Berikut ini adalah berita tentang buntut kematian wartawan Belanda di TIMTIM

Salam
WBMS

----------------------------------------------------

Buntut Kematian Sander Thoenes
Wartawan Belanda Salahkan Interfet
Koresponden Khusus: Eddi Santosa

detikcom, Den Haag- Kematian wartawan Belanda yang bertugas di Timtim,
Sander Thoenes, mengguncang kalangan wartawan Belanda. Mereka mengecam
Interfet yang dinilai bertanggung jawab pada kematian Thones. Baik
International Federation of Journalist (IFJ) maupun Nederlands Genootschap
van Hoofdredacteuren (NGH) sama-sama menimpakan kesalahan kepada Interfet.

"Pasukan Interfet pimpinan Australia tak berbuat banyak untuk melindungi
sekitar 150 wartawan yang bertugas di Timor Timur," statemen resmi mereka.

Pelimpahan kesalahan ke Interfet itu bisa dimaklumi karena siapa pun yang
akan meliput 'operasi perdamaian' di Timtim, diwajibkan mendaftar dan
melapor kepada desk Interfet. Sehingga keselamatan wartawan kini ada di
tangan Interfet.

Namun kematian yang menimpa wartawan di wilayah operasi Interfet itu tak
membuat komandan Interfet terusik. Reaksi Mayjen Peter Cosgrove, komandan
Interfet, juga dingin. "Prioritas saya terletak pada masalah-masalah lain,"
ujar Cosgrove ketika ditanya soal itu. Jawaban Cosgrove ini sangat
mengecewakan wartawan Belanda. Akibatnya mereka cabut dan ogah meliput
kegiatan Interfet karena merasa tidak aman. Kabarnya hanya wartawan dari
harian Algemeeen Dagblad yang memutuskan untuk tetap tinggal di Timtim.

Tak Pernah Ketinggalan Deadline

Thoenes sendiri dikenal sebagai wartawan yang berdedikasi tinggi. Dia tidak
pernah ketinggalan deadline untuk menyetor berita. Menurut para sejawat,
Thoenes adalah tipe wartawan yang santun, cermat dan hati-hati.
Kedatangannya ke Dili adalah untuk membuat laporan kepada harian terbitan
Inggris, Financial Times dan majalah terbitan Belanda Vrij Nederland.
Thoenes memang bekerja rangkap pada kedua media itu.

Thoenes mengawali karir jurnalistiknya di Moscow Times, setelah ia
menyelesaikan kuliah di Amherst College, jurusan sejarah dan jurnalistik,
dengan bidang studi tambahan Bahasa Rusia. Prestasi Thoenes di sana menarik
perhatian seorang koresponden dari Financial Times, yang akhirnya menariknya
untuk bergabung dengan Financial Times dan menduduki pos baru di Kazachstan.

Dari Kazachstan, Thoenes banyak menulis tentang industri minyak dan perang
di Cechnya. Akhirnya koran bisnis Inggris itu mengganjar prestasi Thoenes
dengan mengirimnya ke Jakarta, sebagai koresponden tetap.

Para sejawat Thoenes di Belanda menambahkan, bahwa di Jakarta, Thoenes dalam
waktu singkat berhasil membangun network di dunia finansial. Di samping itu
ia juga berhasil membuka kantor dengan dua orang karyawan, sehingga ia bisa
punya cukup kesempatan pula untuk menulis buat Christian Science Monitor.

Selasa pagi (21/9/1999), Thoenes mendarat di Dili. Menurut informasi dari
Pemimpin Redaksi Vrij Nederland, O. Garschagen, Thoenes telah mengirimkan
sebagian hasil liputannya. "Tinggal melengkapi beberapa detail dan
konfirmasi" kata dia. Karena itulah, Thoenes pergi naik motor-taksi (ojek)
ke daerah yang dia perkirakan bisa melengkapi tulisannya.

Baik maupun Vrij Nederland menunggu laporan tambahan dari Thoenes. Namun
sampai deadline terlewati, laporan tambahan tak kunjung masuk. Rasa gelisah
dan curiga mulai menyergap para pimpinan redaksi kedua media itu, sebab
wartawan yang ulet itu tak pernah ketinggalan deadline. Ternyata, Thoenes
kali ini memang harus menyerah kepada deadline dan tak bisa melengkapi
laporannya selama-lamanya. Maut telah memisahkannya dari pena yang
dicintainya. Jazad Thoenes ditemukan rusak teraniaya.


Sumber: http://www.detik.com/berita/199909/19990923-1540.htm

Kirim email ke