Prof Tjia May On
Nama yang Mendunia

Begitu mendapat doktor, jadi selebritis atau birokrat. Ini fenomena
khas golongan terpelajar Indonesia dalam ilmu sosial, ekonomi, sains,
maupun teknologi sampai sekarang. Kalau ada daftar kekecualian, Tjia
May On pasti masuk dalam barisan pendek itu.

Dalam 33 tahun penelitiannya, individual maupun dalam tim, guru besar
Fisika ITB kelahiran Probolinggo 25 Desember 1934 ini telah
menerbitkan dua buku teks dan 190 risalah. Sebagian dipublikasikan di
jurnal internasional Physical Review, Nuclear Physics, Physica C,
International Journal of Quantum Chemistry, Review of Laser
Engineering, dan Journal of Non-linear Optical Physics.

Menyelesaikan sarjana fisika tahun 1962 dari ITB. Setahun kemudian
memasuki studi fisika partikel di Northwestern University, AS hingga
PhD tahun 1969 dengan tesis Saturation of A Chiral Charge-Current
Commutator. Tahun 1966, risetnya bersama fisikawan CH Albright dan LS
Liu masuk Physical Review Letters dengan judul Quark Model Approach in
the Semileptonic Reaction.

Studi partikel kuantum dan kosmologi relativistik, dua bidang yang
mengubah pandangan dunia secara radikal-revolusioner awal abad XX
tentang alam semesta dan asal-usulnya, baru dimasuki sarjana fisika
Indonesia awal 1960an. Sepuluh tahun kemudian tercatat hanya lima nama
yang punya otoritas bicara tentang kuantum dan relativitas: Ahmad
Baiquni, Muhammad Barmawi, Tjia May On, Pantur Silaban, dan Jorga
Ibrahim. Mereka angkatan pertama yang jumlah penerusnya relatif
sedikit dibanding bidang fisika terapan.

Sempat ikut riset di International Center of Theoretical Physics
(ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan fisikawan Nobel asal Pakistan,
Abdus Salam, Tjia akhirnya meninggalkan fisika partikel dan memasuki
riset polimer, optik nonlinier, superkonduktor. Dalam dua bidang
terakhir ini namanya menginternasional.

Telah membimbing puluhan mahasiswa sarjana, magister, dan doktor,
Ketua Program Fisika Material Organik Terkonjugasi dan Superkonduktor
ITB ini kini riset kerja sama dengan Belanda, mengajar di Fisika ITB
dan program Optoelektronika UI, selain membimbing mahasiswa doktor
dengan cara seorang guru sekaligus kawan. "Ia seorang pembimbing yang
aktif terlibat dalam riset mahasiswanya," kata seorang mahasiswanya.

Mengapa Anda beralih dari fisika partikel?
Sebenarnya bukan hanya saya. Di Indonesia fisikawan partikel zaman itu
cuma tiga: Baiquni, Barmawi, dan saya. Baiquni (almarhum-Red)
meninggalkan partikel karena jadi pejabat, di samping sebagai ketua
jurusan fisika UGM. Barmawi dan saya kurang lebih senasib. Dia sempat
beberapa kali ke Trieste mengerjakan riset fisika partikel. Karena
datang sedikit terlambat, keburu Ford Foundation menarik sumbangannya,
saya hanya sempat sekali ke Trieste tahun 1974. Sampai 78 saya sempat
membimbing dua mahasiswa dalam partikel.

Karena putus asa?
Kondisinya tidak memungkinkan. Untuk mengerjakan fisika partikel, kita
jauh sekali dari fasilitas eksperimental. Jurnal nggak ada. Kontak
dengan luar negeri hanya sejauh kerja sama dengan ICTP dan itu sudah
berhenti. Alasan pertama, topik itu sangat menuntut you have to be
unusual. Kedua, pada saya mulai tumbuh kesadaran sosial: apa yang bisa
saya pertanggungjawabkan dengan aktivitas itu. Apa benar bila saya
arahkan mahasiswa ke sana sudah tepat untuk Indonesia?
Saya mulai bergeser bersama Barmawi. Kami sempat mencoba kerja sama
dengan Belanda dalam resonansi magnetik nuklir, yang penting karena
negara kita kaya minyak. Minyak atau gas bumi adalah bahan pokok untuk
meng-hasilkan bahan organik yang sangat penting, termasuk polimer.
Saya masuk ke polimer karena itu pula. Kami mencoba menjual ide ke
Pertamina, ke mana-mana, tapi gagal. Jadi, saya pindah karena mulai
menyadari pendidikan di sini: fisika material mungkin lebih cocok,
lebih penting di negara kita, dan punya pasar untuk melanjutkan studi
maupun untuk kerja.

Misalkan faktor eksperimen dikurangi. Dengan langganan jurnal dan
jaringan luar negeri, fisika partikel teoretik bisa lebih dikembangkan
di sini?
Tentu. Ini sudah terbukti. Terry Mart di UI dan masih muda punya
kebebasan yang jauh lebih besar berkunjung ke luar negeri mengadakan
kerja sama. You can do phy-sics all by yourself. Kontak, diskusi, dan
komunikasi sangat penting. Sekarang kenyataannya dia bisa bertahan. Di
ITB ada beberapa orang dalam kelompok fisika teori.

Tapi, Anda dulu memilih fisika partikel?
Saya malu cerita itu sebab anak muda mana sih, yang enggak tergiur
oleh sesuatu yang menantang secara intelektual, tapi juga ada unsur
glamornya.

Glamor?
Pertama sebelum ke Amerika, saya sudah merasa the real physics must be
fundamental physics. Nah, ini naif, harus saya akui. Begitu di
Northwestern terjadi peristiwa menggemparkan. Lambda minus ditemukan.
Gempar itu! Partikel itu sebelumnya diprediksi Murray Gell-Mann sampai
pada massa, spin, dan isospinnya. Suasana begitu merangsang sempat
menimpa saya. Sebagai anak muda, saya pikir, wah inilah bidangnya. Ini
yang saya maksud "ada unsur glamornya". Anak muda boleh glamor. Sudah
tua jangan lagi glamor-glamoran.
Lagi pula di kalangan fisika, ukuran bagi orang yang punya kemampuan
intelektual adalah masuk fisika partikel, kosmologi, atau fisika
teori. Di Northwestern saya dapat mekanika kuantum dan relativitas,
ilmu yang kedengarannya canggih sekali.

Memang canggih kan?
Oh, tentu. Cuma, bukan itu tok yang canggih. Dulu saya bilang harus ke
sana supaya betul-betul mengenal fisika. But, that's not true. Itu
bidangnya lain saja. Dalam fisika partikel, Anda terlibat pencarian
ilmu pengetahuan, fenomena baru yang sifatnya fundamental.

Seperti?
Gaya yang mengikat partikel pembentuk materi sampai sekarang masih
kontroversial. Ada enggak jenis gaya kelima? Pokoknya interaksi, gaya,
dan struktur yang amat fundamental. Proton sampai pada tingkat fisika
atom dianggap partikel. Di tingkat fisika energi tinggi, proton still
full of structures, features. Tentu itu sangat exciting, sangat
penting, dan sangat menantang. Tapi, tantangan intelektual tak perlu
harus yang begitu. Masih banyak problem penting yang secara
intelektual menantang.

Contohnya?
Penemuan superkonduktor merombak paradigma pemikiran orang secara
mendasar sekali. Teori Fermi atau perluasan Landau, misalnya, dulu
dianggap sebagai teori struktur elektronik dari bahan-bahan. Setelah
penemuan superkonduktor, orang lebih lari kepada teori strongly
correlated system. Jadi elektron itu, pada gas bebas Fermi, kalau kita
masukin sedikit interaksi, jadilah dia cairan Fermi. Itu yang
diusulkan Landau. Yang itu masih bisa ditangani dan banyak
mempertahankan ciri penting gas Fermi. Tapi, untuk bahan
superkonduktor, enggak bisa lagi. Kita harus mengubah paradigma.
Jangan lupa, teori superkonduktivitas superkonduktor telah
meng-hasilkan Hadiah Nobel.

Bagaimana Anda melihat bidang lain?
Dalam kebudayaan Cina ada ungkapan bahwa dalam tiap jenis kegiatan,
ada yang namanya chong yua: juara. Dalam masak-memasak ada orang
hebat. Dia juga jenius karena kerjaannya bukan cuma masak, tapi
menciptakan masakan baru. Itu hasil dari ramuan. Ada kreativitas.
Pelukis menggabungkan bermacam kesan. Dia ramu, dia proses, dia cerna,
kemudian keluar image baru. Dalam semua bidang, orang hebat mesti
bekerja begitu. Otomatis itu. Tantangan intelektual harus keluar
sebagai keinginan menciptakan sesuatu yang baru. Menciptakan yang baru
berawal dari yang lama. You have to process. Kebetulan saja orang yang
dianggap begawan fisika itu Einstein dan kosmolog Hawking sekarang
digembar-gemborkan.

Tapi, mereka memang hebat dibandingkan dengan fisikawan lain?
Bukan! Justru dalam fisika fundamental, tingkat kerumitan kadang
kurang. Fisika dikenal sebagai ilmu paling universal, mendasar,
menangani peristiwa yang terjadi dalam segala macam sistem. Gravitasi
di mana pun ada. Tapi dibandingkan dengan kimia, kimia lebih banyak
kerumitan. Biologi malah lebih rumit. Di sana lebih susah mencari
esensi itu. Sejarah juga begitu. Begitu banyak peristiwa yang terjadi,
bagaimana dia bisa mencari benang merahnya?

Sejak kecil sudah tertarik pada fisika?
Dulu saya justru senang sastra karena sangat tergoda oleh keindahan
narasinya. Saya bisa masuk ke dalam cerita sambil marah, nangis.
Enggak karuan saya itu.

Apanya yang berkesan?
Tentang manusia, hubungan antarmanusia, kendala interaksi manusia
dengan society. Society maksud saya terutama budaya. Saya banyak
digembleng sastra tentang hubungan manusia.

Lalu beralih minat ke fisika?
Waktu SMA saya sempat baca buku terjemahan mengenai fisika. Saya
enggak ingat judulnya. Bukunya tipis. Saya enggak tahu dari mana ayah
saya (di Malang) mendapatnya. Termasuk buku kuantum yang populer.
Lalu, saya sempat membaca karangan (Friedrich) Engels. Saya enggak
tahu kok bisa beredar, tapi waktu itu PKI memang masih anu ya. Engels
menjelaskan bagaimana mereka mengembangkan pengertian tentang
perbedaan momentum dan energi kinetik.

Engels yang bicara?
Engels dan beberapa tokoh sezamannya. Kita sekarang mudah menyebutkan
persamaan energi kinetik dan momentum. Dulu itu polemik besar. Kenapa
dari momentum ke energi kinetik ada pengalian kecepatan, lalu muncul
faktor setengah. Sangat luar biasa dan mendalam analisisnya. Even
things like that could be very chal-lenging. Kuantum yang saya baca
waktu itu tentu tidak saya pahami. Wong SMA kok, tapi it was so
intriguing, seolah-olah saya merasa, oh, untuk tahu misteri alam
memang harus mengerti beginian. Ini yang menyebabkan saya memilih fisika.

Sejak kecil rupanya sudah suka refleksi?
Sebut saja ngelamun. Waktu di SD guru saya selalu bilang, "Lihat !"

Anda menikmatinya?
Oh, ya. Dalam kerja atau belajar tidak semua sekaligus bisa jelas.
Selalu ada masalah yang enggak bisa langsung saya pahami. Terpaksa
saya harus lewati dulu untuk belajar hal lain. Tapi, utang-utang ini
memang suka saya simpan. Kalau naik kereta api, baca satu jam, mata
saya sudah sepet, saya tutup bacaan. Saya merasa mendapat kesempatan
melamun, mulai cari apa dulu yang belum jelas dan kenapa saya enggak
ngerti. Dalam proses itu, cukup sering saya menemukan hubungan yang
saya mau cari yang tadinya enggak jelas.

Sebagian besar riset Anda dimuat di jurnal internasional, bagaimana
Anda melihat penelitian di Indonesia?
Saya ingin membuat perbandingan. Di bidang seni budaya, kita punya
tradisi kuat. Itu dibuktikan dengan munculnya seniman berukuran
internasional. Sekarang ke sains dan teknologi. Mana tokohnya itu?
Orang enggak usah jadi tokoh pun bisa naik.

Tokoh di bidang ilmu sebenarnya lebih mudah diperiksa?
Kita enggak mau subscribed. Soalnya di situ. We don't want to
sub-scribe. Ada beberapa nama, tapi orangnya kebanyakan diam-diam.
Diam kerja. Cuma jumlahnya kecil. Buka yahoo! Tik nama Terry Mart.
Akan keluar publikasinya. Tik nama (seorang mantan menteri yang
doktor-Red). Enggak ketemu sebab enggak ada publikasinya.

Bagaimana kisah riset unggulan terpadu kita?
Ada cerita lucu. Di dunia pene-litian, di negara mana pun itu, orang
berhasil makin didukung. Di sini: kamu tahun lalu sudah dapat,
sekarang jalan sendiri. Uang yang sekarang untuk orang lain saja. Saya
pernah bilang di Kantor Ristek, paradigma pemerataan harus diganti
dengan paradigma selektivitas karena tak satu pun kegiatan manusia
yang perkembangannya dihasilkan oleh suatu kebijakan pemerataan.
Di sains jelas sekali itu. Copernicus, Keppler, Galileo, dan Newton
adalah ujung tombak raksasa, pelopor yang menerobos stagnansi ilmu
pengetahuan. Kepeloporan itu penting. Sekarang semua negara maju pasti
punya pusat penelitian raksasa. Itu konglomerat-nya. Kita harus
mencari pola di mana sumber daya bisa dioptimasi supaya menghasilkan
efek paling besar.

Di Northwestern sempat ikut kegiatan lain?
Saya bisa mengikuti panel discussion sampai pukul tiga dan empat pagi.
Isu penting yang bukan fisika sekalipun, saya ikuti.

Tentang apa?
Waktu itu soal Vietnam, kadang tentang sastra. Pokoknya saya gampang
digoda hal-hal yang mengandung unsur intelektual. Kalau mengemukakan
pandangan, tokoh-tokoh itu sering kali memperlihatkan sudut pandang
me-narik. Human enterprise gitu, ter-masuk musik yang Anda lebih
ngerti dari saya.

Musik macam apa?
Yang ringan dari Bach, Haydn, Mozart, atau Beethoven. Tapi, Liszt bagi
saya sudah berat. Kemampuan musikal saya tidak terlalu tinggi. Klasik
pun yang saya dapat ikuti melodinya. Sekarang musik yang disebut
atonal sudah merepotkan saya. Itu eksperimen suara saja, saya pikir,
mereka hanya mencoba menciptakan suara baru. Tidak perlu ada melodi. I
still want to hear some melody in a music to guide me into take
atmosphere.

Di fisika bisa nggak ada yang seperti itu?
Hmm, saya kira mungkin enggak bisa sebab harus ada sistematikanya.

Chaos theory?
Itu juga ada sistematikanya.

Fraktal itu, ya?
Ya, fraktal. Tetap ada sistematikanya.

Adakah konsep fisika klasik yang bertahan di dalam kuantum atau
relativitas yang Anda lihat?
Yang paling bikin saya selalu merinding adalah Persamaan Maxwell. Itu
persamaan klasik, of course nonquantum mechanics karena dia gelombang,
tidak bicara tentang foton. Di pihak lain, meski tidak manifestly
covariant, Persamaan Maxwelll itu memang relativistik. Waktu Pak
Maxwell, belum ada relativitas, tapi karya besar itu kok otomatis
relativistik.

Chaos theory?
Saya enggak mengikuti. Hanya dari jauh. Tentu itu perkembangan yang
menarik karena zaman dulu pun orang pernah ribut-ribut membicarakan
apakah logika single value atau bisa multiple value. Logika itu hanya
bisa kalau nggak salah, ya benar, kalau enggak benar, ya salah? Apa
enggak mungkin dua yang berbeda tapi dua-duanya benar? Two value logic.
Fuzzy logic, chaos berkem-bang seperti itu. Tidak linier karena cara
berpikir manusia tidak linier juga. Fisika in a way memang tak mudah
karena memerlukan rumusan matematika canggih, pemikiran cermat, tapi
bidang lain juga butuh intellectual ability serupa.

Punya impian menulis fisika untuk publik luas, seperti Fritjof Capra?
Ya, tapi bukan seperti yang ditulis Capra.

Buku apa yang Anda bayangkan?
Saya mungkin agak down to earth, tapi sementara ini sebetulnya saya
enggak mikir itu. Saya lebih memikirkan kemungkinan setelah pensiun
masih bisa meneliti. Dengan kurangnya beban rutin, saya bisa secara
tenang memikirkan soal-soal yang lebih fundamental. Saya soalnya masih
suka yang lebih fundamental, fisika partikel, yang ada unsur hobinya.
Seorang fisikawan itu godaannya mau memahami lebih jauh, lebih jauh,
dan selalu ke sana...
(Tokoh Indonesia/Repro Kompas, Pewawancara: Salomo Simanungkalit)
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/t/tjia-may-on/index.shtml
http://www.tokohindonesia.com/




-- 
www.itcenter.or.id - Komunitas Teknologi Informasi Indonesia 
Gabung, Keluar, Mode Kirim : [EMAIL PROTECTED] 

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ITCENTER/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ITCENTER/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke