http://nofieiman.com/2008/11/kenapa-harus-qwerty/

 Kenapa Harus QWERTY? <http://nofieiman.com/2008/11/kenapa-harus-qwerty/>

Pernahkah Anda bertanya, mengapa susunan huruf dalam *keyboard* mesin ketik,
komputer, hingga PDA kita berupa “QWERTYUIOP” dan seterusnya? Mengapa tidak
dibuat saja berurutan seperti “ABCDEFGH” dan seterusnya? Mungkin sebagian
dari Anda sudah tahu ceritanya, tetapi kalau-kalau Anda belum tahu bisa saya
tulis di sini.

Konon, *keyboard* tersebut sudah diciptakan sejak tahun 1860an oleh Sholes
dan Dunsmore. Awalnya mereka membuatnya berurutan sesuai abjad. Namun,
lambat laun seiring dengan meningkatnya kemampuan (kebiasaan) *user*,
kecepatan mengetik menjadi lebih cepat padahal mekanisme mesin saat itu
masih sederhana. Akibatnya, (baris) tombol tertentu menjadi sering macet dan
menghambat pekerjaan.

Berdasar pengalaman mereka, akhirnya disusunlah *keyboard* yang sengaja
dipersulit dan dibuat tidak efisien untuk “memperlambat” kecepatan mengetik
agar *keyboard* tidak mudah *jammed*. Desain mesin ketik itu kemudian dijual
ke Remington untuk diproduksi secara massal tahun 1873. Susunannya terbagi
dalam empat baris, baris teratas berupa “23456789-”, baris kedua
“QWE.TYIUOP”, baris ketiga “XDFGHJKLM”, dan baris terbawah “AX&CVBN?;R”.

Seiring berjalannya waktu, teknologi berkembang pesat dan masalah tombol *
keyboard* yang sering macet sudah teratasi dengan desain mekanik yang lebih
baik. Sejumlah desain *keyboard* alternatif juga muncul di pasaran. Salah
satu yang cukup populer adalah Dvorak Simplified Keyboard (DSK) yang dibuat
oleh August Dvorak tahun 1936. Desain itu diklaim merupakan desain yang
lebih efisien, cepat, dan egronomis.

QWERTY sebenarnya punya banyak kelemahan seperti membuat tangan kiri Anda *
overload* terutama ketika menulis dalam bahasa Inggris (hal serupa saya
rasakan ketika menulis dalam bahasa Indonesia). QWERTY juga membuat
kelingking Anda *overload*. Penelitian menunjukkan bahwa distribusi huruf
tidak merata sehingga jari Anda harus menyeberang dari baris ke baris—-bila
dihitung jari tukang ketik tipikal akan berjalan lebih dari 20 mil per hari
dibandingkan dengan DSK yang hanya 1 mil.

Sayangnya, orang tetap ogah berpaling dari desain “QWERTY” kendati desain
tersebut bukan merupakan desain yang terbaik. Sekalipun teknologi sudah bisa
mengatasi problem tombol yang nge-*jam*, orang tetap bertahan dengan desain
“QWERTY” bukannya desain lain yang lebih superior. Alih-alih, QWERTY malah
dinobatkan menjadi standar internasional di tahun 1966.

Hal yang sama juga terjadi di Microsoft Windows. Kita tentu tahu bahwa
Windows bukanlah sistem operasi terbaik, entah itu dari segi keamanan,
kemudahan, kinerja, sampai soal keindahan. Namun, karena penetrasi pasar
Windows sudah begitu deras, orang mulai terbiasa menggunakan Windows dan
sistem operasi tersebut menjadi terstandardisasi.

Apakah tidak ada yang lebih baik dari Windows? Tentu saja tidak. Namun orang
perlu pikir-pikir beberapa kali sebelum berpaling dari standar tersebut.
Mereka harus menghadapi *barrier* seperti faktor biaya, isu kompatibilitas,
proses pembelajaran, faktor waktu, dan masih banyak lagi. Akibatnya jumlah
mereka yang setia jauh lebih besar daripada yang murtad. Inilah yang
menjadikan Windows atau QWERTY kemudian menjadi standar—-kendati mereka
bukan yang terbaik.

Dalam dunia ilmiah, fenomena ini dijelaskan sebagai konsep *path dependency*dan
*network externality*. Intinya, inovasi tidak menghasilkan *outcome* yang *out
of the blue*, tetapi merupakan perkembangan yang bisa diprediksi dari yang
sudah-sudah. Selain itu, *value* dari inovasi tersebut akan makin tinggi
bila digunakan oleh makin banyak orang. Pada tahap tertentu, inovasi
tersebut akan menjadi standar yang digunakan oleh umum.

Menariknya, hal ini tak cuma berlaku di bidang teknologi saja. Dalam
hal *social
construction*, konsep *dependency* dan *externality* ini malah lebih luas
aplikasinya. Para sosiolog, ekonom, hingga sejarawan tahu pasti bahwa para
aktor dan agen perubahan memegang peranan penting dalam hal pembentukan path
ini. Jangan sampai di kemudian hari jalur yang diambil adalah jalur yang
salah—-seperti “kesalahan” dalam memilih QWERTY yang inferior atau Microsoft
Windows yang banyak kelemahan.

Repotnya, di negara kita pola yang terbentuk malah lebih dekat kepada
efek-efek destruktif. Kehidupan hedonis diekspos habis-habisan di sinetron
hingga kita tak sadar merasa bahwa kehidupan semacam itulah standar hidup
yang umum. Kasus pembunuhan dan mutilasi juga dipaparkan detil sehingga
orang terbius bahwa pembunuhan adalah sesuatu yang lumrah. Lebih parah lagi,
KKN sekarang sudah menjadi wajar (bahkan wajib) dalam hal berpolitik atau
berbisnis.

Kita tentu tahu bahwa hidup boros dan bermewah-mewah bukanlah pilihan yang
bijaksana—-sekalipun kita punya uang cukup untuk mewujudkannya. Kita juga
tentu tahu bahwa kawin cerai bukan sesuatu yang baik. Kita juga tentu tahu
bahwa segala bentuk penganiayaan bukanlah tontonan yang layak dikonsumsi
umum. Soal sogok-menyogok dan pelicin, tentu kita sepakat bahwa bukan itu
yang kita harapkan. Namun kalau hal yang demikian dibiarkan begitu saja,
bukan tidak mungkin kemudharatan semacam itu kelak menjadi “standar” yang
umum.

Saat ini efeknya mungkin belum begitu terasa. Tapi saya sama sekali tidak
bisa membayangkan apa yang akan terjadi di masa anak cucu kita nanti.

Bagaimana menurut Anda?

Kirim email ke