Fatwa MUI dan Pandangan Fuqaha Tentang Nabi Palsu

Kamis, 22 November 2007

Dalam Mahzab Syafi'i, jika seseorang mengatakan, "Seandainya
fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya", maka, perkataan
seperti itu sudah murtad


Oleh:Thoriq*


Fatwa MUI tentang sesatnya aliran Al-Qiyadah disambut positif oleh
mayoritas umat Islam Indonesia yang menghendaki kejelasan hukum atas
kehadiran kelompok ini. Akan tetapi seperti biasa, kelompok liberal
tidak akan rela dengan munculnya fatwa itu. Salah satu diantara mereka
adalah penulis "Sesatnya Kriteria Sesat", Mohamad Guntur Romli. 
(Jawapos, 14/11). Intinya, ia tidak setuju dengan kriteria sesat yang
telah ditetapkan MUI, karena ia berpendapat bahwa penyesatan hanya milik
Allah.

Tentu, pernyataan si penulis ini otomatis batal dengan perkataan ia
sendiri, karena ia sendiri "menyesatkan" kriteria MUI. Kita bisa
pakai logika si penulis juga, mengapa dia berani "menyesatkan"
fatwa MUI? Bukankah ia menyatakan bahwa sesat dan tidak sesat adalah hak
Allah? Ini menunjukkan bahwa si penulis "plin-plan" terhadap
sikapnya. Karena, kalau ia konsisten, tentu ia tidak perlu
"menyesatkan" fatwa MUI.

Ia juga berpendapat bahwa para ulama tidak memiliki wewenang untuk
menghukumi seseorang kafir atau tidak. Pendapat ini perlu dalil shorih
yang menjelaskan bahwa ulama memang tidak boleh mengkafirkan seseorang
yang sudah jelas-jelas tidak mengakui seluruh atau sebagian
syari'at, atau mengingkari risalah Rasulullah atau mengingkari
hal-hal yang mutawatir atau mengingkari bahwa Rasulullah adalah utusan
terakhir. Dan tidak cukup sampai di situ, si penulis juga harus bisa
menunjukkan dalil sharih yang menyatakan bahwa orang yang sudah
melakukan pengingkaran sampai tahap itu masih bisa dianggap Muslim.

Tentu yang ada hanyalah dalil bolehnya ulama mengkafirkan mereka yang
sudah jelas kafir. Yaitu dalil-dalil yang memerintahkan agar umat Islam
berpegang teguh dengan nash Al Quran dan Sunnah. Dan Al Quran dan Sunnah
telah menjelaskan kriteria mukmin dan kafir, yang berfungsi untuk
membedakan siapa yang masih disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir.
Hingga tidak salah jika ulama menghukumi seseorang sebagai kafir, dengan
mengambil pedoman dari Al Quruan dan Sunnah, bahkan wajib demi menjaga
agama ini.

Nabi Palsu dalam Pendangan Fuqaha

Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon serius oleh para ulama
sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang
amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini disebabkan dalil
qath'i baik dari Al Quran, Sunnah, serta ijma telah menyatakan bahwa
Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak ada
syari'at yang harus diikuti kecuali syari'at yang telah beliau
bawa.

Atas dasar nash-nash itulah para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang
mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka yang
mengikutinya. Al Muthi'i dalam Syarh Al Muhadzab (20/371), salah
satu kitab pokok dalam madzhab Syafi'i menyebutkan, "Begitu juga
(telah murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta
orang yang mengikutinya".

Ia juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat, jika ada
seseorang mengatakan, "Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku
membenarkannya", maka, menurut Al Muthi'i,  ia telah murtad. Al
Muthi'i juga merujuk perkataan Imam Syafi'i yang
menyatakan,"Ada beberapa orang yang murtad setelah Islam, mereka
adalah Thalhah, Musailamah, `Ansa beserta para pengikut mereka".

Ulama dari kalangan madzhab Hambali pun memiliki pendapat yang serupa,
Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2181), rujukan pokok madzhab Hambali,
menyatakan,"Barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan
seruannya, maka ia telah murtad!".

Imam Al Qurthubi dan "bisikan" hati

Ulama dari Madzhab Maliki, Imam Al Qurthubi dalam Al Jami' li Ahkami
Al Quran (4/37) menyatakan,"Termasuk dalam golongan ini (Musailamah
dan sejenisnya) seseorang yang menolak fiqih dan sunnah yang dipegang
para salaf, dan ia mengatakan, "Hatiku berbisik kepadaku
begini", lalu dia jadikan bisikan hatinya itu sebagai hukum dan ia
menganggap bahwa itu disebabkan kesucian hatinya dari kotoran, hingga
nampaklah ilmu-ilmu ilahiyah dan hakikat rabaniyah, akhirnya ia
mencukupkan bisikan hatinya daripada hukum syari'at. Lalu ia
mengatakan, "Syari'at hanya berlaku kepada orang awam, sedangkan
orang-orang istimewa tidak perlu menggunakannya"… Ini adalah
perkataan zindiq dan orang yang mengatakannya telah kafir, pelakunya
harus dibunuh, tanpa diminta bertaubat terlebih dahulu, karena dengan
begitu otomatis ia menetapkan bahwa ada nabi setelah Nabi kita Muhammad
saw.

Muhammad Syafi', ulama madzhab Hanafi yang sekaligus menjadi mufti
Pakistan menyatakan juga dalam At Tasyrih bima Tawatara fi Nuzul Al
Masih,"Ketika tidak ada nash yang menunjukkan adanya kenabian bagi
seseorang, setelah Rasulullah, bahkan sebaliknya (yang ada adalah
penafian adanya kenabian setelah Rasulullah) maka orang yang mengaku
nabi telah kafir menurut Al Quran, Sunnah mutawatir serta ijma'.


Dalil bahwa Rasulullah saw. Rasul terakhir

Penetapan bahwa Rasulullah adalah rasul sekaligus nabi terakhir oleh
para ulama berdasarkan surat Al Ahzab, ayat 40: "Bukanlah Muhammad
itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah
Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi". Imam Al Qurthubi dalam
Al Jami' Al Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama'ah salaf
dan khalaf menyatakan, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah
Rasulullah. Para mufasirin dan fuqaha seperti Imam Syafi'i dalam Al
Umm, Ibnu Katsir, Imam As Syaukani dalam Fathu Al Qadir beserta ahli
tafsir kontemporer seperti Al Maraghi, As Shabuni serta Muhammad Abduh
dalam Al Manar menyatakan hal yang sama.

Beberapa hadits pun memiliki makna bahwa Rasulullah saw. adalah rasul
terakhir, salah satunya adalah hadits: "Sesungguhnya saya mempunyai
nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah
menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia
berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya"
(HR. Muslim)

Karena amat banyak jalan periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam
tafsirnya (6/452) menyatakan bahwa hadits ini mencapai derajat
mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh mufti Pakistan Muhammad
Syafi'.

Sebagaimana disebutkan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa hadits-hadist
mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa tidak ada rasul setelah
Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada seseorang yang
mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah pembohong
besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang
aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk
kecintaan Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).

Selain Al Quran dan Sunnah, ijma' juga menyatakan bahwa Rasulullah
adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Maratib Al
Ijma' yang dinukil oleh Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna' fi
Masa'il Al Ijma (1/33).

Kekufuran Para Pengingkar Syari'at  yang Mutawatir

Tentu yang namanya nabi palsu pasti menyeru kepada hal-hal yang mungkar
dan bathil, sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan, mereka mengajak
penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran Rasulullah saw, seperti
shalat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati kewajibannya
dalam Islam. Atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.

Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu tidak sebatas maksiat biasa, karena
hal itu pun sudah masuk kepada wilayah kekufuran. Ibnu Al Qudamah dalam
Al Mughni (2/2172) mengatakan,"Bagitu juga (dihukumi murtad, bagi
mereka yang mengingkari) dasar-dasar Islam seperti zakat, puasa, haji,
karena dalil yang menunjukkan fardhunya amalan-amalan itu hampir tidak
bisa dihitung dan ijma' pun menyatakan hal yang serupa".

Ibnu Hazm menyebutkan dalam Maratib Al Ijma',sesuai dengan nukilan
Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam  Al Iqna' fi Masa'il Al Ijma
(1/126): "Umat bersepakat, barang siapa beriman kepada Allah dan
Rasulnya, serta hal-hal yang dibawanya yang dinukil secara mutawatir
darinya dan tidak ragu dalam masalah tauhid atau kenabian beliau serta
tiap-tiap huruf dari hal-hal yang beliau bawa yang dinukil secara
mutawatir. Dan barang siapa menolak sesuatu dari hal-hal yang telah kami
sebutkan atau ragu atasnya dan mati kadalam keadaan itu, maka ia telah
kafir dan kekal di neraka".

Kesimpulannya, bahwa ijma' telah menyatakan bahwa hal-hal yang
dinukil secara mutawatir dalam Islam seperti kewajiban shalat, zakat,
haji, termasuk khabar  yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi
terakhir atau yang lain, wajib diimani. Dan barang siapa yang menolak
maka ia telah kafir.

Berpedoman dari dalil-dalil di atas maka tidak ada yang perlu
dipermasalahkan dalam fatwa MUI, karena pendapat lembaga ini sesuai
dengan nash Al Quran, Sunnah dan Ijma. Kalau sudah masuk ranah ijma'
maka tidak mungkin terjadi kesalahan atau kesesatan karena Rasulullah
sendiri bersabda:" Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam
kesesatan". Hadist ini mencapai derajat mutawatir dari segi makna
menurut Al Fahru Ar Razi dalam Al Mahshul (1/35), juga Al Khatib Al
Baghdadi dalam Faqih wa Al Mutafaqqih (2/167).

Jika pengkafiran terhadap mereka yang menyelisihi pokok-pokok agama
Islam tidak mungkin sesat, maka tentu para pembaca bisa menilai, siapa
yang sesat sebenarnya, MUI atau pihak yang "menyesatkan" MUI?
Wallahu'alam bishowab.

*) Penulis adalah lulusan Al-Azhar, Kairo



-- 
--
Achmad Y. Sjarifuddin.
E-mail: abu [at] lathiifa.com
Website: http://www.lathiifa.com


------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Dari Hudzaifah Radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah Shalallaahu alaihi 
wasalam biasa menggosok giginya dengan siwak setiap kali bangun dari tidur. 
(HR. Muslim) 

Kirim email ke