Keburukan Datang dari Diri Sendiri
Oleh Muhammad Rizqon

Ada dua kisah sedih menjelang pernikahan yang baru-baru ini terjadi di 
lingkungan saya.

Kisah pertama:

Menjelang pesta pernikahan tetangga sebelah, isteri saya turut berpartisipasi 
dalam acara masak-memasak menyiapkan hidangan pesta pernikahan untuk esok 
harinya. Suatu hal yang lazim jika para ibu berkumpul maka saling curah 
perasaan pun terjadi. Pada saat itulah ibu dari sang putri calon pengantin 
mencurahkan perasaannya. Bagi ibu-ibu daerah tersebut apa yang diungkapkan oleh 
sang ibu adalah rahasia di balik pernikahan yang akan dilangsungkan esok hari, 
sebab memang ibu-ibu sekitar rumahnya belum mengetahui dengan persis siapa 
calon suami dari mempelai putri.

Isteri saya sungguh terkaget ketika sang ibu dari mempelai menceritakan bahwa 
calon suami putrinya beberapa hari yang lalu tersangkut perkara pembunuhan yang 
tidak disengaja sehingga ia terancam masuk penjara. Kisahnya ia mengendarai 
sepeda motor, dan sepeda motornya tersebut menabrak seseorang sehingga menemui 
ajalnya. Ia pun segera diproses, polisi segera menjatuhkan hukuman penjara 
sebelum proses lebih lanjut dilakukan oleh pengadilan. Namun karena sang 
terdakwa memiliki hajat yang harus ditunaikan yaitu melangsungkan pernikahan, 
maka polisi memberi waktu untuk melangsungkan pernikahan tersebut, dan setelah 
pernikahan usai, ia akan segera digiring ke penjara di kepolisian.

Ibu dari mempelai perempuan itu bercerita kepada isteri saya dan semua yang 
hadir pada acara memasak di malam hari itu dengan derai air mata. Tak terbayang 
juga bagaimana perasaan putrinya yang akan menikah dengan calon terpidana. Bagi 
yang menikah dengan pasangan yang tugas ke luar kota barang kali tidak begitu 
bermasalah karena ada harapan sang suami akan segera pulang dan menjemput untuk 
diajak serta. Bagi dia yang suaminya akan memasuki penjara, tentu ia tidak 
boleh turut serta. Kapan mereka bisa berkumpul kembali pun belum diputuskan 
oleh pengadilan. Kalau hanya beberapa bulan, masih ada harapan untuk menanti. 
Kalau bertahun-tahun, bagaimanakah perasaan jiwanya yang telah terpasung oleh 
ikatan pernikahan sementara ia pun ingin menikmati pernikahan tersebut?

Isteriku berusaha menyabarkan agar sang ibu dan sang putri tabah menghadapi 
cobaan-Nya. Bagaimanapun ini adalah takdir Allah yang mana di balik takdir itu 
pasti ada kebaikan-kebaikan yang akan dipetik. Barangkali ini adalah teguran 
Allah atas kehilafan-kehilafan yang dilakukannya, maka tidak ada jalan terbaik 
selain bertaubat dan berusaha memperbaiki hidup agar lebih baik di jalan Allah.

Kisah kedua: 

Bu Fulanah isteri seorang pejabat perpajakan telah merencanakan pesta 
pernikahan putrinya secara matang. Sebagai orang sangat berada, berbagai acara 
telah disiapkan secara mewah. Gedung, katering, pernik-pernik pernikahan, 
dokumentasi, busana, panitia, dan lain-lain, telah disiapkan secara fiks dan 
matang untuk acara pernikahan putrinya tersebut. Boleh jadi, mahalnya biaya 
tidak bermasalah yang penting ada kepuasan penunjukkan status hidupnya. Singkat 
cerita, tiga hari menjelang pernikahan, beliau menerima kabar bahwa sang calon 
menantu mengalami kecelakaan sehingga meninggal dunia. Inna lillahi wa inna 
ilaihi roji'un. 

Sungguh, meninggalnya sang calon menantu tersebut adalah berita yang tidak 
disangka-sangka sebelumnya. Bayangan pernikahan indah putrinya pun bercampur 
dengan bayangan upacara pemakaman sang calon menantu. Dada sang ibu rasanya 
sempit dan sesak, kemudian tidak lama ia terkulai jatuh pingsan. Pasca kejadian 
itu, sang ibu masih diliputi suasana shock yang diiringi rasa sakit secara 
fisik.

Banyak sisi hikmah yang bisa diambil dari kejadian tersebut. Yang menarik buat 
saya kenapa justru sang ibu calon mempelai putri yang mengalami kesusahan dan 
bukan putrinya? Bagi saya hal ini mengisyaratkan bahwa memang nuansa ikatan 
batin sang ibu kepada sang putri menjelang pernikahan memang sungguh besar. 
Bayangkan, sang ibu hendak mengalihkan tanggung jawab pemeliharaan sang putri 
kepada orang lain. Hal ini akan sedikit berbeda bagi sang ibu mempelai 
laki-laki yang akan tetap menjadi ibu pasca pernikahan kelak.

Karena merasa akan mengalihkan tanggung jawab itulah, sang ibu boleh jadi ingin 
berbuat yang terbaik bagi putrinya. Hanya saja yang menjadi catatan di sini 
adalah bahwa yang terbaik menurut sang ibu belum tentu terbaik menurut Allah 
Swt.

Calon menantu yang hendak dipenjara atau calon menantu yang meninggal dunia, 
boleh jadi dipandang oleh sang ibu masing-masing sebagai hal yang buruk dan 
diluar persangkaan mereka. Tetapi boleh jadi, hal itu adalah terbaik bagi 
putrinya dan terbaik menurut Allah Swt.

Pelajaran utama dari penggalan kisah tersebut bagi saya adalah bahwa apa yang 
menjadi harapan manusia tidak selalu selaras dengan kehendak Allah. Manusia 
boleh bermimpi, bercita-cita, bekerja, berusaha, dan berjuang. Tetapi yang 
harus selalu tertanam adalah bahwa realisasi dari mimpi, cita-cita, dan tujuan 
dari upaya dan perjuangan tersebut tidak lepas dari kehendak Allah Swt.

Yang patut menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana agar keinginan kita 
(selalu) selaras dengan kehendak Allah sehingga hidup kita selalu diliputi oleh 
kebaikan. Allah memberi jawaban dalam Al-Qur'an: 
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), 
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa 
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala 
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada 
dalam kebenaran. " (QS. 2:186).

Formula yang diberikan Allah dalam Al-Quran ini begitu simpel dan mudah, yaitu 
jika kita merasa keinginan kita tidak selaras dengan kehendak Allah (tidak 
dikabulkan Allah), berarti masih ada masalah keimanan dalam diri kita, baik 
berbentuk tidak memenuhi seruan-Nya atau berbuat maksiyat kepada-Nya.

Sang ibu yang calon menantunya meninggal tersebut bersuamikan pegawai 
perpajakan. Kehidupannya mentereng dan wah. Kekayaan tersebut sudah lama nampak 
sebelum adanya reformasi kantor perpajakan seperti sekarang ini, yang mana 
pegawai-pegawainya digaji cukup besar. Boleh jadi, kekayaan yang bukan 
haknyalah yang menjadikan keinginannya tidak dikabulkan Allah Swt.

Sedangkan ibu dari calon mempelai yang dipenjara, kurang rajin dalam hal ibadah 
kepada Allah dan kurang bersosialisasi dengan lingkungan dalam bentuk pengajian 
atau majelis taklim. Boleh jadi, itulah yang menjadikan keinginannya tidak 
terkabul di sisi Allah.

Boleh jadi pula, bukan semua itu penyebab pastinya, saya hanya bisa mengambil 
hikmah dari yang nampak. Tetapi saya yakin, bahwa kebaikan itu datangnya dari 
Allah dan musibah itu datangnya dari diri kita sendiri.

Rumusan sederhana dalam menghadapi keburukan ini, sangat relevan jika kita 
applikasikan dalam segmentasi kehidupan apapun. Diri sendiri, keluarga, 
masyarakatdan bahkan kehidupan bernegara. Jika kita mengalami keburukan (hal 
yang tidak menyenangkan), sadarilah bahwa itu datangnya dari diri kita sendiri 
bukan orang (pihak) lain.

Alangkah indahnya jika hidup dipenuhi dengan orang-orang yang mawas diri dan 
introspektif ini. Perpecahan pun dapat diminimalisir dan "kambing hitam" pun 
barangkali tidak laku. Justru yang terjadi adalah masing-masing elemen akan 
berusaha memperbaiki diri dansecaraagregatif menimbulkan perbaikan yang luar 
biasa. Subhanallah. 

Waallahu'alam Bishshawaab 

www.eramuslim.com


Kirim email ke