Optimisme Indonesia
 
Oleh M.K. Roziqin
DN 11A
 
 
Ini sekedar refleksi pribadi melihat Indonesia ke depan. Dalam skala tertentu, 
refleksi ini disulut semangat kebersamaan dan nasionalisme yang telah 
dikobarkan oleh Panitia Porsenipar BDB II. Semangat yang patut diapresiasi oleh 
siapapun warga BDB II atas kerja keras, ketekunan dan dedikasi panitia 
porsenipar dan Pengurus RW. Bahkan rela mengorbankan kepentingan pribadi dan 
keluarga demi suksesnya penyelenggaraan even demi even. Bagi saya, semangat ini 
patut diteladani dan mendapat tempat yang tinggi di tengah kehidupan perkotaan 
yang semakin individual dan menjauh dari semangat nenek moyang kita "gotong 
royong". Semangat tersebut, yang terlihat juga bergemuruh di hampir seluruh 
wilayah Indonesia dalam peringatan 17 Agustusan semakin meyakinkan saya bahwa 
Indonesia telah menapak ke arah yang diimpikan founding fathers. Berita ke arah 
sana yang saya baca beberapa waktu lalu nampaknya bermuara pada titik yang 
sama: sebuah Indonesia yang bersemangat,
 optimis dan berperan positif bagi dunia.
 
Sebuah tulisan oleh Cyrillus Harinowo yang dimuat harian Kompas 01 Agustus 
2007, mengulas tentang prediksi Indonesia 2050, membuat saya merasa tergetar, 
sedikit ragu dan seperti ada nuansa senang dan optimis di dada. Getaran kereta 
menuju kantor pagi itu terasa makin kencang dan membuat perasaan saya 
bergejolak. Saya baru tahu, dua lembaga yang cukup prestisius Price Waterhouse 
Cooper (PWc) dan Goldman Sach memprediksi pada tahun 2050 perekonomian 
Indonesia akan mengalahkan sebagian besar negara maju saat ini seperti Jepang, 
Inggris, Jerman, Perancis, Korea, Kanada, dan Italia. Prediksi ini menjadi 
semakin menarik di tengah berbagai masalah dan cobaan yang terus mendera negara 
tercinta ini. Bencana yang tiada henti, pengangguran, kemiskinan, pendidikan 
rendah, KKN, birokrasi yang masih tradisionil, konflik daerah, transportasi 
yang amburadul seperti telah menghapus optimisme dari wajah bangsa ini. Tulisan 
Cyril itu membangkitkan semangat yang sudah lama
 redup, terlihat khas optimisme manajer berpengalaman. (Kalau tidak salah Cyril 
pernah menjadi Direktur BEJ dan saat ini menjadi CFO Medco).  
 
Bayangan optimisme dan penasaran itu terus mempengaruhi pikiran saya dalam 
minggu-minggu berikutnya. Di tengah menonton lomba karaoke malam itu pun, 
pikiran saya tetap terbayang Indonesia 2050. Sebenarnya saya segera ingin 
membuat sebuah tulisan tentang optimisme itu, tapi terhalang berbagai hal yang 
menyita pikiran dan waktu. Di sela-sela rutinitas kantor, saya mencari 
informasi mengenai dasar dan logika yang digunakan untuk membuat prediksi yang 
menurut saya bombastis. Alhasil, saya mendapat Paper Goldman Sach yang 
berjudul: The N-11: More Than An Acronym (March 28, 2007). Paper 24 halaman ini 
pada intinya mengulas dasar-dasar perhitungan yang menjadi basis prediksi 
tersebut. Membaca ulasannya, saya merasa ini ulasan yang rasional, fair, dapat 
dipertanggung-jawabkan secara akademis dan cukup masuk akal. 
 
Dasar perhitungannya adalah perbandingan Gross Domestic Product (GDP) berbagai 
negara untuk memprediksi posisi perekonomian negara tersebut. Kesimpulannya, 
pada tahun 2050, perekonomian Indonesia berada pada urutan ke tujuh di Dunia. 
Berikut ini urutan 10 besarnya:
1. China ($70.710 m)
2. Amerika Serikat ($38.514 m)
3. India ($37.668 m)
4. Brazil ($11.366 m)
5. Meksiko ($9.340 m)
6. Rusia ($8.580 m)
7. Indonesia ($7.010 m)
8. Jepang ($6.677 m)
9. Inggris ($5.133 m)
10. Jerman ($5.024 m)
 
Sebelumnya pada tahun 2030,  perekonomian Indonesia diprediksi berada pada 
urutan ke 14 di Dunia dengan urutan 15 besarnya sebagai berikut:
1. China ($25.610 m)
2. Amerika Serikat ($22.817 m)
3. India ($37.668 m)
4. Jepang ($5.814 m)
5. Rusia ($4.265 m)
6. Jerman ($3.761 m)
7. Brazil ($3.720 m)
8. Inggris ($3.595 m)
9. Perancis ($3.306 m)
10. Meksiko ($3.068 m)
11. Italia ($2.950 m)
12. Korea Selatan ($2.241 m)
13. Kanada ($2.061 m)
14. Indonesia ($1.479 m)
15. Turki ($1.279 m)
 
Saya sedikit surprise di sini tidak ada Singapura, Malaysia, Thailand maupun 
beberapa negara Eropa seperti Belanda, Spanyol, Portugis, Belgia dll. Artinya, 
Indonesia semakin masuk ke radar para analis dan pengambil keputusan di 
berbagai belahan dunia dan memiliki prospek yang semakin menarik.
 
Apakah Indonesia saat ini menuju ke arah sana dan track yang dilalui telah 
sesuai dengan prediksi paper tersebut? Cyril menjawab pertanyaan itu dengan 
cukup lugas. Kondisi riil perekonomian Indonesia tahun 2006 telah melewati 
prediksi paper tersebut. Pada tahun 2006, Indonesia diprediksi memiliki GDP 
$350 miliar, kenyataannya GDP kita pada tahun 2006 telah mencapai $366 miliar 
($16 miliar lebih besar). Artinya Indonesia bukan hanya on the track tapi jauh 
lebih bagus. Dengan kondisi ini, tampaknya posisi 7 besar dunia bisa diperoleh 
sebelum 2050, mungkin 2040 atau 2045. Sekalipun demikian, prediksi tersebut 
tetap harus dibaca secara lebih komprehensif, karena GDP sekalipun merupakan 
variable fundamental dalam semua perhitungan ekonomi suatu negara tetap harus 
di-breakdown dengan variable lain untuk mendapatkan kesimpulan yang memadai, 
seperti indikator GDP per capital misalnya.
 
Meskipun demikian, variable dan indikator tersebut tetap tidak dapat mematikan 
optimisme yang bisa diambil dari data tersebut. Kemudian, apa maknanya bagi 
bangsa Indonesia? Paper tetaplah paper yang maknanya tergantung sang pembaca. 
Namun apabila suatu prediksi didasarkan atas perhitungan akademis dan rasional, 
dilakukan oleh lembaga yang kredibel maka pembaca pada umumnya akan 
mempertimbangkan paper tersebut. Ini mirip ketika John Naisbith dalam 
Megatrends 2000 memprediksi peran Cina di milenium 21, tidak semua orang 
percaya, namun seiring bergulirnya waktu, beberapa bagian bukunya terbukti 
benar.
 
Apapun itu, bagi saya pribadi, paper itu memberi makna yang dalam, 
setidak-tidaknya membangkitkan optimisme sebagai anak bangsa. Toh hampir semua 
bangsa harus berjuang mengalahkan masalah-masalah internal bangsanya sebelum 
akhirnya tampil sebagai pemenang. Menurut hitungan saya, dalam perjalanan 
berbangsa, Indonesia masih lebih untung daripada Jerman yang telah melahirkan 
Hitler dengan korban jutaan nyawa, Amerika Serikat yang mengorbankan nyawa 
beberapa politisinya seperti J. F. Kennedy untuk menjadi negara demokrasi, 
Rusia yang melahirkan Stalin dengan korban 20 juta nyawa warganya, Jepang yang 
harus mengorbankan Hiroshima dan Nagasaki demi menjadi imperium di Dunia Timur, 
India yang masih sering terjadi pembunuhan politik di sini Indira Gandhi 
termasuk korbannya, Cina yang tidak ideologi komunisnya kebingungan mencari 
bentuk, Thailand yang setiap lima tahun terjadi kudeta, Singapura yang mulai 
ketakutan akan tenggelam dan kebingungan mencari tanah
 urukan.
 
Dalam ulang tahun ke-62 negeri ini, kita tampaknya perlu sekali lagi 
mengucapkan syukur alhamdulillah diberi tanah Indonesia yang indah dan menawan.
 
Dipikirkan di Kereta Jabotabek, ditulis di sela-sela pekatnya udara Jakarta, 20 
Agustus 2007.


       
____________________________________________________________________________________Ready
 for the edge of your seat? 
Check out tonight's top picks on Yahoo! TV. 
http://tv.yahoo.com/

Kirim email ke