From: Sulfikar Amir <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED] Subject : Fw : Paradigma Ilmuwan Indonesia Menarik membaca artikel “lepasan” Bung Nasrullah Idris. Ya ada beberapa poin menarik terutama berkaitan dengan perilaku para ilmuwan kita. Saya sendiri tidak akan se-skeptis itu melihatnya. Artinya perilaku itu muncul sebagai bentuk interaksi dengan sistem dimana mereka berada. Mungkin kedengarannya klise, tapi itulah kenyataanya. Bisa saja bahwa menjadi seorang ilmuwan semestinya dibarengi dengan kesadaran atas segala konsekuensi logis dari predikat akademis (sebagai lawanan predikat dari media massa) tersebut. Bahwa tugas ilmuwan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan yang memberi manfaat bagi masyarakat luas (tidak sekedar untuk mendapat KUM atau mengejar predikat professor sebagai jembatan ke posisi rektor, dirjen, atau menteri). Beruntunglah bahwa masih ada segelintir ilmuwan kita yang masih bersikap idealis (tanpa perlu saya sebutkan nama). Sayangnya “ilmuwan” sebagai fungsi dagang masih terlalu dominan (tentunya tanpa perlu saya sebutkan namanya juga). Kembali ke permasalahan sistem (saya coba untuk berpikir sistemik), setinggi apapun levelnya, sistem pendidikan kita masih sangat kental dengan pragmatisme. Ini tidak bisa dipungkiri. Mengapa ini terjadi? Hemat saya karena pendidikan telah dijadikan fungsi produki semata oleh pemerintah, bukan fungsi budaya. Tentunya kedua domain ini sangat berbeda. Fungsi produki berpatokan pada aspek-aspek efisiensi (benefit-cost analysis), time delivery, dan sebagainya yang cenderung mengukur dengan paradigma kuantitatif. Sementara fungsi budaya lebih berorientasi pada kualitas hasil pendidikan yang cenderung long-term oriented (sori pake istilah asing). Maka tidak heranlah kalo sistem pendidikan kita seperti sekarang seperti yang digambarkan Bung Nas. Mengenai mental ilmuwan “pedagang,” saya kira tidak terlepas dari nilai pragmatisme itu. Ya banyak doktor kita (lulusan dalam atau luar negeri) yang berpikir begini: Saya sudah sekolah bertahun-tahun, tapi kalo cuma tinggal di BTN dan bermobil Kijang 80-an, No Way !! Jadilah para ilmuwan kita berlomba-lomba mengejar kemapanan (in terms of economic living). Terus kita mau nyalahin mereka? Membandingkan penghargaan ilmuwan di negara lain, maka tidak arif untuk menyalahkan mereka. Pak Intan pernah menyebutkan angka gaji untuk seorang staf pengajar universitas di Amerika yang sangat cukup untuk menghidupi ilmuwan beserta keluarga. Ya mungkin tidak proporsional membandingkan keadaaan Amerika Serikat dan Indonesia. Tapi dengan minimnya penghargaaan terhadap kaum ilmuwan secara ekonomis oleh pemerintah (gaji seorang dosen III B sekitar 500 ribu per bulan, sementara gaji seorang sekretaris tamatan SMA di perusahaan swasta bisa melebihi itu), maka mestinyalah pertanyaan kita todongkan ke pembuat kebijakan, yakni pemerintah. Wassalam, Sulfikar Amir