Bung N Idris,

Membaca quotasi berikut:
"Jadi sangat disayangkan kalau ada dokter wanita tidak terampil memasak atau 
hanya pintar membeli saja di restoran."

..., sangat menyedihkan kalau orang berpendidikan seperti anda masih 
berpegang kuat pada tradisi kuno, yakni menyalahkan kaum 'Wanita' bila rumah 
tangga tidak ada masakan yang disajikan dimeja makan pada waktunya, atau 
masakan yang hanya menurut lidah anda kurang berselera,
serta mengecapnya sebagai wanita yang tidak terampil.

Di negara yang berdemokrasi (atau paling tidak mengarah kesana), anda ini 
duduk sedrajat dengan istri anda (Ini kalau anda sendiri punya istri). Kini 
'memasak' bukan lagi tugas ibu saja, apalagi sesibuk ibu dokter yang sangat 
berdedikasi tinggi terhadap masyarakat yang memerlukannya. Tugas suami dan 
istri yang saling suport satu dengan yang lain perlu diintesipkan, agar 
rumah tangga tidak terjadi pepecahan. Jadi kalau sang istri pulang terlambat 
dari bekerja, atau baru selesai tugas berat seharian, sang suamilah harus 
punya pengertian. Jadi bukannya duduk didepan PC dari hari ke hari, dari jam 
ke jam, me-mailis ribuan orang kesegala penjuru dunia yang sama sekali tak 
ada faedahnya bagi rumah tangga kecuali kusus demi memburu ego diri sendiri, 
berharap makanan semua siap dimeja, bukan itu saja, bahkan berharap masakan 
pun harus berselera dengan lidah sang suami. Apakah anda pernah menyelidiki 
kalau selera anda mungkin berlainan dengan selera istri anda, Ini sangat 
menyinggung perasaan sekali nada anda terhadap istri anda.

Apakah anda memberi kesempatan istri anda untuk mengunjungi mailis ini, saya 
tidak yakin.

Kalau anda punya kesempatan mengunjungi dapur2 hotel berbintang 4 atau 5, 
mungkin anda bisa mengerti bahwa memasak bukanlah haya tugas kaum wanita. 
Tutuplah PC anda sekali-kali, ajaklah keluarga kerestaurant, bicaralah 
dengan manager untuk menengok dapur (asal bukan ingin belajar masak, tapi 
mengetahui operasioanalnya).

Anda bisa menggariskan bahwa saya berkecipung dibidang perhotelan 
ber-tahun2. Kerja domestik dari mulai mengatur rumah tangga, membersihkan 
dan memasak diajarkan kepada kaum pria. Ternyata dua2nya menghasilakan 
prestasi yang sejajar. Istri saya seorang tuna-netra. Tugas rumah tangga 
bukan lagi asing bagiku. Kalau shift kerja saya selesai pagian, saya bagi 
kesempatan istri saya untuk beristirahat memasak. Kalau dua2nya ada 
aktivitas panjang, maka kita harus beli makanan. Kita saling belajar, bukan 
saling mengkritik, apakah masakan yang telah kita sajikan bergisi tinggi 
bagi pertumbuhan anak kita, bukan hanya mencocokkan selera lidah saya. 
Karena banyak rasa sayur yang mengandung rasa pahit atau kurang nyaman. Kita 
harus mempromosikan persepsi kususnya bagi anak2 muda kita, manakah yang 
penting, sehat atau enak, walaupun kita telah berusaha memodifikasi 
sedemikian rupa agar komposisi bumbu merubah rasa yang kurang nyaman menjadi 
resep.

Memang saya telah temukan nilai artistik bidang ini. Oleh sebab itu saya 
tidak enggan melakukannya. Belum terlambat bagi anda untuk meng upgrade 
attitude yang kuno. Membagi tugas yang sama rata dengan istri dan mengajar 
anak2 dalam pengertian ini, sebelum terlambat salah asuhan.

Selamat memasak!
Bambang Triasmono



>From: "Nasrullah Idris" <[EMAIL PROTECTED]>
>Reply-To: [EMAIL PROTECTED]
>To: Multiple recipients of list <[EMAIL PROTECTED]>
>Subject: Seharusnya Dokter Wanita itu Semakin Pintar Memasak
>Date: Sat, 12 Feb 2000 15:54:17 +1100 (EST)
>
>      Ide penulisan topik ini sebenarnya berdasarkan hasil pemantauan saya
>terhadap perilaku salah seorang dokter wanita yang berhasil memperoleh
>prestasi terbaik di antara rekan-rekan seangkatannya pada Fakultas
>Kedokteran di salah satu Universitas.
>      Cukup jelas, bagaimana pendidikan atau pekerjaan bidang kedokteran 
>yang
>digelutinya mempunyai efek sampingan terhadap rutinitas dan pola pikirnya
>dalam hal masak-memasak. Ini terbukti dengan masakan buatannya yang sering
>menggambarkan hasil improvisasi dan kreasi, meskipun dengan bahan yang
>murah.
>                                               *****
>      Bukankah mahasiswa FK banyak belajar organ lidah, termasuk 
>sensitifitas
>taste buds yang terdapat padanya terhadap asin, manis, pahit, asam, dan 
>lain
>sebagainya? Kalau saja otak kanannya berjalan tentu akan mereka konversikan
>pada rutinitasnya dalam masak-memasak yang mungkin lebih dulu dialami jauh
>sebelumnya. Misalkan upaya mengharmoniskan komposisi makanan yang bisa
>membangkitkan selera, yang titik tolaknya diambil dari apa yang pernah
>dipelajarinya di kampus seputar lidah.
>      Jadi sangat disayangkan kalau ada dokter wanita tidak terampil 
>memasak
>atau hanya pintar membeli saja di restoran.
>      Mungkin ada komentar lain ?
>
>Salam,
>
>Nasrullah Idris
>
>
>
>

______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com

Kirim email ke