Tulisan ini tentunya mengingatkan kita pada anjuran Rasul untuk berhenti
"makan" sebelum kenyang...

 

 

"The Economy of Enough"

 

Oleh

Subagijo

Peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta

 

Dalam memahami lesunya ekonomi global yang melanda seluruh dunia, lagi-lagi
paradigma pertumbuhan tetap dijadikan pijakan solusi. Padahal, dikotomi
ekonomi pertumbuhan versus perlambatan (stagnasi, kemunduran) tidak
menyelesaikan masalah. Ia hanya mencarikan solusi semu. Hal mengingkari
substansi ekonomi pertumbuhan itu sendiri yang memang telah mencapai
batasnya. Pemantik krisis global memang disebabkan praktik ekonomi (kasus
subprime mortgage), tetapi di balik kasus itu, pertumbuhan kredit properti
telah menyentuh titik kritisnya, titik jenuh atau batas pertumbuhan yang
berakibat sebaliknya yakni perlambatan, penurunan. Inilah yang oleh dunia
dalam paradigma pertumbuhan disebut krisis. Padahal, dalam paradigma dunia
yang tidak menekankan pertumbuhan, tetapi menekankan adanya "rasa cukup",
keseimbangan, krisis di atas justru dianggap proses pemulihan atau mekanisme
pelepasan katup dari beban ekonomi. Krisis global dengan begitu dimaknai
sebagai "relaksasi ekonomi" sebagai otomatisasi dari pertumbuhan yang over,
meski tetap dijaga agar tidak anjlok drastis, tujuannya untuk mencapai
keseimbangan baru. Meminjam istilah Ulrich Duchrow semuanya ini menuju pada
apa yang disebut sebagai "the economy of enough". Sayangnya, kesadaran
"ekonomi cukup" tidak laku dalam kapitalisme yang berbasiskan modal. Tidak
ada kata cukup dalam kapitalisme, karena modal dituntut untuk membesarkan
dirinya, dengan produksi barang dan jasa, dengan mengkloning industri,
membangkitkan terus-menerus konsumsi dunia, dibutuhkan atau tidak.
Sumber-sumber alam akan lebih banyak lagi dieksploitasi untuk disedot bahan
bakunya dan tidak ada peningkatan konsumsi yang bebas dari limbah dan
polusi.

 

 

Keseimbangan Baru

 

Ketika krisis global mendera-dera sampai hari ini, pendekatan keluar dari
krisis yang disebabkan oleh kerakusan konsumsi (greed) justru dilakukan
dengan cara yang sama dengan penyebabnya, yakni meningkatkan konsumsi lagi.
Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss dan juga diikuti
kebijakan pemerintah banyak negara sepakat untuk mendorong lebih lagi
konsumsi dunia. Ketika krisis global yang disebabkan oleh over consumption,
mengapa solusinya meningkatkan konsumsi? Ya karena kita telah terjebak dalam
ekonomi pertumbuhan yang didorong oleh konsumsi. Kita tidak terbiasa untuk
tidak mengonsumsi. Kita belum juga sadar bahwa krisis global adalah sinyal
"Limits to Growth", sebuah studi yang memprediksi krisis global akan terjadi
di tahun 2000-an (dan terbukti), studi mana dilakukan tahun 1972 oleh Club
of Rome. Tetapi, jika paradigma ekonomi kita adalah "ekonomi cukup", krisis
harus disambut dengan ikhlas, diterima sebagai relaksasi, untuk mencapai
keseimbangan ekonomi baru yang berbeda dengan ekonomi pertumbuhan.
Celakanya, pertumbuhan tanpa batas, itu menyisakan ruang yang makin lebar
bagi masyarakat di piramida terbawah. Krisis global sekalipun menuju
keseimbangan baru dan mestinya diarahkan untuk "economy of enough for all",
tetap meminta korban mereka ini, di mana ketika terjadi krisis mereka yang
paling dulu terkena PHK, kehilangan pendapatan, dan seterusnya. Semua ini
akibat dari tarikan hasrat pertumbuhan ekonomi yang makin melancipkan
piramida ekonomi, sehingga rentang antara kelas atas dan bawah semakin jauh.
Ketika elastisitas pertumbuhan ekonomi mencapai batasnya, ibarat karet putus
kita terkena jepretannya berupa krisis yang menyakitkan. Atau ibarat karet
kehilangan daya lenturnya, kendor, di mana masyarakat di piramida terbawah
makin sulit memperbaiki nasibnya dan tetap di situ. Sebaliknya, mereka yang
ada di atas pun lebih mungkin turun kelas karena elastisitas ekonomi sudah
rusak.

 

 

Kemewahan Ekonomi untuk Segelintir

 

Upaya keluar dari krisis yang disebabkan oleh over consumption di atas
ditempuh dengan meningkatkan konsumsi dunia lagi. Inilah jebakan siklus
pertumbuhan konsumsi. Iya saja karena hal itu merupakan faktor penting bagi
jalannya industrialisasi, angkatan kerja, ekspor-impor, lalu lintas
keuangan, eksploitasi alam dll yang menjadi pusaran pertumbuhan. Ketika
semuanya berhenti, kita menjadi gagap dan ekonomi kapitalistik tidak
terbiasa "berpuasa". Tak heran jalan keluar meningkatkan konsumsi dunia
ialah dengan meningkatkannya lebih lagi. Faktanya krisis global ditandai
dengan lemahnya konsumsi internal baik perorangan, korporasi atau negara
sehingga dibuatlah paket stimulus eksternal yakni dengan berbagai paket
stimulus ekonomi (pajak, fiskal, infrastruktur, pembiayaan, industri, proyek
padat karya, dll). Stimulus bertujuan memberikan rangsangan agar ada
pertumbuhan, roda produksi, lapangan pekerjaan, daya beli dan akhirnya
konsumsi yang akan memutar rantai ekonomi berikutnya. Namun, there is no
free lunch untuk stimulus ekonomi. Itu berbicara seberapa banyak kekuatan
dana untuk menstimulasi ekonomi adalah dana nganggur yang jika digelontorkan
- berdampak positif atau tidak - tidak peduli sumber pendanaannya. Namun,
jika paket stimulus ekonomi dari dana strategis, apalagi utang,
penggunaannya harus berdampak positif, karena jika negatif, ia akan
memengaruhi peran dana strategis yang juga akan ikut negatif dan menambah
utang baru. Padahal, perannya bukan hanya pendanaan untuk paket stimulus
saja. Stimulus ekonomi mungkin bisa mendongkrak, memotivasi, menggerakkan
ekonomi, tetapi tidak ada jaminan bahwa stimulus karena sifatnya rangsangan
dari luar bisa dipertahankan terus-menerus. Kebutuhan ekonomi harus
didasarkan pada kebutuhan internal yang rasional dan bukan rekayasa
eksternal seperti stimulus ekonomi untuk menciptakan booming produksi,
konsumsi, lapangan kerja dan seterusnya yang semu dan tentatif sebagai
pancingan agar ekonomi bergerak. Jadi, para motivator tidak lagi bisa
menjual krisis dengan mengatakan bahwa dalam krisis ada peluang. Karena
dalam peluang juga ada embrio krisis baru. Stimulus ekonomi mempunyai titik
krisisnya yang mungkin belum kelihatan, meski efeknya cepat dirasakan. Untuk
itu paket stimulus ekonomi sebaiknya digunakan untuk mendukung motif
konsumsi primer yang bisa menggerakkan ekonomi dan bukan motif konsumsi
sekunder yang hanya membesarkan nafsu konsumsi, yang begitu habis terus
selesai. Stimulus ekonomi yang diperlukan yang bersifat produktif dan
berkelanjutan (sustainable production) yang bisa memutar roda dan rantai
ekonomi secara cukup (the economy of enough). Kebersahajaan ekonomi untuk
semua dan bukan kemewahan ekonomi untuk segelintir...

 

[Dikutip dari milis Komunitas SUARA]

_______________________________________________
Is-lam mailing list
Is-lam@milis.isnet.org
http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam

Reply via email to