----- Original Message ----- From: arya noor amarsyah arya
Sent: Tuesday, February 03, 2009 6:13 PM


KEPEKAAN TERHADAP MASALAH

Media massa akhir-akhir ini berisikan berita mengenai banjir di tanah air. Banjir di Jakarta, Surabaya, Sukohardjo, Jember, daerah-daerah yang dilalui sungai Bengawan Solo dan daerah lainnya. Telinga sudah terbiasa mendengar berita ini. Bahkan tahun yang telah lewat, mungkin kita juga sudah terbiasa mendengarnya. Banjir sudah menjadi musim yang datangnya bertepatan dengan datangnya musim hujan. Musim hujan sudah identik dengan banjir. Musim kemarau sudah identik dengan kekeringan dan kekurangan air. Setiap tahun kita selalu disuguhi berita tentang banjir di berbagai daerah di Indonesia. Kita menjadi terbiasa mendengar berita mengenai banjir. Bukan kita saja yang menjadi terbiasa. Para korban banjir juga menjadi terbiasa menghadapi banjir. Mereka tidak panik dengan datangnya banjir. Seperti yang saya saksikan dalam berita di pagi hari ini. Penduduk yang daerah dan rumahnya digenangi banjir, belum mau dievakuasi. Mereka beralasan, “Kalau rumah ditinggal, nanti berantakan. Kami sudah terbiasa dengan hal ini.” Kalau ada simulasi atau gladi resik menjelang datangnya banjir, mungkin para korban banjir yang telah berpengalaman bertahun-tahun dapat menjadi instruktur atau pengajar di saat itu. Mereka dapat memberitahu apa saja yang pertama kali perlu dilakukan ketika banjir datang. Apa saja yang harus dihindari ketika banjir datang, kemanakah harus mengungsi. Semua langkah-langkah yang harus diambil ketika banjir datang, sudah ada di luar kepala mereka. Karena sudah bertahun-tahun mengalaminya, bagi mereka banjir seolah bukan permasalahan. Tapi, apakah kita setuju jika dikatakan banjir bukan permasalahan? Apakah kita setuju bila ada orang yang mengatakan bahwa banjir bukan permasalahan yang besar, buktinya para korbannya tenang-tenang saja? Fenomena seperti ini tidak saja terkait dengan permasalahan banjir. Kita mungkin sering melihat situasi di angkutan umum alias angkot. Biasanya bangku yang ada di angkot disediakan 2 lajur, satu lajur untuk 4 orang dan satunya lagi untuk 6 orang. Terkadang supir juga menyediakan bangku cadangan untuk menampung dua orang atau untuk seorang yang gemuk. Bangku cadangan ini diletakkan dekat dengan pintu. Si supir akan memaksakan agar penumpang untuk duduk di salah satu lajur –baik di lajur untuk 4 orang maupun lajur untuk 6 orang- , walau ruang yang tersisa hanya sedikit. Supir tidak lagi memperhatikan kondisi para penumpang yang telah menempati tempat duduk. Apakah gemuk ataukah kurus? Bagi si supir, bila biasanya muat untuk 6 orang, maka saat itupun harus pula muat untuk 6 orang. Bila biasanya muat untuk 4 orang, maka saat itu juga harus muat untuk 4 orang. Kita sebagai penumpang terkadang mengalah dengan desakan supir itu. Duduk di bangku yang sebenarnya tidak nyaman untuk diduduki. Pemandangan seperti ini merupakan pemandangan yang biasa ditemukan para penumpang yang menjadi pelanggan pengguna angkot. Karena sudah terbiasa, terkadang kita sebagai penumpang tidak lagi menjadikan hal ini sebagai masalah. Benarkah hal ini bukan permasalahan? Apakah meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan kenyamanan penumpang adalah sesuatu yang dibenarkan? Penumpang angkot yang seolah nyaman duduk di bangku angkot yang sempit, bukan berarti itu tidak menjadi masalah. Para korban banjir yang tenang-tenang saja di rumah serta tidak mau dievakuasi, itu tidak berarti banjir bukan merupakan permasalahan. Bukankah banyak orang pendiam ternyata berani gantung diri? Banyak para penganggur yang kelihatannya tenang-tenang saja, namun sebenarnya mereka ibarat bom waktu. Bila sudah meledak, mereka mungkin melakukan curanmor (pencurian kendaraan bermotor), curas (pencurian dengan kekerasan) atau perampokan. Itulah kenyataannya. Hadapilah permasalahan sebagai suatu permasalahan. Hendaknya banjir dihadapi sebagai suatu permasalahan, walau mereka yang sudah sering dikunjungi banjir terkesan tidak menganggapnya sebagai permasalahan. Pemerintah hendaknya menanggapinya dengan serius, sebelum banjir memakan korban lebih banyak lagi. Para penebang liar hendaknya diberi hukuman yang cukup berat. Mengingat akibat yang ditimbulkan dari penggundulan hutan memiliki dampak yang cukup serius. Entah berapa hektare sawah yang harus gagal panen? Entah berapa banyak korban yang meninggal menyusulnya bencana banjir. Para penentu kebijakan terkait dengan tata ruang kota juga diberikan sanksi hukum yang cukup berat. Sebab, bukankah mereka turut andil dalam merubah daerah resapan air menjadi bangunan? Mereka sudah tahu berapa luas daerah resapan air yang dibutuhkan ibu kota hingga terhindar dari banjir. Mereka juga dapat belajar dari bencana banjir di tahun-tahun sebelumnya. Bila banjir di tahun 2007 tidak dapat diatasi oleh daerah resapan air seluas 10 hektare misalnya. Tentu daerah resapan air seluas itu tidak usah lagi dikurangi. Banyak permasalahan yang sudah sering kita saksikan, dengar sehingga menjadi terbiasa. Karena terbiasa, kita menjadi tidak peka. Hati seolah menjadi mati, tidak dapat menangkap atau menyadari bahwa hal yang sering kita saksikan dan dengar itu merupakan permasalahan. Palestina contohnya, apakah kita masih menganggapnya sebagai pekerjaan rumah kaum muslimin yang belum diselesaikan? Atau kita sudah menganggapnya hal yang biasa dan bukan merupakan pekerjaan rumah kita? Semoga kita selalu menjadi orang yang peka terhadap permasalahan. Semoga hati kita tetap peka terhadap permasalahan, walau terkesan sebagai sesuatu yang lumrah. Aamiiin.
arnabgaizir.blogspot.com
arnab20.multiply.com



------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga.
(Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)

Kirim email ke