;-) Bicara masalah capres-cawapres, dg Kans yg ada sekarang, kenapa orang-orang (di Senayan) itu tidak berinisiatif utk menduetkan Mega dan GusDur. Bukan, bukan untuk mendendangkan lagu dangdut menghibur wakil rakyat, tapi untuk posisi Presiden dan Wakil. Dua tokoh ini tampaknya kompak selalu. Bila NU dan para kiai ingin GusDur diposisikan sebagai Bapak Bangsa, di kursi wapres itu pas juga, malah di kursi presiden agak kurang pas, karena dia harus membawahi langsung kabinet, dsb., dsb., yang membuat dia tidak bisa independen mengeluarkan statement-statement unik yang nampak-nampaknya merupakan hobinya juga. ;-) Bila GusDur inginnya second to nobody seperti dikatakan Amien Rais, Wapres itu juga secara struktural tidak posisi second-second-an. Wapres dan Presiden itu kan sama-sama dipilih oleh MPR, dan bertanggung jawab kepada lembaga itu, dan bukannya Wapres itu bawahan presiden yg bisa dipecat begitu saja oleh presiden itu. Pola Sukarno-Hatta jaman dulu, itu juga jelas sekali mencerminkan betapa Hatta itu juga second to nobody. Dengan kombinasi ini, insya Allah, PDIP senang, poros tengah senang,... market, investor, spekulan, pihak asing, IMF, bank dunia, rakyat kecil, TNI,... dan seterusnya, senang semua. Orang Islam (ortodox) yang mati-matian tidak mau dipimpin wanita pun, rasanya lebih bisa menerima duet tersebut, karena dalam pola itu, yang memimpin bukanlah Mega, melainkan duet Mega-GusDur secara bersama-sama, dwitunggal ala Sukarno-Hatta. Demikian pula, orang yang ngotot mempertanyakan taraf pendidikan Mega, argumennya menjadi irelevan. Kans Habibie (dan apalagi bila berduet dengan Wiranto) akan jauh mengecil, dan mungkin kubunya menjadi kurang senang. Demikian juga, mungkin AA Baramuli dan Andi Galib kurang senang, tapi andaikan DPR/MPR harus mengakomodir aspirasi mereka-mereka itu juga, kapan beresnya... ;-) Sekedar usul dan opini. Yw.