBB. Satu-satunya sekutu "Barat" yang
        dapat diandalkan di Asia adalah Australia. Tetapi sayang,
        negara ini sedang mengalami krisis identitas karena rasnya
        sebagai "kulit putih Asia", yang belum cukup memahami budaya
        politik Indonesia.

        Kebetulan pula, PM John Howard merupakan cerminan dari
        politikus yang sangat Barat. Pada tahun 1989, ia pernah
        mengemukakan keraguan terhadap multikulturalisme dan
        kebudayaan Australia. Bahkan setahun sebelumnya, ia merasa
        jumlah imigran dari Asia harus dikurangi. Sementara Menlu
        Alexander Downer sering membuat malu para diplomat Australia
        karena sikap dan komentar yang kurang diplomatis.

        Itu sebabnya mengapa Howard dan Downer sering mengucapkan
        pernyataan yang seperti lupa dengan peranan sentral
        Indone-sia-khususnya Deplu-dalam Gerakan Non-Blok, Organisasi
        Konferensi Islam (OKI), Asia-Pacific Economic Cooperation
        (APEC) dan ASEAN. Bagi TNI yang sering menyumbang pasukan ke
        misi-misi PBB; Australia dan PBB seolah menilai Indonesia sama
        dengan "preman internasional" seperti Irak, Somalia, Rwanda,
        Haiti, atau Yugoslavia.

        Ketua ASEAN saat ini, Menlu Thailand Surin Pitsuwan, memahami
        ketidaksukaan Indonesia. Dan keterlibatan ASEAN pada pasukan
        PBB akan menjadi momentum yang baik untuk membuktikan kepada
        dunia bahwa negara-negara Asia Tenggara dapat menyelesaikan
        masalahnya sendiri.

        MENJADI BERANTAKAN

        Rasa yakin ASEAN itu ditunjukkan oleh semakin beraninya
        kelompok regional ini menolak hegemoni Barat. Para menlu ASEAN
        berani memboikot pertemuan dengan menlu Uni Eropa (UE) di
        Berlin karena UE menolak kehadiran delegasi Myanmar. NATO dan
        AS juga dikritik dan diwanti-wanti menlu ASEAN agar jangan
        sekali-kali melakukan pemboman di kawasan Asia-Pasifik,
        seperti yang mereka lakukan di Kosovo.

        Namun entah mengapa, Sekjen PBB Kofi Annan dan Dewan Keamanan
        (DK)-PBB meniscayakan realitas politik baru di Asia-Pasifik
        ini. Mungkin PBB tak mau repot, sekaligus menjadikan misi ke
        Timtim untuk meningkatkan kredibilitasnya setelah gagal di
        Irak dan Kosovo.

        Buat apa buang-buang waktu dan tenaga, toh Australia sudah
        siap masuk ke Timtim?

        Provokasi dan penangkalan (deterrence) Australia telah
        membangkitkan rasa nasionalisme kelompok-kelompok tertentu di
        Indonesia. Mungkin tak disadari, sikap tidak tenggang rasa
        Canberra itu bisa merendahkan pamor Indonesia sebagai kekuatan
        menengah (middle power) di Asia-Pasifik.

        Washington tahu betul perilaku itu sebetulnya
        kontra-produktif. Namun jika dihadapkan pada pilihan antara
        Australia dengan Indonesia, karena pertimbangan-pertimbangan
        tradisional dan budaya, AS tentu memilih sekutu Barat-nya itu.
        Lagi pula, para pejabat dan pers Australia berkali-kali
        menyatakan kekecewaan terhadap kebijaksanaan awal AS yang
        ragu-ragu mengirim pasukan. Perilaku Australia yang agresif
        dan provokatif, yang seperti "menantang perang" Indonesia itu,
        merupakan sebuah keharusan strategis, sesuai dengan
        kebijaksanaan pertahanan PM Alexander Downer. Kepentingan
        keamanan Australian Defence Forces (ADF) bukan lagi sekadar
        "mempertahankan benua" (continental defence) seperti dulu
        menghadapi serangan Jepang dalam Perang Dunia kedua, namun
        diproyeksikan ke benua Asia-Pasifik di utara.

        Konsep pertahanan benua ini berorientasi ke doktrin pertahanan
        AS, yang mengandalkan kepemilikan pangkalan-pangkalan militer
        di luar benuanya (forward base defence). Seperti diberitakan
        The Age (19/2), pemerintahan Howard sudah memperkirakan
        terjadinya kekacauan setelah penyelenggaraan penentuan
        pendapat. Timtim menjadi alasan yang tepat bagi ADF-dan
        kebetulan dapat dibenarkan oleh PBB-untuk masuk Timtim.

        Oleh sebab itulah Australia berani "bermain api" dengan
        mengancam Indonesia tanpa henti-hentinya. Mereka tidak peduli
        bahwa Timtim masih menjadi bagian dari wilayah kedaulatan
        Indonesia sampai Sidang Umum MPR mendatang. Mereka sesumbar
        tentang kesiapan pasukan dan kecanggihan peralatan tempur
        untuk "menaklukkan" Timtim dan seisinya.

        Setelah masuk Timtim, sasaran Australia selanjutnya adalah
        tetap tinggal di bekas propinsi ke-27 itu dan menjadikannya
        sebagai wilayah penyangga (buffer zone) pelaksanaan
        kebijaksanaan keamanan nasional dan politik luar negeri.
        Australia akan hadir dan meneguhkan diri sebagai kekuatan
        militer baru, yang sepadan dengan ne-gara-negara menengah dan
        ikut menentukan pengaturan keamanan di Asia-Pasifik.

        Kehadiran Australia dengan cara yang kontroversial ini,
        membuat Asia-Pasifik "tidak jinak" lagi dan semakin sesak
        dengan kepentingan-kepentingan geo-strategis negara-negara
        menengah dan besar. Lansekap keamanan regional yang dikelola
        ASEAN Regional Forum, akan sangat terganggu karena pada
        dasarnya ASEAN kurang mendukung kehadiran PBB di kawasan ini.

        Ketika Habibie menawarkan dua opsi, tiga negara Dewan Keamanan
        PBB (AS, Rusia, dan Cina) sangat kaget. Lewat PBB, Rusia dan
        Cina akan mewaspadai dan menjaga agar AS tidak melangkah
        terlalu jauh. AS sendiri, jika berperan secara berlebihan,
        akan kehilangan kesempatan mendapatkan akses militer di
        Indonesia.

        PM Howard telah mengguncang stabilitas dan perdamaian di
        kawasan ini. Apa pun perhitungannya, berhasil atau gagal di
        Timtim, ia membuat kawasan ini berantakan. Sangatlah wajar
        jika Indonesia segera memutuskan saja hubungan diplomatik
        dengan Australia. (budiarto shambazy)

Kirim email ke