Bersama ini, saya sampaikan turut prihatin saya kepada Bung Satrio [Majalah D&R <[EMAIL PROTECTED]>] atas musibah yang menimpa anda "sekeluarga" Salam prihatin Wangsa ========================================= Majalah D&R Pamit Reporter: Nurul Hidayati & Fotografer: Taufik Subarkah detikcom - Jakarta, Media massa booming. Media massa mati. Itulah fenomena yang terjadi saat ini. Dan salah satu media bernasib sial yang memutuskan untuk pamit dari hadapan pembaca setianya adalah D&R. Majalah berita yang oplahnya terus anjlok hingga di bawah 10 ribu per-bulan itu, tidak akan terbit lagi terhitung Rabu (26/1/2000). Para karyawan, termasuk wartawan, akan tetap rajin mengantor. Tapi tujuannya hanya untuk absen saja sambil menghitung nasib mereka. Ketika penutupan D&R dikonfirmasikan detikcom kepada Satrio Arismunandar, pelaksana redaksi D&R itu membenarkan kabar tersebut. Keputusan untuk tidak terbit itu hingga waktu yang tak ditentukan itu mengemuka dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang digelar pada Selasa kemarin pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB di kantor majalah itu, Jl Iskandarsyah I/16, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam RUPS itu, hadir 7 investor. RUPS itu, kata Satrio, berlangsung alot dan menegangkan. Sedangkan puluhan karyawan D&R, termasuk jajaran wartawan, menunggu berlangsungnya RUPS dengan hati berdebar-debar. "RUPS tegang karena ada ada tarik-menarik ganti rugi, misalnya membahas soal pesangon. Sebab saya melihat ada indikasi para investor itu tidak akan memberikan pesangon pada karyawan," tutur Satrio. "Investor mengeluarkan opsi supaya karyawan mundur. Nanti perusahaan akan memberi rekomendasi. Itu kan berarti tidak dikasih pesangon. Kalau dijanjikan 10 kali gaji, itu kan jelas. Tapi ini tidak. Jadi saya melihat ada indikasi investor cuci tangan begitu saja," tandas Satrio yang juga deklarator AJI. Investor D&R, menurut Satrio, diantaranya adalah Konsorsium The Jakarta Post yang menguasai 21% saham, Sudamek (ekonom NU dan bos Kacang Garuda), Kelompok 234 yang terdiri dari para alumnus ITB, termasuk Hery Akhmadi (anggota DPR dari PDIP). Juga ada nama M Zulkarnaen (mantan Direktur Eksekutif Walhi yang kini staf ahli Wapres), PT Grafiti Pers, Dana Pensiun The Jakarta Post sekitar 5% saham, Suara Pembaruan, dan 20% saham dikuasai ramai-ramai oleh karyawan. Satrio juga mengaku kesal pada investor. "Semua kesalahan dilimpahkan ke redaksi. Misalnya sering terlambat terbit, dll. Padahal mereka pun sering tidak menepati janji dalam mengucurkan dana. Dana untuk promosi tidak ada. Padahal Tempo yang sudah besar saja terus promosi," cetus Satrio, berapi-api. D&R sendiri di era Soeharto sempat membukukan diri sebagai majalah berkala terkemuka. Apalagi setelah cover sala satu edisinya dipermasalahkan Pemerintahan Soeharto kala itu. Cover itu sendiri bergambarkan wajah Soeharto dalam bentuk raja sebagaimana yang biasa terlihat dalam gambar raja permainan kartu. Saat itu, D&R masih tergabung dalam Jawa Pos Group dan redaksi digawangi oleh Margiono dari Jawa Pos. R Hartono, Menteri Penerangan kala itu, sempat memperkarakan D&R yang sama saja menjadi promosi gratis bagi majalah itu. Oplahnya untuk meroket. Lepas dari Jawa Pos Group, D&R masuk komunitas The Jakarta Post. Seiring dengan terbukanya kran demokrasi dan menerbitkan media baru bukan barang susah, perebutan pasar pembaca menjadi masalah pelik. Banyak media kelimpungan dan akhirnya menyerah. Ujung-ujungnya, di awal 2000, majalah D&R -- yang semula Detektif dan Romantika, lantas reinkarnasi menjadi Demokrasi dan Reformasi--kolaps. Susahnya mendapat kucuran dana segar dan susahnya pasar dirangsek, tampaknya menjadi alasan utama jatuhnya media massa, termasuk D&R. Dan bagi-bagi pesangon tampaknya juga menjadi masalah rumit belakangan hari. "Saya akan terus mengawasi investor. Kalau ternyata mereka tetap cuci tangan, saya pribadi akan mempermasalahkan hal ini di depan hukum. Saya kecewa pada investor yang saya kira pendekar demokrasi tapi ternyata bersikap seperti itu. Saya tidak akan bisa terima begitu saja," ancam Satrio Arismunandar, galak. Siapa berani?