Siapa bilang jadi ilmuwan yang populer itu enak dan bahagia? Tentu saja bagi yang nggak tahu sejarah mereka akan menganggap demikian hanya karena mereka telah berhasil menemukan produk yang bermanfaat bagi manusia di seluruh dunia. Tapi tunggu ! Banyak dari mereka yang mengalami penderitaan lahir-batin yang menyedihkan, serta sedikit-banyak berhubungan dengan profesi yang sedang dijalankan. Hati mereka terguncang atau tertekan saat menjalankan profesi, walaupun bisa dihadapi dengan tegar dan tabah, bahkan di antaranya hingga menjelang kematian. Sampai kini karakteristik mereka terus dijadikan bahan penelitian para psikiater/psikolog untuk mencari kekurangan di samping kelebihan, agar bisa dijadikan pelajaran bagi siapa saja yang akan melakukan penelitian. Sekaligus merupakan modal bagi perkembangan iptek masa depan melalui ilmuwan yang lebih dewasa mengatasi kendala psikis dari masyarakat. Tidak semua ilmuwan mampu menangkis kritikan terhadap apa yang ditemukan. Bagi yang tahan/mampu dengan kondisi seperti itu, tentu penelitian jalan terus. Tapi bagi yang tidak, bisa malu, stres, hingga putus tengah jalan, lalu bantir setir ke profesi lain serta nggak ada sangkut-paut lagi dengan penelitian. Sungguh sayang bila terus terjadi. Karena berarti potensi manusia sudah mubazir. Ini sebenarnya nggak perlu terjadi bila banyak pihak yang tergugah untuk memikirkan kendala psikologis mereka. Mungkin saja sikap "bantir setir" seperti itu nggak jadi problem bagi mereka. Tapi bagi dunia iptek merupakan "manusia yang meninggal" melalui langkah "banting setir" dalam posisi sebagai ilmuwan. Bila terjadi di negara yang memang belum banyak bicara sebagai negara iptek, seperti Indonesia, jelas sangat ironis. Jadi perlu diperhatikan oleh siapa saja yang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap perkembangan iptek. Bukan berarti memanjakan, tapi sekedar mengisi kekosongan/kekurangan psikologis yang nggak bisa diisi mereka. Sungguh sayang bila penemuan mereka hanya diketahui, dipahami, dan dikonsumasikan untuk mereka masing-masing, karena nggak berani melemparkan kepada masyarakat, karena nggak mampu/tahan menghadapi kondisi menentang opini. Untuk start nggak perlu jauh. Cukup dengan mengatakan kepada mereka bahwa "keberanian dan ketahanan menentang opini merupakan tolok ukur bagi kesuksesan mengapresiasikan karya ilmiah". Soalnya sikap seperti itu yang telah diperihatkan ilmuwan sekaliber atau setingkat Einstein (relativitas), Darwin (evolusi), Newton (mekanika), Faraday (listrik), Lavoiser (kimia), Dalton (atom), Maxwell (cahaya), Edison (lampu), Mendel (gentika), dan Koch (TBC). Mereka sudah mengalami tekanan batin dan sikap sentimen dari publik tentang karyanya dan teorinya, meskipun mereka kini disanjung dan dipuji sebagai manusia yang berjasa dalam sejarah manusia. Keluarga juga memegang andil penting juga. Soalnya hasil penelitian sering nggak tentu. Koch, misalnya, pergi dari Nestwellstein ke Berlin untuk mendemonstrasikan bakteri "radang limpa" dalam bentuk foto kepada Virchow, ilmuwan yang populer dari New York hingga Tokyo. Dia yakin, hasil penelitian dari tahun ke tahun dengan susah-payah itu akan diakuinya serta diterimanya sebagai karya ilmiah. Namun ternyata tidak. Baru saja bercerita, Virchow membantah, "Nonsen semua itu !". Dengan sedih dan kesal, karena mengandung kecurangan dan sentimen, Koch pulang. Sampai di rumah, dia dihadang sang istri yang sudah kesal dengan penelitian yang tanpa menghasilkan nafkah yang memuaskan itu. Malah sang istri minta cerai. Karir Koch baru sukses saat nikah lagi di mana sang istri mau mengerti, malah membantu, kegiatan dia. Salam, Nasrullah Idris