DetikCom: Menkeu Umumkan Audit Pertamina & Bulog: Pertamina Boros Rp 16,040 Triliun Reporter: Irna Gustia W detikcom, Jakarta- Hasil audit Pertamina dan Bulog, Senin (11/10/1999) diumumkan oleh Menteri Keuangan, Bambang Subianto. Pertamina dilaporkan mengalami inefisiensi (boros) senilai Rp 16,040 triliun. Sedangkan Bulog inefisiensinya Rp 6,7 triliun. Hanya saja, untuk Bulog, menggunakan kurs Rp 3.500-Rp 4.000 per dollar AS-nya. Pengumuman hasil audit Pertamina dan Bulog itu dilakukan Menkeu di kantor Menko Wasbang/PAN Jl.Senopati, Jakarta Selatan pukul 10.00 wib. Pengumuman itu dihadiri oleh Dirut Pertamina, Martiono dan Dirut PLN, Adi Satria. Sedangkan Kabulog Rahardi Ramelan diwakili oleh Deputi Pengadaan, A.Amien. Menurut Menkeu Bambang Subianto, audit Pertamina dilakukan oleh PricewaterhouseCoopers (PwC). Dari hasil audit itu diketahui telah terjadi inefisiensi sebesar 2,005 miliar dollar AS atau dengan kurs Rp 8.000 totalnya sebesar Rp 16,040 trilun. Angka itu memang masih menimbulkan tanda tanya besar. Soalnya, beberapa waktu lalu, PwC, sebagaimana dilansir banyak media massa, memperkirakan inefisiensi Pertamina tersebut mencapai Rp 43 triliun. Menurut Bambang Subianto, dari Rp 16 triliun tersebut, inefisien terbesar berasal dari kantor pusat sebesar Rp 13,050 triliun. Lalu BPPKA (Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing) Rp 928 miliar, Eksplorasi dan produksi Rp 296 miliar, Pengolahan Rp 504 miliar, Pembekalan dan pemasaran dalam megeri Rp 252 miliar dan Perkapalan, kebandaran dan komunikasi Rp 720 miliar. Dari Rp 16 triliun tadi, menurut PWC sebenarnya bisa dihemat Rp 9,114 triliun sampai Rp 15,744 triliun. Sedangkan Bulog yang diaudit oleh Arthur Andersen dari Januari - Juli 1999 diperoleh angka infisiensi sebesar 2,0 miliar dollar AS. Dalam rupiahnya disebutkan Rp 6,7 triliun. Artinya, kurs yang dipakai adalah Rp 3.500-Rp 4.000 per dollar AS. Padahal pada bulan-bulan itu, kurs yang berlaku berkisar pada Rp 8.000 per dollarnya. Dari inefisiensi sebesar Rp 6,7 triliun tersebut, rinciannya Rp 1,8 triliun dari praktek yang tidak diperkenankan, Rp 2,3 triliun karena sistem dan pengawasan yang lemah dan Rp 2,6 triliun karena persyaratan dagang yang tidak menguntungkan. Lantas bagaimana dengan hasil audit PLN? Belum bisa diumumkan. "PLN belum menyelesaikan laporan terakhirnya,"kata Bambang Subianto.