Saya rasa dengan mengambil dasar ibadah sholat Jum'at merupakan ibadah di
hari Jum'at dan sholat hari raya Idul Adha berdasarkan sistem penanggalan
Hijriyah memang sudah jelas cara pengambilan waktu nya berbeda. Sholat
Jum'at setiap hari jum'at nggak perduli tanggal Hijriahnya, sedang Sholat
Idul Adha harus memperhatikan tanggal Hijriahnya. Makanya sholat Id bisa
senin, jum'at, sabtu, minggu dll

alamat email: [EMAIL PROTECTED]


                                                                           
             "amin widada"                                                 
             <[EMAIL PROTECTED]                                             
             .com>                                                      To 
                                       jamaah@arroyyan.com                 
             12/12/2007 04:31                                           cc 
             PM                                                            
                                                                   Subject 
                                       Re: [Ar-Royyan-7172] PENENTUAN IDUL 
             Please respond to         ADHA WAJIB BERDASARKAN RUKYATUL     
             [EMAIL PROTECTED]         HILAL PENDUDUK MAKKAH               
                    om                                                     
                                                                           
                                                                           
                                                                           
                                                                           
                                                                           




Mungkin ada yang bisa mem-fwd artikel tentang bolehnya berbeda waktu
dengan Makkah saat berpuasa Arofah dan sholat 'ied Adha (sebagai
pembanding/second opinion)?

Namun intinya, dari berbagai pendapat yang ada, kita masing-masing
memiliki kewenangan untuk memilih yang paling 'sreg' dengan nurani dan
akal sehat kita.
Selebihnya adalah sikap tasamuh/tolerans yang musti dikedepankan untuk
menjaga ukhuwah.

Memang secara natural, pada akhirnya pendapat dari kelompok
'mainstream' lah yang akan mewarnai/mendominasi. Dalam konteks
Indonesia, maka bisa dimengerti kalau pendapat pemerintah akan lebih
diwarnai oleh pendapat kelompok 'mainstream' (misal MU+NU), bukan
kelompok 'substream' (misal HT, Tarbiyah/PKS, etc).

Namun kalau kita tengok secara global, maka pertanyaannya: siapakah
yang mainstream atau substream? Benarkah hanya Indonesia (+Malaysia?)
yang berbeda dengan Mekkah soal 'idul Adha?

Wallahu a'lam.
Wassalam,
--amin



Pada tanggal 12/12/07, Achmad Yahya Sjarifuddin <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
> -------- Original Message --------
> Date:   Fri, 30 Nov 2007 08:22:27 +0700
> From:   Diran <[EMAIL PROTECTED]>
>
>
> *PENENTUAN IDUL ADHA* - /2007/11/26 17:42/ *PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB
> BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH*
> Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
>
> Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu
> ru?yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi?i menganut ru?yat
> lokal, yaitu mereka mengamalkan ru?yat masing-masing negeri. Sementara
> madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru?yat global, yakni
> mengamalkan ru?yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika
> ru?yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru?yat itu berlaku untuk
> seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat
meru?yat.
>
> Namun khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha.
> Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi?i dan Hanbali)
> telah sepakat mengamalkan ru?yat yang sama untuk Idul Adha. Ru?yat yang
> dimaksud, adalah ru?yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk
> menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah.
> Ru?yat ini berlaku untuk seluruh dunia.
>
> Oleh sebab itu, kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha
> pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang
> banyak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian,
> dilanjutkan pada masa Khulafa? Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin,
> Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
> Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma?luumun minad diini bidl
> dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran
> Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian
> ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah
> Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti
> Hijaz dalam beridul Adha. Sebab Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh
> pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan
> bukannya pada yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10
> Dzulhijjah).
>
> Kewajiban kaum muslimin untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari
> yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara?. Di antaranya
> adalah sebagai berikut :
>
> *(1) Hadits A?isyah RA*, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda :
>
> /"Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berkata. Dan Idul
> Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban." /(al-fithru yauma
> yufthiru al-naasu wa al-adh-ha yauma yudhahhi al-naasu} HR. At-Tirmidzi
> dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul
> Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).
>
> Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu
> Hurairah RA dengan lafal :
> /"Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri
> adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih
> kurban./"(ash-shaumu yauma tashuumuun wa al-fithru yauma tuftiruuna wa
> al-adh-ha yauma tudhahhuun) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut
> : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
>
> Imam At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul ?ilmi (ulama) menafsirkan
> hadits ini dengan menyatakan :
> /"Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan
> bersama jama?ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan
> sebahagian besar orang/."(innama ma?na haadza ash-shaum wa al-fithr ma?a
> al-jamaah wa ?azhiim al-nas) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar,
> [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
>
> Sementara itu Imam Badrudin Al-?Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata:
> /"Orang-orang (kaum muslimin) senantiasa wajib mengikuti Imam
> (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka
> (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka."/
>
> Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan,
> beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits
> : an-naas), yaitu maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya, baik
> tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu,
> maupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan
> seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.
>
> Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau
> berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang
> benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum
> muslimin pada umumnya.
>
> *(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA*, dia berkata :
> "Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
> "/Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik
> haji berdasarkan ru?yat. Jika kami tidak berhasil meru?yat tetapi ada
> dua saksi adil yang berhasil meru?yat, maka kami melaksanakan manasik
> haji berdasarkan kesaksian keduanya." /(?ahida ilaynaa rasulullah SAW an
> nansuka li al-ru`yah fa-in lam narahu wa syahida syaahidaa ?adlin
> nasaknaa bi-syahadatihimaa) (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan
> Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,?Ini isnadnya
> bersambung [muttashil] dan shahih.?
> Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal.
> 841, hadits no 1629)
>
> Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan
> hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya
> Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah
> Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya
> manasik haji berdasarkan ru?yat.
> Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan
> manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di
> Muzdalifah, melempar jumrah) harus ditetapkan berdasarkan ru?yat
> penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru?yat penduduk Madinah,
> penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi
> tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap
> menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum
> muslimin, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara?. Dalam
> keadaan demikian, kaum muslimin seluruhnya di dunia wajib beridul Adha
> pada yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah
> haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10
> Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq)
> seperti di Indonesia.
>
> *(3) Hadits Abu Hurairah RA*, dia berkata :
> /"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di
> Arafah" /(nahaa rasulullah SAW ?an shaumi ?arafata bi-?arafaat) (HR. Abu
> Dawud, An Nasa?i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam
> Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits
> no 1709).
>
> Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi?i berkata :
> /"Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi
> mereka yang bukan jamaah haji."/
> Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban
> penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ?ain atas seluruh
> kaum muslimin. Sebab, jika disyari?atkan puasa bagi selain jamaah haji
> pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah),
> maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan
> tidak boleh lebih dari satu.
>
> Karena itu, atas dasar apa kaum muslimin di Indonesia justru berpuasa
> Arafah justru pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah),
> yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah
> berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa
> pula mereka Sholat Idul Adha di luar waktunya dan malahan sholat Idul
> Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?
> Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid?ah yang munkar
> (bid?ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang
> masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!
>
> Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan
> hadits :
> "Berpuasalah kalian karena telah meru?yat hilal (mengamati adanya bulan
> sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru?yat
> hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !"
>
> Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan
> perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam
> dan untuk membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang
> _keliru_. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :
>
> *Pertama*, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak
> menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung.
> Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu,
> tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan
> perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat
> peredaran) bulan dan perbedaan mathla? (tempat/waktu terbit) hilal, di
> antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla? hilal itu sendiri
> faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab bulan lahir di langit pada satu
> titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi
> seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan ini
> pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang
> sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.
>
> *Kedua*, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul
> Fitri berdasarkan ru?yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada
> hadits tersebut tak terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang
> membolehkan pengalaman ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan
> dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi : "(??jika
> pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu !" maksudnya
> bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan
> menyempurnakan bilangan Sya?ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila
> kesulitan melakukan ru?yat.
>
> *Ketiga*, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk
> Idul Adha dengan jalan Qiyas ?padahal Qiyas tidak boleh ada dalam
> perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah-- maka hadits tersebut
> justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali
> RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits
> tersebut, Nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah
> untuk menetapkan ru?yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu
> manasik haji berdasarkan ru?yat penduduk Makkah (bukan ru?yat kaum
> muslimin yang lain di berbagai negeri Islam).
> Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari
> negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam.
> Indonesia tidak boleh menentang ijma? (kesepakatan) seluruh kaum
> muslimin di seantero pelosok dunia, karena seluruh negara menganggap
> bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru?yat penduduk
> Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi ijma? kaum muslimin itu, selain
> Indonesia !
>
> Lagi pula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma?
> tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin
> ? Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang
> mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi?ah) sehingga para
> umaro? dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa dari
> orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti?
>
> Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini
> sesungguhnya terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia
> Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara
> kebangsaan yang direkayasa oleh kaum penjajah yang kafir.
>
> Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan
> Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bahwa naungan Khilafah
> Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum muslimin
> di seluruh dunia serta akan memimpin kaum muslimin untuk menjalani
> kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah
> Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !
>
> Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !
>
> ----- End forwarded message -----
>
> ------------------------------------------------------------------
> - Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
> - Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -
>
> Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Puasa yang paling
utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram. (HR.
Muslim) dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, Puasa Asyura
menghapus kesalahan setahun yang telah lalu. (HR. Muslim).
>
>

------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Puasa yang paling utama
setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram. (HR.
Muslim) dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, Puasa Asyura
menghapus kesalahan setahun yang telah lalu. (HR. Muslim).




------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Puasa yang paling utama 
setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram. (HR. Muslim) 
dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, Puasa Asyura menghapus 
kesalahan setahun yang telah lalu. (HR. Muslim).

Kirim email ke