Quran Tidak Mewajibkan Kerudung Hanya Menganjurkan?

Assalamu 'alaikum ustadz



Teman saya membaca Al-Quran dan meski dia tidak menguasai bahasa Arab, dia 
bilang bahwa dirinya mendapatkan beberapa ayat yang kelihatannya tidak sejalan 
dengan apa yang dikatakan oleh para ulama.



Misalnya, Al-Quran tidak pernah mewajibkan para wanita memakai kerudung, 
tetapi mengapa para ulama mewajibkan? Itu bisa kita baca dalam surat An-Nur 
ayat 
31:



Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya (QS. An-Nuur: 
31)



Yang dia tekankan bahwa pada teksnya Al-Quran tidak sampai mewajibkan 
pemakaian kerudung, tetapi hanya menganjurkan saja.



Karena perintah itu dimulai dengan kata hendaklah. Di mana menurut dia 
bahwa ungkapan dengan menggunakan kata hendaklah bukan merupakan perintah, 
melainkan hanya himbauan, saran atau anjuran saja.



Bagaimana pandangan ustadz dalam masalah ini?


Dion
[EMAIL PROTECTED]


Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 


Memang selalu akan muncul 
kekurangan kalau kita memahami Al-Quran lewat terjemahan. Sebab penerjemahan 
dari suatu bahasa ke bahasa lain memang akan selalu mengalami penurunan 
kualitas 
pesan. Dan akan menjadi fatal bila terkait dengan kandungan hukum.



Para ahli fiqih sebenarnya sudah menjelaskan sejak dahulu bahwa syarat paling 
esensial untuk memahami Al-Quran dan menarik kesimpulan hukum adalah dengan 
menguasai bahasa arab. Bukan hanya grammarnya saja, tetapi sekalian juga rasa 
bahasanya.



Dan sebuah penerjemahan akan menghilangkan rasa bahasa yang original bahkan 
seringkali menghasilkan bias maknanya. Salah satu kasusnya adalah apa yang anda 
tanyakan di atas.



Memang benar bahwa kata 'hendaklah' dalam rasa bahasa kita tidak 
menjadi kewajiban, hanya terbatas pada himbauan, anjuran atau saran. Artinya, 
bila tidak dikerjakan karena suatu hal tertentu, maka tidak mengapa hukumnya.



Sebenarnya yang terjadi adalah kesalahan atau keterpelesetan ketika 
menterjemahkan. Terjemahan yang benar dari ayat yang anda tanyakan itu 
sebenarnya buka 'hendaklah', tetapi: 'wajiblah'.


Lho kok begitu?



Begini duduk masalahnya. Di dalam ilmu ushul fiqih, hukum wajib itu tidak 
selalu didapat dari kata perintah saja (fi'il amr), tetapi juga dari 
beberapa kata lain yang maknanya mengandung perintah. Salah satunya dari kata 
kerja atau fi'il Mudhari' Majzum.



Contoh



Fi'il mudhari' sebenarnya tidak berfungsi sebagai kata perintah, 
melainkan kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang atau masa yang akan 
datang. 
Namun karena ketambahan hufur lam di depannya, maka fungsinya berubah 
menjadi kata perintah.



Sebagai contoh sederhana adalah lafadz ayat Al-Quran berikut ini:

وليطوفوا بالبيت العتيق

Kata walyaththawwafu berasal dari kata yaththawwafuna yang 
ketambahan huruf lam di depan dan oleh karenanya huruf nun di 
bagian akhir menjadi hilang. Sehingga kalau disambung menjadi walyaththawwafu.. 
Sebenarnya kata yaththawwafuna bukan kata perintah, atau bukan 
fi'il amr melainkan fi'il mudhari'. Tetapi ketika dibentuk menjadi fi'il 
mudhari' majzum seperti di atas, maka makna dan fungsinya telah 
berubah menjadi perintah. Sehingga hukumnya menjadi wajib.



Pokok Masalah



Pokok masalahnya adalah penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh 
Departemen Agama memang agak kurang tepat. Sebab terjemahannya menggunakan kata 
"hendaklah". Padahal secara rasa bahasa, banyak orang yang memahami kalau 
penggunaan kata "hendaklah" tidak bermakna perintah, melainkan himbauan. 
Dan himbauan tidak sama dengan perintah.



Itulah mengapa banyak orang yang hanya membaca terjemahan Depag, lantas 
keliru dalam memahami nilai hukum yang ada dalam Al-Quran. Salah satunya karena 
begitu banyak kata perintah hanya diterjemahkan sebagai "hendaklah"



Beberapa Contoh Lain



Padahal kalau kita teliti lebih jauh, dalam Al-Quran ternyata cukup banyak 
fi'il mudhari' yang maknanya telah berubah menjadi kata perintah. Sayangnya, 
terjemahannya semua menggunakan kata 'hendaklah'.



Silahkan buka surat Al-Baqarah. Di sana ada beberapa ayat seperti kata 
walitukmilul 'iddata pada ayat 185, kata falyastajibu li wal yu'minu bipada 
ayat 186, kata walyaktub di ayat 282, kata falyu'addi 
pada ayat 283. Semua adalah fi'il mudhari' yang maknanya telah berubah menjadi 
perintah, namun tetap diterjemahkan menjadi 'hendaklah'. Seolah-olah 
hanya anjuran padahal kewajiban.



Kalau masih penasaran, silahkan bukan surat Ali Imran. Di sana ada kata 
waltakun minkum pada ayat 104, kata falyatawakkal pada ayat 122 dan 
160, kata latubayyinunnahu pada ayat 187, kata falyasta'fif pada ayat 6. 
Sama juga kasusnya, semua itu adalah fi'il mudhari' majzum yang maknanya 
perintah, bukan hendaklah. Sayangnya, di terjemahan Depag masih ditulis dengan 
arti 'hendaklah'.



Masih banyak lagi contoh lainnya, silahkan perhatikan di dalam surat An-Nisa' 
ada kata walyakhsya pada ayat 9 dan kata falyuqatil pada ayat 74. 
Di dalam surat Al-Maidah da kata walyahkum pada ayat 47. Di dalam surat 
At-Taubah ada kata falyadhaku dan walyabku pada ayat 82. Di dalam 
surat Yunus ada kata falyafrahu pada ayat 58.



Di dalam surat Al-Kahfi ada kata falyandzur, falya'tikum, walyatalaththaf 
dalam ayat 19. Juga ada kata falyu'min dan falyakfur dalam ayat 
29. Ada kata falya'mal pada ayat 110.



Sebenarnya masih banyak contoh lainnya di dalam Al-Quran tentang kasus yang 
sama, namun halaman ini
 akan jadi panjang sekali. Cukup rasanya sebagai contoh.



Kesimpulan



Kesimpulannya adalah bahwa memakai jilbab itu bukan sekedar himbauan, 
melainkan kewajiban. Karena kata walyadhribna bikhumurihinna dalam surat 
An-Nuur: 31 tidak bermakna hendaklah mengulurkan kain kerudung, melainkan: 
wajiblah atas mereka mengulurkan mengulurkan kain kerudung.



Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 



Ahmad Sarwat, Lc


www.eramuslim.com






      ___________________________________________________________
Yahoo! Answers - Got a question? Someone out there knows the answer. Try it
now.
http://uk.answers.yahoo.com/

Kirim email ke