Karena di email sebelumnya disinggung soal bencana di Sumbar, saya jadi 
kepikiran sesuatu.
   
  Pada tahun 2003, saya mengikuti seminar di Jurusan T. Sipil ITB, Bandung. 
Salah seorang pembicara adalah peneliti bidang Geologi (ambo lupo pulo namo 
beliau tuh...) mengatakan bahwa dia sudah beberapa tahun terakhir melakukan 
penelitian di Kep. Mentawai, dan menyimpulkan bahwa patahan subduksi di 
mentawai sudah memasuki masa "matang", alias berpotensi terjadi gempa besar di 
waktu dekat. Saya ingat sekali ketika dia bilang : "hati2 untuk anda yang 
tinggal di pesisir pantai Sumatera Barat, karena gempa besar ini berpotensi 
menimbulkan tsunami.."
   
  Waktu itu saya berpikir : "ah, paling2 gempa seperti yang biasa terjadi 
sebelumnya. tsunami? masa sih?"
   
  Tahun 2004, ternyata the big one itu terjadi di Aceh, dan kita sama2 sudah 
tahu dampaknya.
   
  Gempa Aceh ternyata diikuti oleh gempa Nias, Mentawai (10 April 2005, 6.7 
Mw). Setelah itu kekhawatiran mulai terjadi di Sumbar : akankah the next big 
one itu mungkin terjadi di Sumbar?
   
  Setelah gempa bulan April 2005, beberapa orang (yang konon katonyo pakar 
alias ahli.. tapi alun jaleh sia nan berhak ma agiah gelar ahli tsb) sering 
diundang untuk sosialisasi masalah kegempaan oleh Pemda Sumbar. Saat itu 
pendapat para ahli terbagi 2 :
   
  - ada yang berpendapat ancaman gempa dari patahan di laut barat sumatera 
sudah "habis", karena sudah mengeluarkan energi yang besar pada April 2005. 
Yang lebih harus diwaspadai adalah patahan di tengah pulau Sumatera, karena 
patahan ini sudah lama tidak terjadi gempa/ energinya masih tertahan.
   
  - ada yang berpendapat patahan di laut barat sumatera belum maksimal 
mengeluarkan energinya.malah gempa April 2005 hanyalah semacam intro saja..
   
  mana yang benar? Wallahu alam.. kalau ambo berharap duo2nyo salah, dan 
bencana gempa indak ado lai..
   
  Pendapat pertama seperti mendapat justifikasi ketika terjadi gempa 6 Maret 
2007 yang berpusat di darat (segmen singkarak, 6.4 Mw), seolah2 benar bahwa 
bahaya selanjutnya adalah patahan di darat, sementara yang di laut sudah aman.
   
  Namun Gempa Bengkulu (7.9 SR) dan Mentawai (7.6 SR) barusan mementalkan 
pendapat pertama.. Jangan2 yang benar adalah pendapat kedua? Salah seorang ahli 
dari luar negeri, Prof. Kerry Sieh (beliau adalah pembimbing Dr. Danni Hilman 
Natawidjaja, ahli kegempaan Indonesia yang naik daun sejak gempa Aceh.) 
berkomentar  (maaf, daripado ambo salah man-translate, labiah rancak ambo kutip 
sadonyo dalam bahasa Inggris) :
   
    From BBC.co.UK :
    Prof Kerry Sieh is using a GPS network to monitor land movements close to 
the great fault line that ruptured to produce last December’s disaster. His 
work indicates there is still huge strain bound up in the fault, and that this 
could let go in the near future. He believes the cities of Padang and Bengkulu 
may be at greatest risk. “The time is now to start mitigating for such an 
event,” said Kerry Sieh, who is attached to the California Institute of 
Technology’s Tectonics Observatory. “I don’t know with certainty that it’s 
going to happen but our team is telling people on the coast that they have to 
expect that this will happen in the lifetime of their children.”

   
  Dalam wawancara dengan Metro TV bbrp hari yl, seorang peneliti dari BPPT 
(atau LIPI? ambo lupo.. namonyo pun ambo indak takana lai..) mengatakan bahwa 
mereka belum menganalisis apakah masih ada ancaman gempa besar, atau mayoritas 
energinya sudah terlepas dengan gempa kemaren sehingga ancaman sudah berkurang..
   
  Tidak seorang pun berharap the next big one bakal terjadi di Sumbar, tapi 
tidak ada salahnya kita mempertanyakan : "Bagaimana kalau benar2 terjadi?" 
tentu saja pertanyaan ini dilontarkan dalam konteks mitigasi bencana, bukan 
untuk menakut-nakuti.
   
  Bencana adalah takdir Allah, tidak ada yang bisa menghalanginya.. Tapi 
manusia bisa melakukan mitigasi sehingga efek dari bencana itu bisa 
diminimalkan.
   
  Sudah banyak hal yang dilakukan pemerintah :
  - ada peta jalur pengungsian
  - ada warning tsunami dari BMG yang di-relay stasiun TV jika terjadi gempa 
besar
   
  Namun sepertinya peran serta masyarakat dalam mitigasi ini masih belum 
banyak..
  Saya pribadi hanya bisa berkontribusi sedikit sekali : beberapa bulan yang 
lalu saya memesan banyak poster panduan konstruksi rumah tahan gempa, yang 
dibuat oleh p Teddy Boen (salah seorang peneliti senior struktur tahan gempa di 
Indonesia) dan mengirimkannya ke Padang untuk kemudian disebarkan, paling tidak 
di lingkungan RT sendiri dulu..
   
  Di sini saya mengajak teman2 semua untuk membantu mitigasi ini.. Mungkin hal 
paling sederhana adalah memastikan apakah rumah kita sudah memenuhi standar 
rumah tahan gempa. (kalo tahan tsunami belum ada).
   
  Ibaratnya, kalau kita punya mobil, maka sebelum memulai perjalanan jauh kita 
akan mengecek semuanya : bensin, rem, kopling, oli, dll, untuk setidaknya 
meyakinkan bahwa usaha kita sebagai manusia untuk menghindari kecelakaan sudah 
maksimal. Kalau sudah dicek, dan kemudian terjadi kecelakaan, maka itulah 
namanya takdir yang tidak bisa dilawan.. Tetapi kalau kita tidak mengecek 
kondisi mobil, dan mengalami kecelakaan karena ternyata remnya blong, maka itu 
namanya kelalaian. 
   
  Saya sekarang  memesan lagi beberapa poster tsb., mudah2an proses 
percetakannya tidak lama, dan kalau ada yang berminat saya akan kirimkan (for 
free alias gratis, saya bukan mau jualan)..
   
  Atau kalau ada teman2 yang punya usul bentuk partisipasi  yang lebih 
bermanfaat, mungkin lebih membantu ketimbang sekedar poster, silahkan di 
sharing di sini..
   
   
  warm regards
  -Rp- ==> Robby Permata, lulus SMA 1 tahun 1997.
   
   
   
   
  Potensi Tsunami Indonesia Kian Meninggi 
      
  YOGYAKARTA-- MIOL: Potensi terjadinya gempa dan tsunami di sejumlah pantai 
Indonesia akan terus meningkat. Hal ini dikarenakan beberapa titik rawan 
tsunami memasuki periode ulang.
  "Masalahnya lebih serius karena periode-periode yang berbeda baik yang 
rentang waktunya puluhan atau ratusan tahun akan jatuh dalam waktu yang hampir 
berdekatan," kata Rahman Hidayat, peneliti tsunami di Balai Pengkajian Dinamika 
Pantai (BPDP), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di Yogyakarta, 
Jumat (21/9).
  Rahman mengatakan, saat penelitian tentang tsunami beberapa waktu lalu, Lorry 
Dongler, peneliti tsunami dari Humbold University USA juga telah mengingatkan 
hal itu. "Waktu itu dia mengingatkan Indonesia akan memasuki masa panen gempa 
dan tsunami," kata Rahman lagi.
  Hal ini juga ditunjukan dengan semakin dekatnya jarak antara satu tsunami 
dengan tsunami yang lain dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, tsunami di 
Indonesia rata-rata terjadi setiap 2,4 tahun sekali. Namun dalam beberapa tahun 
terakhir, kejadian ini berlangsung tiap tahun.
  Rahman menambahkan, salah satu titik yang harus diwaspadai adalah kawasan 
Pantai barat daya Sumatra, khususnya daerah Mentawai. Di garis ini, terdapat 
dua titik gempa yang sudah memasuki masa ulang yakni yang terjadi pada 1797 dan 
1833 dengan periode tenggang antarra 200-240 tahun.
  Sejak lima tahun terakhir BPDP dan University of Southtern California (USC) 
serta beberapa lemabga riset dunia lainya memberikan perhatian serius terhadap 
kemungkinanterjadin ya gempa besar yang berpusat di lepas pantai barat daya 
Sumatera ini. Berdasarkan paleoseismic, gempa besar di wilayah ini pernah 
terjadi pada 1797 dan 1988
  dengan moment magnitude (Mw) berkisar antara 8,4-8,9.
  "Tetapi ternyata yang terjadi di Bengkulu yang jaraknya sekitar 200 km 
sebelah utara titik yang kita waspadai. Dan gempa besar yang terjadi kemarin 
bisa jadi menjadi pemicu gempa di titik ini," katanya.
  Selain Mentawai, daerah lain yang juga perlu diwaspadai adalah daerah 
Banggai, Sulawasi Selatan yang juga punya sejarah gempa dan tsunami besar. 
Daerah sepanjang Pacitan hingga Banyuwangi juga menjadi titik rawan.
  Menghadapi situasi seperti ini, mau tidak mau mitigasi bencana tsunami 
menjadi hal yang harus dilakukan. Selain penataan pantai, masyarakat harus 
terus diberi pendidikan menghadapi bencana.
  Suranto, peneliti BLDP yang lain mengatakan, berdasarkan penelitian yang 
dilakukan pihaknya di sejumlah pantai di Bengkulu menunjukan masih rendahnya 
tingkat kesadaran masyarakat terhadap bencana tsunami. Hal ini ditandai dengan 
berdirinya bangunan yang sangat dekat dengan bibir pantai.
  "Selain itu cara masyarakat menghindar dari tsunami juga masih belum tepat. 
Ini sangat berbahaya," kata Suranto. (AZ/OL-1)


       
---------------------------------
Yahoo! oneSearch: Finally,  mobile search that gives answers, not web links. 

Kirim email ke