Mungkin ada yang bisa mem-fwd artikel tentang bolehnya berbeda waktu
dengan Makkah saat berpuasa Arofah dan sholat 'ied Adha (sebagai
pembanding/second opinion)?

Namun intinya, dari berbagai pendapat yang ada, kita masing-masing
memiliki kewenangan untuk memilih yang paling 'sreg' dengan nurani dan
akal sehat kita.
Selebihnya adalah sikap tasamuh/tolerans yang musti dikedepankan untuk
menjaga ukhuwah.

Memang secara natural, pada akhirnya pendapat dari kelompok
'mainstream' lah yang akan mewarnai/mendominasi. Dalam konteks
Indonesia, maka bisa dimengerti kalau pendapat pemerintah akan lebih
diwarnai oleh pendapat kelompok 'mainstream' (misal MU+NU), bukan
kelompok 'substream' (misal HT, Tarbiyah/PKS, etc).

Namun kalau kita tengok secara global, maka pertanyaannya: siapakah
yang mainstream atau substream? Benarkah hanya Indonesia (+Malaysia?)
yang berbeda dengan Mekkah soal 'idul Adha?

Wallahu a'lam.
Wassalam,
--amin



Pada tanggal 12/12/07, Achmad Yahya Sjarifuddin <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
> -------- Original Message --------
> Date:   Fri, 30 Nov 2007 08:22:27 +0700
> From:   Diran <[EMAIL PROTECTED]>
>
>
> *PENENTUAN IDUL ADHA* - /2007/11/26 17:42/ *PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB
> BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH*
> Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
>
> Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu
> ru?yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi?i menganut ru?yat
> lokal, yaitu mereka mengamalkan ru?yat masing-masing negeri. Sementara
> madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru?yat global, yakni
> mengamalkan ru?yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika
> ru?yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru?yat itu berlaku untuk
> seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru?yat.
>
> Namun khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha.
> Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi?i dan Hanbali)
> telah sepakat mengamalkan ru?yat yang sama untuk Idul Adha. Ru?yat yang
> dimaksud, adalah ru?yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk
> menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah.
> Ru?yat ini berlaku untuk seluruh dunia.
>
> Oleh sebab itu, kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha
> pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang
> banyak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian,
> dilanjutkan pada masa Khulafa? Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin,
> Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
> Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma?luumun minad diini bidl
> dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran
> Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian
> ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah
> Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti
> Hijaz dalam beridul Adha. Sebab Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh
> pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan
> bukannya pada yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10
> Dzulhijjah).
>
> Kewajiban kaum muslimin untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari
> yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara?. Di antaranya
> adalah sebagai berikut :
>
> *(1) Hadits A?isyah RA*, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda :
>
> /"Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berkata. Dan Idul
> Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban." /(al-fithru yauma
> yufthiru al-naasu wa al-adh-ha yauma yudhahhi al-naasu} HR. At-Tirmidzi
> dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul
> Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).
>
> Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu
> Hurairah RA dengan lafal :
> /"Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri
> adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih
> kurban./"(ash-shaumu yauma tashuumuun wa al-fithru yauma tuftiruuna wa
> al-adh-ha yauma tudhahhuun) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut
> : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
>
> Imam At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul ?ilmi (ulama) menafsirkan
> hadits ini dengan menyatakan :
> /"Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan
> bersama jama?ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan
> sebahagian besar orang/."(innama ma?na haadza ash-shaum wa al-fithr ma?a
> al-jamaah wa ?azhiim al-nas) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar,
> [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
>
> Sementara itu Imam Badrudin Al-?Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata:
> /"Orang-orang (kaum muslimin) senantiasa wajib mengikuti Imam
> (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka
> (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka."/
>
> Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan,
> beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits
> : an-naas), yaitu maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya, baik
> tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu,
> maupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan
> seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.
>
> Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau
> berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang
> benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum
> muslimin pada umumnya.
>
> *(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA*, dia berkata :
> "Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
> "/Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik
> haji berdasarkan ru?yat. Jika kami tidak berhasil meru?yat tetapi ada
> dua saksi adil yang berhasil meru?yat, maka kami melaksanakan manasik
> haji berdasarkan kesaksian keduanya." /(?ahida ilaynaa rasulullah SAW an
> nansuka li al-ru`yah fa-in lam narahu wa syahida syaahidaa ?adlin
> nasaknaa bi-syahadatihimaa) (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan
> Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,?Ini isnadnya
> bersambung [muttashil] dan shahih.?
> Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal.
> 841, hadits no 1629)
>
> Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan
> hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya
> Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah
> Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya
> manasik haji berdasarkan ru?yat.
> Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan
> manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di
> Muzdalifah, melempar jumrah) harus ditetapkan berdasarkan ru?yat
> penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru?yat penduduk Madinah,
> penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi
> tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap
> menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum
> muslimin, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara?. Dalam
> keadaan demikian, kaum muslimin seluruhnya di dunia wajib beridul Adha
> pada yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah
> haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10
> Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq)
> seperti di Indonesia.
>
> *(3) Hadits Abu Hurairah RA*, dia berkata :
> /"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di
> Arafah" /(nahaa rasulullah SAW ?an shaumi ?arafata bi-?arafaat) (HR. Abu
> Dawud, An Nasa?i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam
> Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits
> no 1709).
>
> Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi?i berkata :
> /"Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi
> mereka yang bukan jamaah haji."/
> Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban
> penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ?ain atas seluruh
> kaum muslimin. Sebab, jika disyari?atkan puasa bagi selain jamaah haji
> pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah),
> maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan
> tidak boleh lebih dari satu.
>
> Karena itu, atas dasar apa kaum muslimin di Indonesia justru berpuasa
> Arafah justru pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah),
> yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah
> berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa
> pula mereka Sholat Idul Adha di luar waktunya dan malahan sholat Idul
> Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?
> Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid?ah yang munkar
> (bid?ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang
> masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!
>
> Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan
> hadits :
> "Berpuasalah kalian karena telah meru?yat hilal (mengamati adanya bulan
> sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru?yat
> hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !"
>
> Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan
> perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam
> dan untuk membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang
> _keliru_. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :
>
> *Pertama*, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak
> menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung.
> Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu,
> tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan
> perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat
> peredaran) bulan dan perbedaan mathla? (tempat/waktu terbit) hilal, di
> antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla? hilal itu sendiri
> faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab bulan lahir di langit pada satu
> titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi
> seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan ini
> pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang
> sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.
>
> *Kedua*, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul
> Fitri berdasarkan ru?yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada
> hadits tersebut tak terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang
> membolehkan pengalaman ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan
> dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi : "(??jika
> pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu !" maksudnya
> bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan
> menyempurnakan bilangan Sya?ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila
> kesulitan melakukan ru?yat.
>
> *Ketiga*, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk
> Idul Adha dengan jalan Qiyas ?padahal Qiyas tidak boleh ada dalam
> perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah-- maka hadits tersebut
> justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali
> RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits
> tersebut, Nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah
> untuk menetapkan ru?yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu
> manasik haji berdasarkan ru?yat penduduk Makkah (bukan ru?yat kaum
> muslimin yang lain di berbagai negeri Islam).
> Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari
> negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam.
> Indonesia tidak boleh menentang ijma? (kesepakatan) seluruh kaum
> muslimin di seantero pelosok dunia, karena seluruh negara menganggap
> bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru?yat penduduk
> Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi ijma? kaum muslimin itu, selain
> Indonesia !
>
> Lagi pula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma?
> tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin
> ? Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang
> mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi?ah) sehingga para
> umaro? dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa dari
> orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti?
>
> Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini
> sesungguhnya terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia
> Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara
> kebangsaan yang direkayasa oleh kaum penjajah yang kafir.
>
> Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan
> Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bahwa naungan Khilafah
> Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum muslimin
> di seluruh dunia serta akan memimpin kaum muslimin untuk menjalani
> kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah
> Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !
>
> Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !
>
> ----- End forwarded message -----
>
> ------------------------------------------------------------------
> - Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
> - Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -
>
> Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Puasa yang paling utama 
> setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram. (HR. Muslim) 
> dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, Puasa Asyura menghapus 
> kesalahan setahun yang telah lalu. (HR. Muslim).
>
>

------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Puasa yang paling utama 
setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram. (HR. Muslim) 
dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, Puasa Asyura menghapus 
kesalahan setahun yang telah lalu. (HR. Muslim).

Kirim email ke