Nasrullah Idris (Acu)
=====================
>      Kita sebenarnya masih kekurangan perbendaharaan panggilan versi
Bahasa
> Indonesia dalam keluarga
>      Misalkan untuk :
>      1) adik dari kakek/nenek (biasanya sama juga disebut kakek/nenek)
>      2) kakak dari kakek/nenek (biasanya sama juga disebut kakek/nenek)

Wangsa
======
Masih kekurangan? Ah masa? Saya bukan ahli bahasa, tapi saya pernah
mendengar pemakaian aneka istilah untuk sesuatu yang kurang lebih sama atau
berasal dari unsur-unsur yang sama dalam suatu bahasa itu menunjukan
penting-tidaknya bagi pemakai bahasa tersebut.

Contoh kasus, istilah padi, gabah, beras, nasi dalam Bhs Indonesia,
menunjukan bahwa itu penting bagi orang Indonesia (maklum sebagian besar
orang Indonesia amat bergantung pada nasi). Bahasa Inggris cukup dengan satu
kata saja untuk mewakili kata-kata tersebut; RICE.

Konon, orang eskimo mempunyai banyak kata untuk menunjukan warna putih;
mengingat di sekeliling mereka yang ada hanya salju yang berwarna putih.

Acu
===
>      Mengapa istilah "saudara dua pupu" tidak/belum populer  dalam Bahasa
> Indonesia, yaitu dua orang bersaudara di mana kakek/neneknya masing-masing
> bersaudara.
>     Penambahan perbendaharaan kata panggilan memang perlu. Tiada lain
untuk
> menghindari resiko munculnya kebingungan, terutama dalam keluarga besar.


Wangsa
======
Dibandingkan bahasa Inggris, sebutan keluarga bagi orang Indonesia
sebenarnya cukup beragam. UNCLE, misalnya yang selama ini diterjemahkan
sebagai *paman*, juga berarti *uwak* atau *pakde*. Begitu juga AUNT bisa
berarti *bibi* atau *bu de*

Mengenai perlu tidaknya penambahan perbendaharaan kata panggilan, saya kira
tidak perlu dipaksakan, biarlah bahasa tumbuh secara alami. Apalagi trend
keluarga di Indonesia (yang antara lain dipengaruhi oleh program Keluarga
Berencana) tampaknya menuju keluarga inti (bukan keluarga besar). Malah
boleh jadi perbendaharaan istilah panggilan justru berkurang bukannya
bertambah.

Lebih lanjut, kalau boleh saya menambahkan, (berdasarkan penggunaan istilah
bahasa) saya punya dugaan bahwa pada jaman dulu (sebelum adanya kolonialisme
di Indonesia), kita tidak mempunyai masalah dengan gender atau emansipasi
perempuan atau apapun istilahnya.

Soalnya beberapa bahasa daerah yang saya tahu (termasuk bhs Indonesia),
tidak mempunyai istilah kata ganti orang yang dikaitkan dengan jenis
kelamin. Bhs Indonesia mempunyai kata DIA, IA dan BELIAU yang digunakan baik
untuk perempuan dan laki-laki (bandingkan dengan bhs inggris yang mempunyai
HE dan SHE). Apa ini artinya? Artinya orang Inggris dan eropa umumnya
(apalagi Jerman yang mempunyai struktur gramatika gender yang sangat
kompleks) sangat perlu untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Ini didukung pula oleh pranata hukum yang digunakan oleh orang eropa pada
saat itu. Teman saya yang kuliah di fak. hukum pernah bilang pada saya bahwa
hukum perdata pada jaman belanda amat-sangat membedakan hak antara perempuan
dan laki-laki. Sebagai contoh, katanya, menurut pada saat itu, perempuan
(dan anak-anak) tidak punya hak untuk memiliki atau menguasai tanah (tolong
koreksi kalau saya salah). Kalaupun mau, harus ada wali laki-lakinya.

Dugaan bahwa kita tidak mempunyai masalah dengan gender pada jaman dulu
diperkuat pula dengan kenyataan bahwa di daerah sumatra (yang boleh jadi
juga di Jawa) dulu (hingga sekarang) masih kuat dengan kultur
matrilinealnya. Bali-pun tampaknya tidak punya masalah dengan gender.

Salam
Wangsa

Kirim email ke