Mas Dewa, 

Kebetulan waktu mau shopping ke Doha, saya lihat komentarnya, ini hanya
sekedar komentar dari saya, dan saya coba balas lagi sekedar adu
argumentasi:

TEE itu benarnya baik dan bagus, tapi timingnya salah, atau mas Dewa yg
kedinian mempostingnya, maksud saya sbb, contoh kasus:

*       Sebuah rumah lagi kebakaran, tentu yang diharapkan, apa tindakan yg
tepat untuk menyelamatkan dan jika ada korban yg masih didalam rumah. Juga
apa tindakan yang cepat dan tepat dilakukan agar api cepat padam dan tidak
merambat kerumah lainya. Tapi sebaliknya TEE malah bercerita lain yaitu:
Rumah ini salah design, jalan untuk masuk mobil kebakaran tidak ada, bla.
bla. bla. malahan rumah itu akan dibiarkan kebakaran dan korban harus rela
rumahnya habis dimakan api.

*       Kita didalam boat yang sama yang bakal karam, tapi TEE berbicara,
ini boat tidak memenuhi standard Safety, penumpang 100 orang tapi pelampung
hanya 25 buah dan kapal ini sewaktu mau berangkat tidak melihat dulu weather
fore cast bla.  bla.  bla.  tapi TEE tidak berbicara bagaimana kita yg bakal
mati tenggelam ini diselamatkan.

 

Berdasarkan kedua contoh diatas, TEE tidak layak dibicarakan sekarang, tapi
TEE itu layak digunakan setelah krisis berlalu dan dijadikan sebagai Lesson
Learnt untuk future need atau TEE dipublished sebelum krisis terjadi dan
bisa digunakan sebagai Preventive Action untuk menghindari krisis yg sedang
melanda sekarang, salam kompak selalu dari Qatar.

 

Alkhori M

Alkhor Community

Qatar

  _____  

From: is-lam-boun...@milis.isnet.org [mailto:is-lam-boun...@milis.isnet.org]
On Behalf Of Dewa Gede Permana
Sent: Saturday, February 28, 2009 10:00 AM
To: is-lam@milis.isnet.org
Subject: Re: [is-lam] The Economy of Enough

 

He..he..he.. ya mungkin ada benarnya apa kata orang, bacaan bisa sama namun
penangkapan bisa beragam. Dulu sewaktu SMA kami satu kelas diajar guru
fisika yg sama, buku juga sama, latihan2 soal juga sama, tetapi ternyata
nilai ujian utk teori relativitas lha kog lain-lain, ada yg dapat nilai 9
ada yg 8, 7, 3, dst. ya gak pa-pa, mungkin memang ada beda penangkapan, beda
minat individual, tak cocok dgn metode guru, atau pas ujian lagi bete
barangkali, dlsb.

 

Hal yg saya tangkap dari paparan Subagijo sejauh ini adalah kritik beliau
terhadap kenyataan buruknya sistem kapitalisme yg berakibat terjadinya
perilaku konsumerisme global yg nyaris sulit dihentikan. Kasarnya :
kapitalisme berdiri diatas pondasi konsumerisme. Ketika terjadi kehancuran
maka blunder pun tetap harus dipertahankan, yg artinya konsumerisme harus
tetap dilanjutkan demi tegaknya kapitalisme tsb, seolah-olah kapitalisme ini
bagaikan agama bagi penganutnya; dan inilah yg disinggung oleh beliau
terhadap stimulus2 ekonomi yg coba diterapkan pemerintahan kapitalis selama
ini.

 

Jika saya sudah kadung terbiasa makan pizza setiap hari (sampai-sampai rasa
nasi + ikan teri sudah "terasa" pahit dilidah), kenapa harus memaksakan diri
utk kredit motor agar mudah membeli pizza yg letaknya jauh di ujung desa
sana? Kenapa tidak melatih lidah utk kenal kangkung, bayam, yg relatif mudah
dijangkau kalo toh itu sekedar urusan isi perut dan tdk merepotkan diri
dengan kredit ini-itu? Tetapi akan menjadi lain pertimbangannya jika kredit
motor tsb akan dipakai utk kegiatan produktif yg menghasilkan, misalnya
sebagai alat transportasi mengirim hasil tanaman kangkung utk dijual ke
pasar.

 

Kira-kira yg saya tangkap begitu boss, dan memang betul kini dunia masuk
dalam fase blunder.. :-):-)

 

:-)

Salam hangat

 

From: is-lam-boun...@milis.isnet.org [mailto:is-lam-boun...@milis.isnet.org]
On Behalf Of Alkhori M
Sent: Saturday, February 28, 2009 11:27 AM
To: is-lam@milis.isnet.org
Subject: Re: [is-lam] The Economy of Enough

 

Mas Dewa, resending setelah error corection.

Saya baca sampai habis "The Economy of Enough" dengan sangat menyesal saya
katakan tulisan itu "RUBISH", wah tentu saya akan/telah dianggap "SOK PINTAR
& SOMBONG BANGET". Tentu yang bijak akan bertanya mengapa saya seolah-olah
emosi mengatakan TEE adalah rubish, kalau TEE rubish, tentu ada yg lebih
emosi lagi akan teriak "kalau TEE rubish maka tulisan anda (maksudnya nuding
saya) adalah Txxx Kxcixg" Sekarang kembali ke TEE yg saya katakan rubish
WHY???

TEE hanyalah berteori secara statis, biarkanlah krisis itu terjadi, dan
terimalah akibatnya TITIK (itulah kesimpulan saya ttg TEE, apakah benar
demikian?) dan tidak perlu dilakukan rangsangan/ stimulus apapun.

Tapi dalam keadaan Dynamis, akan ada reaksi secara otomatis, karena ada
manusia yg hidup didalam krisis tsb.

Tapi dalam kehidupan nyata, pemodal yg akan bangkrut, itu punya power

Tapi pemerintah bisa melihat, kalau dibiarkan, mereka juga akan terpental
dari jabatan

Tapi kalau dibiarkan, krisis ekonomi ibarat tsunami, bisa hari negara jaya,
mungkin besok mati

 

Nah kesemua itu mereka tidak rela terjadi, maka stimulus/ rangsangan sangat
perlu dan harus dilakukan dan mereka menuntut itu harus segera dilakukan.
Tidak ada atau jarang sekali di Dunia ini ada orang yang mau mati bunuh
diri, kalau masih bisa hidup berlimpah harta. Jadi TEE itu adalah teori utk
hal-hal statis, tapi krisis ekonomi adalah keadaan dynamis, maka rumus-rumus
statis tidak berlaku untuk hal hal yg dynamis. Sayang Subagijo tidak bisa
membeda teori Statis dan Dynamis. Makanya sering hal hal yg terjadi di
Indonesia adalah salah resep, salah obat. Salam kompak selalu dari Qatar.

 

Alkhori M

Alkhor Community

Qatar

  _____  

From: is-lam-boun...@milis.isnet.org [mailto:is-lam-boun...@milis.isnet.org]
On Behalf Of Dewa Gede Permana
Sent: Saturday, February 28, 2009 6:54 AM
To: is-lam@milis.isnet.org
Subject: [is-lam] The Economy of Enough

 

Tulisan ini tentunya mengingatkan kita pada anjuran Rasul untuk berhenti
"makan" sebelum kenyang...

 

 

"The Economy of Enough"

 

Oleh

Subagijo

Peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta

 

Dalam memahami lesunya ekonomi global yang melanda seluruh dunia, lagi-lagi
paradigma pertumbuhan tetap dijadikan pijakan solusi. Padahal, dikotomi
ekonomi pertumbuhan versus perlambatan (stagnasi, kemunduran) tidak
menyelesaikan masalah. Ia hanya mencarikan solusi semu. Hal mengingkari
substansi ekonomi pertumbuhan itu sendiri yang memang telah mencapai
batasnya. Pemantik krisis global memang disebabkan praktik ekonomi (kasus
subprime mortgage), tetapi di balik kasus itu, pertumbuhan kredit properti
telah menyentuh titik kritisnya, titik jenuh atau batas pertumbuhan yang
berakibat sebaliknya yakni perlambatan, penurunan. Inilah yang oleh dunia
dalam paradigma pertumbuhan disebut krisis. Padahal, dalam paradigma dunia
yang tidak menekankan pertumbuhan, tetapi menekankan adanya "rasa cukup",
keseimbangan, krisis di atas justru dianggap proses pemulihan atau mekanisme
pelepasan katup dari beban ekonomi. Krisis global dengan begitu dimaknai
sebagai "relaksasi ekonomi" sebagai otomatisasi dari pertumbuhan yang over,
meski tetap dijaga agar tidak anjlok drastis, tujuannya untuk mencapai
keseimbangan baru. Meminjam istilah Ulrich Duchrow semuanya ini menuju pada
apa yang disebut sebagai "the economy of enough". Sayangnya, kesadaran
"ekonomi cukup" tidak laku dalam kapitalisme yang berbasiskan modal. Tidak
ada kata cukup dalam kapitalisme, karena modal dituntut untuk membesarkan
dirinya, dengan produksi barang dan jasa, dengan mengkloning industri,
membangkitkan terus-menerus konsumsi dunia, dibutuhkan atau tidak.
Sumber-sumber alam akan lebih banyak lagi dieksploitasi untuk disedot bahan
bakunya dan tidak ada peningkatan konsumsi yang bebas dari limbah dan
polusi.

 

 

Keseimbangan Baru

 

Ketika krisis global mendera-dera sampai hari ini, pendekatan keluar dari
krisis yang disebabkan oleh kerakusan konsumsi (greed) justru dilakukan
dengan cara yang sama dengan penyebabnya, yakni meningkatkan konsumsi lagi.
Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss dan juga diikuti
kebijakan pemerintah banyak negara sepakat untuk mendorong lebih lagi
konsumsi dunia. Ketika krisis global yang disebabkan oleh over consumption,
mengapa solusinya meningkatkan konsumsi? Ya karena kita telah terjebak dalam
ekonomi pertumbuhan yang didorong oleh konsumsi. Kita tidak terbiasa untuk
tidak mengonsumsi. Kita belum juga sadar bahwa krisis global adalah sinyal
"Limits to Growth", sebuah studi yang memprediksi krisis global akan terjadi
di tahun 2000-an (dan terbukti), studi mana dilakukan tahun 1972 oleh Club
of Rome. Tetapi, jika paradigma ekonomi kita adalah "ekonomi cukup", krisis
harus disambut dengan ikhlas, diterima sebagai relaksasi, untuk mencapai
keseimbangan ekonomi baru yang berbeda dengan ekonomi pertumbuhan.
Celakanya, pertumbuhan tanpa batas, itu menyisakan ruang yang makin lebar
bagi masyarakat di piramida terbawah. Krisis global sekalipun menuju
keseimbangan baru dan mestinya diarahkan untuk "economy of enough for all",
tetap meminta korban mereka ini, di mana ketika terjadi krisis mereka yang
paling dulu terkena PHK, kehilangan pendapatan, dan seterusnya. Semua ini
akibat dari tarikan hasrat pertumbuhan ekonomi yang makin melancipkan
piramida ekonomi, sehingga rentang antara kelas atas dan bawah semakin jauh.
Ketika elastisitas pertumbuhan ekonomi mencapai batasnya, ibarat karet putus
kita terkena jepretannya berupa krisis yang menyakitkan. Atau ibarat karet
kehilangan daya lenturnya, kendor, di mana masyarakat di piramida terbawah
makin sulit memperbaiki nasibnya dan tetap di situ. Sebaliknya, mereka yang
ada di atas pun lebih mungkin turun kelas karena elastisitas ekonomi sudah
rusak.

 

 

Kemewahan Ekonomi untuk Segelintir

 

Upaya keluar dari krisis yang disebabkan oleh over consumption di atas
ditempuh dengan meningkatkan konsumsi dunia lagi. Inilah jebakan siklus
pertumbuhan konsumsi. Iya saja karena hal itu merupakan faktor penting bagi
jalannya industrialisasi, angkatan kerja, ekspor-impor, lalu lintas
keuangan, eksploitasi alam dll yang menjadi pusaran pertumbuhan. Ketika
semuanya berhenti, kita menjadi gagap dan ekonomi kapitalistik tidak
terbiasa "berpuasa". Tak heran jalan keluar meningkatkan konsumsi dunia
ialah dengan meningkatkannya lebih lagi. Faktanya krisis global ditandai
dengan lemahnya konsumsi internal baik perorangan, korporasi atau negara
sehingga dibuatlah paket stimulus eksternal yakni dengan berbagai paket
stimulus ekonomi (pajak, fiskal, infrastruktur, pembiayaan, industri, proyek
padat karya, dll). Stimulus bertujuan memberikan rangsangan agar ada
pertumbuhan, roda produksi, lapangan pekerjaan, daya beli dan akhirnya
konsumsi yang akan memutar rantai ekonomi berikutnya. Namun, there is no
free lunch untuk stimulus ekonomi. Itu berbicara seberapa banyak kekuatan
dana untuk menstimulasi ekonomi adalah dana nganggur yang jika digelontorkan
- berdampak positif atau tidak - tidak peduli sumber pendanaannya. Namun,
jika paket stimulus ekonomi dari dana strategis, apalagi utang,
penggunaannya harus berdampak positif, karena jika negatif, ia akan
memengaruhi peran dana strategis yang juga akan ikut negatif dan menambah
utang baru. Padahal, perannya bukan hanya pendanaan untuk paket stimulus
saja. Stimulus ekonomi mungkin bisa mendongkrak, memotivasi, menggerakkan
ekonomi, tetapi tidak ada jaminan bahwa stimulus karena sifatnya rangsangan
dari luar bisa dipertahankan terus-menerus. Kebutuhan ekonomi harus
didasarkan pada kebutuhan internal yang rasional dan bukan rekayasa
eksternal seperti stimulus ekonomi untuk menciptakan booming produksi,
konsumsi, lapangan kerja dan seterusnya yang semu dan tentatif sebagai
pancingan agar ekonomi bergerak. Jadi, para motivator tidak lagi bisa
menjual krisis dengan mengatakan bahwa dalam krisis ada peluang. Karena
dalam peluang juga ada embrio krisis baru. Stimulus ekonomi mempunyai titik
krisisnya yang mungkin belum kelihatan, meski efeknya cepat dirasakan. Untuk
itu paket stimulus ekonomi sebaiknya digunakan untuk mendukung motif
konsumsi primer yang bisa menggerakkan ekonomi dan bukan motif konsumsi
sekunder yang hanya membesarkan nafsu konsumsi, yang begitu habis terus
selesai. Stimulus ekonomi yang diperlukan yang bersifat produktif dan
berkelanjutan (sustainable production) yang bisa memutar roda dan rantai
ekonomi secara cukup (the economy of enough). Kebersahajaan ekonomi untuk
semua dan bukan kemewahan ekonomi untuk segelintir...

 

[Dikutip dari milis Komunitas SUARA]

_______________________________________________
Is-lam mailing list
Is-lam@milis.isnet.org
http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam

Reply via email to