Assalammu'alaikum wr wb,
Al-Quranu Al-Karim dengan tegas MEWAJIBKAN
manusia mempergunakan akal-fikiran, hati dan peralatan penginderaan untuk
digunakan memahami ayatullah, tanda kemahakuasaan Allah swt yang tersebar di
alam semesta
seisinya. Ini berarti manusia harus melakukan penyelidikan
terhadap bagaimana unta dilahirkan, manusia diciptakan, angin dihembuskan,
gunung-gunung dipancangkan dsb dsb. Dan apabila telah faham maka akan dapat
secara sadar dan sukarela BERISLAM kepada Allah swt saja. Dapatkah kita
mengerti ini semua hanya dengan mempergunakan FANATISME terhadap Al-Dinu
Al-Islam sebagai satu-satunya Al-Din yang diridzhoi Allah swt sebagaimana
yang telah terjadi selama hampir limabelas abad ini?
[a.s. ] Setuju Pak Marconi, itulah kenapa di isnet beberapa
waktu lalu saya pernah tulis bahwa memahami Islam itu ada dua cara, dengan
FITRAH dan SYARA'.
Dan fitrah ini adalah bagian dari AKAL (termasuk
didalamnya INDERA lainnya?). Tetapi kalo memahami Islam hanya dengan
menggunakan akal saja tetap masih ada kekurangannya, pemahaman Islam dengan
menggunakan AKAL (Fitrah) ini menurut saya adalah pemahaman Islam ditingkat
awal yang seharusnya berlanjut memahami Islam secara
syari'at.
Saya pribadi berprinsip penggunaan akal adalah memang
wajib, karena akal ini merupakan NIKMAT dari ALLOH SWT, artinya ketika kita
malas menggunakan akal disitulah kita telah melakukan penghianatan terhadap
fungsi akal.
Dalam hal penggunaan AKAL ini bisa saya ilustrasikan
sbb:
Bila ada seorang anak yang sejak kecil ia tertinggal
di sebuah pulau TANPA ORANG TUA. tetapi ia hanya hidup degnan alam
disekitarnya yang mungkin pengasuhnya adalah gorila, maka jadilah ia
TARZAN.
Ia hidup dengan belajar dari alam sekitarnya dengan
menggunakan AKALnya. ia hidup sesuai dengan fitrahnya, ia hidup mengikuti
keteraturan alam disekitarnya, ia hidup dengan pasrah mengikuti apa yang
terjadi disekitarnya. ISLAM kah seorang tarzan?, menurut saya dia adalah
ISLAM, tetapi masih berada pada tingkatan yang sangat awal, yang masih belum
sempurna, karena belum sesuai dengan syari'at. Islam nya baru sekedar pasrah,
berserah diri mengikuti KEHENDAK NYA.
Jika seorang TARZAN sudah DEWASA (baligh) sudah dapat
menggunakan AKAL nya dengan lebih baik, maka pasti (kemungkinan besar) dia
ingin keluar dari pulau tersebut, ingin mengetahui apa yang ada dan terjadi
diluar pulau tersebut. Keinginan seperti ini adalah karena adanya AKAL
(termasuk didalamnya FITRAH, dan INDERA lainnya) seperti keinginan
seorang anak kecil yang baru bisa jalan maka ia akan selalu ingin keluar
rumahnya, ingin mengetahui apa yang ada di LUAR. Keingin tahuan ini adalah
FITRAH yang ada pada manusia yang dialiri oleh ALLOH SWT dimana DIA adalah
yang MAHA MENGETAHUI. Sampai disini maka fungsi akal masih sangat berperan,
dominan.
Tetapi bila si tarzan kemudian didunia luar dia
bertemu dengan orang KAFIR bukan orang ISLAM, maka apa yang
terjadi?,
maka kemungkinan si tarzan pun menjadi KAFIR. Ketika
ini terjadi maka AKAL akan sulit menjawabnya, kenapa ini terjadi, kenapa harus
ADA KAFIR dan ISLAM, kenapa tidak sebaiknya si tarzan diam saja di pulau
tersebut agar tetap dengan ke ISLAM annya yang seperti itu. Bila sudah sampe
disini maka untuk memahami nya diperlukan syara' supaya kita mengetahui,
didalam syara' (al-Qur'an) lah hal ini dijelaskan.
Akal seorang tarzan tentu akan sangat-sangat berbeda
dengan akal seorang CN yang baru saja pergi, tetapi sifat dasarnya akan tetap
sama selama fitrah nya belum terkotori, seperti yang terjadi pada nabi Ibrahim
a.s.
Yang jadi pertanyaan adalah bila ada seorang yang
karena ayah/ibu nya Islam tapi tidak/belum mampu melakukan seperti yang bapak
sebutkan di atas, bagaiamana dengan ke Islaman nya?
Sampe sekarang pun akal saya belum bisa memahami,
kenapa saya harus mengulang wudhu saya karena saya kentut, maaf kenapa tidak
harus saya cebok saja misalnya, tetapi ini tetap saya kerjakan karena
wudhu itu wajib bagi orang yang akan sholat, dan tata carany sudah diatur oleh
syara'.
Begitu juga dengan usia lanjut, akal akan sulit
mencari argumen kenapa ada orang yang sudah sangat uzur tapi Alloh belum
memanggilnya padahal hidup sendiri baginya adalah sebuah
penderitaan.
Kalolah kita mau merenung sejenak, maka kita akan
tahu bahwa semua yang diciptakan Alloh itu pasti ada manfaat nya dan tidak
sia-sia, seperti yang syara' katakan. Artinya penciptaan FANATISME dalam
setiap individu-individu ini pun bukan lah hal yang sia-sia. Dengan adanya
FANATISME maka kita akan tahu apa itu TOLERANSI, seperti juga penciptaan
AMARAH dan KESEDIHAN, mungkin akal kita akan bertanya untuk apa ada AMARAH,
padahal dengan adanya amarah kita jadi tahu apa itu SABAR, begitu juga dengan
kesedihan maka kita jadi tahu apa itu KENIKMATAN/KEBAHAGIAAN, kembali lagi
pada syara' maka semua yang dictakan Alloh itu tidak ada yang
sia-sia.
Artinya ketika AKAL belum mampu menjangkau nya,
sementara yang namanya TAKLIF itu harus tetap dijalankan, dengan demikian
bukan Ajaran Agama dibawah kendali AKAL, tetapi AGAMA lah yang harus
mengendalikan AKAL.
Rasulullah Muhammad saw semasa
kanak-kanaknya tidak dapat mengerti mengapa para kakek, paman, saudara-saudara
sepupunya mengabdi berhala-berhala yang digantungkan di dinding Ka'bah atau
ditaruh di sekitarnya. Apa sebabnya? Karena beliau
sekalipun masih dalam
masa kanak-kanak sudah mampu mempergunakan akal-fikiran dan seluruh
perlengkapan penginderaan serta hati sucinya untuk dengan sadar dan sukarela
mengenal kepalsuan ilah-ilah yang diabdi itu dan
MENCARI ilah yang pantas
diabdinya. Beliau TIDAK menyandarkan diri kepada fanatisme tradisi sukunya
yang sudah berabad-abad melaksanakan pengabdian kepada berhala. Dan
penyelewengan dari TRADISI nenek-moyang bagi masyarakat nomad Timur-Tengah
pada waktu itu tidak dapat ditolerer. Jadi resiko yang beliau ambil sungguh
tak terbayangkan bagi seorang bocah, ini berkat beliau berfikir dan
mempergunakan akalnya.
[a.s. ] Boleh saja bapak bependapat
demikian, tetapi pemilihan seseorang menjadi nabi atau wali Alloh itu adalah
hak prerogatif Alloh semata, dalam hal ini sebenarnya terjadi pengkhususan
Alloh kepada makhluk-Nya. Jadinya seorang Muhammad menjadi rasul itu bukan
sekedar hanya karena menggunakan akalnya semata dari yang bersangkutan, pada
tataran ini menurut saya bukan AKAL lagi yang bekerja, dan ini menurut saya
adalah MASYIYAH ILAHIYAH, artinya Alloh maha mengetahui kepada siapa amanah
itu harus dibebankan sesuai dengan kehendak-Nya, dan ini pun tertulis dalam
al-Qur'an bahwa Alloh akan melebihkan sebagain dari kalian agar saling dapat
mempergunakan.