KISAH DI BALIK LAYAR AAC I
Sutradara      : Hanung Bramantiyo 
Tayang Perdana : 19 Desember 2007

Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama.
Itulah kenapa ibuku dulu berpesan kalau kamu sudah bisa
membuat film, buatlah film tentang agamamu: Islam.
Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku.
Senyum yang menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film
agama tidak lebih dari sekedar petuah-petuah yang
membosankan. Lelaki berpeci dengan baju koko, bertasbih,
kadang berewokan, mulutnya nerocos soal ayat dengan cara
menghadap kamera. Membuat dirinya tampak suci dengan
mengumbar ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang olehku
sebuah film agama.

Aku terjun membuat film Cinta:
Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ...
Tapi aku tetap yakin bahwa suatu saat akan datang masa aku
membuat film tentang agama. Alhamdulillah, benar. MD
Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat Cinta (AAC).

'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku
'Sederhana. Pertama, Ini film dari Novel bestseller.
Kedua, penduduk indonesia 80 persen muslim. Kenapa saya
tidak membuat film tentang mereka? Kalau saya minta 1
persen dari 80 persen masak tidak bisa.' 
1% dari 80% penduduk muslim Indonesia berarti sekitar 2
juta penonton. dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti
pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet produksinya 10
milyar, keuntungan yang didapat 10 milyar. 

Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset.
Wallohu akbar... Aku melihat islam dari dekat sekali.
Sangat dekat. Di Kairo, aku menatap Menara Azhar, aku
menyentuh dinding dan lantai Azhar university, aku mencium
bau apek baju-baju dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi
memiliki roman muka bersih dan santun. Aku melihat
keikhlasan mereka saat bersujud diatas sajadah buluk.
Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin hawa
Kairo, tetapi dibalik bibir pecah itu terlantun dzikir
panjang menyebut: Alloh... Alloh... 
Lalu aku melihat seorang syaih duduk bersila dihadapan
murid-muridnya. 'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku
mendengar seorang melantunkan ayat-ayat Al quran di sudut
masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan
bacaan novel.

Allohu Akbar ...Allohu Akbar. Inikah caramu membuatku
dekat dengan agamaku, Ibu? Darahku menggelora membuat
mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam sangat
eksotis. Tapi orang-orang islam seperti tidak mengerti
semua itu. Orang-orang Islam di Jakarta lebih memilih
jalan-jalan ke eropa daripada ke Kairo.  'Saya akan
membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke
producer. 

Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku
baca buku-buku tentang Fiqih dan sunnah. Aku libatkan
mahasiswa Al Azhar untuk mendampingiku. Aku sangat
hati-hati sekali melakukan ini agar apa yang tertulis
dalam novel dengan indah pula tersampaikan lewat gambar.

Sebuah film yang lembut, yang indah, yang suci tergambar
di depan mataku dan aku yakin sekali bisa mewujudkannya.
Namun semua impianku itu tidak begitu saja mudah
diwujudkan. Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC
tersebar, halangan pertama datang justru dari pembaca.
Diantara banyak yang berharap, mereka juga menyangsikan,
sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah,
sayang sekali novel sebagus ini akan difilmkan. Jadi ill
Feel, deh'. ada juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat
Novel yang di filmkan hasilnya bagus, sekalipun Harry
Potter. Apalagi ini.' 

Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan hati-hati
sekali. Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya
semata-mata ganteng dan 'menjual'. Karena itu kami
menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai
penasehat kami. Sebelum aku melakukan casting, aku
berdiskusi dulu dengan kang Abik. Kang abik sangat concern
dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih tokoh
Fahri. Semula kami membuka casting di pesantren-pesantren.
Tetapi hasilnya Nol. Bukan berarti para santri tidak ada
yang ganteng dan pintar seperti fahri. Tetapi banyak
diantara mereka sudah menganggap 'Film' adalah produk
sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara mereka tidak mau
ikut casting. Saya pernah membaca satu hadist, jangankan
membuat film, menggambar manusia saja hukumnya Haram.
Nanti di Neraka hasil gambar yang kita buat harus kita
hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk
kita dengan cambuk api. 

Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut
casting adalah pemain-pemain terkenal. Tapi diantara
mereka banyak terjebak pada tuntutan atas 'Kesucian
Fahri'.  Lalu ditengah keputusasaan kami datang seorang
lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa
dirinya ganteng). Sering kita lihat di Mal-Mal, banyak
lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya ganteng. Tetapi
lelaki ini tidak . Dia sangat santun. Bahasanya pun
santun. Ketika berucap Alloh, dia agak-agak canggung.
Bahkan tidak fasih seperti ustadz. Pada saat dia sholat
aku melihat gerakannya jauh dari sempurna. Tetapi lelaki
itu punya mata yang didalamnya mengandung semangat
belajar. Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang
Abik. Terjadi tarik ulur dan perdebatan panjang.

Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang main sebagai
Fahri. Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi
yang membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa
dirinya tidak sempurna. Keputusan Fedi Nuril sebagai Fahri
pun mengundang banyak kesangsian di kalangan pembaca
fanatik AAC, terutama di Malaysia. Karena film Fedi Nuril
sebelumnya menampilkan Fedi ciuman dengan perempuan bukan
muhrim. Fedi pun mengakui itu. Yang membuat aku terharu,
Fedi menganggap film AAC sebagai media dia buat dekat
dengan Islam. Belajar kembali tentang Islam.

Karena film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku
tentang Islam. Bahkan Fedi menyadari segala tingkah
lakunya yang tidak Islami selama ini setelah memerankan
Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang
begitu besar mempengaruhi keimanan seseorang.
Terima kasih kang abik.
terima kasih Ibu. 

Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami
bersepakat untuk mencari pemain Mesir. Tetapi setelah kami
melakukan riset disana, sangat mengagetkan.
Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari umurnya.

Aku mengcasting seorang perempuan mesir bernama Roughda
untuk berperan sebagai Aisha. Tidak hanya cantik, tetapi
mainnya luar biasa. Tetapi setelah di sejajarkan dengan
Fahri, terlihat Roughda lebih pas sebagai kakaknya
daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun
dari Fedi Nuril. Lalu kami mencari pemain dengan umur 8
tahun lebih muda dari Fedi. Pada saat kami sejajarkan,
sangat pas. Tetapi disaat dia berdialog tentang
perkawinan, tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak
tampak. Alias belum matang. Kami bingung dan akhirnya kami
sepakat untuk mencari pemain indonesia saja. 
 
Tidak gampang mencari pemain indonesia yang cantik
sekaligus solihah. Pak Din Syamsudin berpesan kalau bisa
pemain Aisha kesehariannya berjilbab. Lihatlah siapa artis
kita yang bertampang Bule yang seperti itu. Hanya Zaskia
Meca saja yang berjilbab dan cantik. Selebihnya tidak ada.
Sementara itu Zascia tidak bertampang bule. Dia sangat
sunda. Pernah kita meng casting Nadine Candrawinata. Dia
sangat cantik dan bermain bagus. sangat cocok pula
berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim.
Padahal Nadine sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim.

Aku pernah berdiskusi panjang dengan kang abik soal itu.
Aku bilang padanya ... 'Suatu hal yang unik, ketika tokoh
Maria yang kristen dimainkan oleh seorang muslim,
sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang
kristen. Ini akan memperlihatkan sikap toleransi dan
demokratisasi dalam Islam seperti di India.' 

Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk
jangan bertaruh terlalu besar di film ini. Masyarakat
Islam di Indonesia berbeda dengan India. Di India,
masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat
kedewasaan dalam toleransi, sementara di Indonesia belum.
Akhirnya dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan Carrisa Putri
sebagai Maria. Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa arab
secara privat untuk mendalami kehidupan Muslim di kairo.
Mereka sangat antusias. Namun antusiasme itu harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya
kesibukan lainnya. Ryanti sebagai VJ di MTV dan Carrisa
bermain sinetron. Ryanti yang bagiku sangat keteter ketika
berperan sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang memiliki
beban berat. Sementara Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu
tampak riang dan ringan. Sering sekali benturan itu
membuat proses pendalaman karakter tidak sempurna. Aku
frustasi sendiri. Tetapi aku ingat, bahwa di Film ini
kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan
keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan
sebaliknya: Ringan, Riang, Hedonistik dan Pop. Apalagi
ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat
kenyataan penonton Film Indonesia banyak di dominasi
anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak menyukai hal-hal
bersifat perenungan. Dia lantas ingin mengubah karakterr
film AAC menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai...

Tuhanku! Tuhanku!
selamatkan film ini ... 
Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika
meminta adegan Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat
penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan yang bersifat
perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan
menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari seorang
penghuni penjara yang absurd (dalam novel digambarkan
sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf),
Tetapi di Film saya adaptasi sebagai sosok imajinatif,
bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih
dan suara yang sangat tajam melafatskan kebenaran. Semua
adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi dan lebih
mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun Kuch Kuch
Hotahai... 

Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!! 
begitulah yang aku dapatkan di film ini. Film ini tidak
hanya mampu merobah pandanganku tentang Film. Film ini
mampu dan sudah merobah pandangan hidupku: tentang agama,
kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan... cinta.
Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku
yang sudah memberikan aku jalan menuju kedewasaan.

Berkali-kali aku berucap terima kasih kepada Kang Abik
yang sudah secara tak langsung mempercayaiku menyutradarai
film ini, dimana telah membuatku kembali merasa dekat
dengan Islam yang indah, bersahaja dan penuh dengan
toleransi. Dan terakhir, berkali-kali aku berucap syukur
kepada Ibuku yang telah berpesan untuk membuat film
tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau berpesan
begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk membuatku selalu
dekat dengan Islam ... 
La haula wa kuwwata illa billahi ... 

Oleh : Hanung Bramantiyo 

--------------------------------------
Easy + Joy + Powerful = Yahoo! Bookmarks x Toolbar
http://pr.mail.yahoo.co.jp/toolbar/


Hemat bandwith. Hapus pesan yang tidak perlu. Subscribe milis: [EMAIL 
PROTECTED] Unsubscribe milis: [EMAIL PROTECTED] 
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/kasma1/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/kasma1/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke