"risfano" <[EMAIL PROTECTED]>  wrote :
  “....Wah, maaf ngelantur dan panjang lagi....”.
   
  Pak Risfan.....trims lho atas postingnya....
  Tolong minggu depan "ngelanturnya" disambung lagi yang lebih panjang ya 
pak?.....
  Karena posting anda ini boleh dibilang lebih berupa otokritik yang keluar 
dari masyarakat intelektual planning sendiri .... paling nggak khan  masyarakat 
 planning sendiri  sambil nyengir-nyengir kuda terpaksa harus menelan kenyataan 
itu.....lain halnya kalo yang ngomong orang luar ... menerima kagak... sakit 
hati dan marah pasti  iya....hehe..
  Bagaimanapun juga posting anda ini menjadi referensi pedoman saya untuk untuk 
ngegodain dan mengusilin masyarakat planning lebih jauh nanti...... maka 
semakin anda “ngelantur” lebih jauh ... itu akan semakin baik  ... karena akan 
semakin tebel saja nanti bekal referensi saya .....hehe..
  Tetapi bicara tentang masalah vokalitas .... mendukung pendapat bu Arini 
....” ngapain hanya ramai di antara sesama...publik pun perlu dan harus 
tahu....”......... tentu memang  saya pikir .. planner yang sudah tidak lagi 
worry atau kewalahan dengan urusan nyari rejeki (kecuali  yang  memang lapar 
terus dan tak  pernah merasa cukup)....... memang akan mulia kalo mau 
menjalankan peran vokalitas itu......
  Sependapat dengan pak Wawo .. saya  pikir memang  vokalitas tidak harus 
diartikan sebagai sekedar asalkan raising voice volume ataupun sekedar 
increasing voice frequency saja .... tetapi penting untuk  meningkatkan  
vokalitas model dewa  Wisynu sepeti kata pak Wawo.... dimana yang diutamakan 
adalah meningkatkan  suggesting wisdom ... dan tentu saja tidak harus  orally 
saja ... namun juga seperti kata pak Risfan .... Ajakan ini bisa dijawab: ya 
nulis saja..... Dan ajakan vokal  memang tidak harus selalu diartikan sebagai  
"keras", tapi dalam keadaan damai "social marketing" bisa jadi alternatif.. 
katanya....... dan saya pikir ....suggestion yang tepat akan manjur 
hasilnya.... sebaliknya suggestion yang tidak pas akan berbalik menuai 
kritik........
  Seperti diceritakan dalam pengalaman bu Arini dalam 2 pengalaman berbeda  
bahwa planologi tidak  banyak dikenal oleh masyarakat... bahkan oleh masyarakat 
intelektual sekalipun  dikira planologi adalah “planologi kehutanan” atau  
“plant—ologi”)......
  Atau dari pengalaman  pak Risfan atau dari kita sendiri  tatkala  banyak 
kalangan masyarakat (bahkan intelektual)  juga merasa asing dengan pengertian 
“ruang”.... dimana menurut mas Marco K masyarakat lebih mengenal “rumah” yang 
pengertiannya lebih konkrit dibanding dengan ”ruang”  yang lebih “abstrak”......
  Kalaupun pada akhirnya masyarakat luas jadi mengerti  bahwa planologi atau 
planning lebih berupa makna dari “perencanaan kota” dan “perencanaan  
pembangunan daerah/ wilayah”..... masalahnya  juga tidak lalu  akan selesai 
disitu...... 
  Atau malah... dapat kita katakan.... justru disitulah barulah  “pekerjaan” 
socializing justru baru akan dimulai....... karena disitulah supposed  kita 
baru  akan memulai  ”berdakwah” atau berdebat  tentang manfaat (mulia) dari  
planologi itu apa untuk / dalam pembangunan nasional......
  Bahwa masyarakat planologi sendiri adalah plural ..... dimulai dari student 
.... graduate dan post graduate.... universitas... lembaga pemerintah... 
konsultan.. freelancer... outside of direct planning profession... dsb....
  Atau kalau boleh disebut pluralitas itu dari sisi pandang lain .......seperti 
(a) mereka yang masih risau dengan masalah  kaitan urusan planologi dan asap 
dapur serta masa depan... sehingga belum sempat banyak  berpikir tentang 
“planologi dan pembangunan”... (b) mereka yang menginginkan planologi 
benar-benar seumur-umur hanya sebagai ladang profesi dan tak berminat 
memikirkan idealisme lainnya... (c) mereka yang memang tidak akrab dengan 
tradisi “berjuang” atau “berkegiatan sosial”.... (d) mereka yang telah demikian 
amat sangat sibuknya dengan jabatannya yang amat tinggi ... sehingga tak ada 
lagi waktu ... (e) mereka yang masih berpikir idealisme planning dalam 
pembangunan... (f) dsb.... 
  Atau “kendala lain” dari socializing planology   dari sudut pandang lain 
lagi.... seperti (a)... mau berjuang atau do socializing planology to 
development authorities and people.... tetapi interpretasinya  sendiri tentang 
planologi dan pembangunan masih belum  pas .. maka gagal alias tidak manjur.... 
atau malah planologi balik dikecam.... (b).. planning suggestion itu baik dan 
benar .... tetapi tidak memiliki pressure yang cukup .. karena otoritas 
pembangunan yang umumnya berada diranah politik ... disana tidak lagi banyak 
diperlukan “salah atau benar” .. tetapi lebih penting disana adalah “bargaining 
or pressuring power”..... maka seperti yang dimaksudkan oleh pak Jahja 
Hanafie.... planner maka perlu berpolitik... dan tentu perlu "menggalang masa" 
segala untuk lengkapnya...  (c) dsb....   
  Nah.... ternyata untuk  really being vocal as what bu Arini mean ternyata 
tidak sesederhana itu memang .....
  Tapi wah... ini seperti ngelantur juga ..... dan sebaiknya perlu segera 
diakhiri disini saja dulu ...hehe....
  Sementara untuk pak Wawo saya lagi nggak berani ngegodain dulu .... alasannya 
pertama ini  menyangkut the late beloved  bu Arini dimana  saya merasakan 
however there still should be bitterness in pak Wawo’s  memory... dan kedua ... 
dari lemon tea ganti ke lemon grass (sereh)... saya pikir kalo untuk guyonan 
“grass” .. stock saya sepertinya  baru hanya “the greener grass out of the 
fence”  dan  “lawyer and  grass eater” saja..... belum ada lainnya.... tapi 
besok-besok pasti saya godain lagi tuh  pak Wawo ....hehe...
     
  Salam,
  Aby
   
  
  "Hannie Waworoentoe" <[EMAIL PROTECTED]>  wrote :
   
  "....Arini mungkin heran mengapa saya terharu, 
  yah kebetulan sudah hampir lima tahun lalu saya telah kehilangan partner saya 
yang juga bernama Arini,  
  but such is the bitter and sweetness of life setelah lemon tea  try some 
lemon grass (sereh)
  atau tamarind yah asam jawa yang gulanya sih harus gula aren,
  tuh Hengky kalau mau goda lagi, 
  salam Pak Wawo


risfano <[EMAIL PROTECTED]> wrote:             Pak Wawo, Mbak Arini, Pak 
Hengky, dan rekans,
  
  Selain "silence is golden" barangkali lagu lain yang juga enak didengar 
"sound of silence". Pesannya, mendengar memang lebih sulit.
   
  Wah, Pak Wawo, waktu baca nama mbak Arini, saya jadi terkenang pada Bu Arini 
Waworoentoe. Pak Wawo, kalau boleh bernostalgia. Ada "kenangan terindah," waktu 
kuliah Kimia Dasar, karena siang yang panas, telat, kebagian duduk dikursi 
terdepan. Dan, kantuk tak tertahan. Akibatnya 'kena pukul gulungan kertas' 
beliau. 
  
  Anyway. membaca posting mbak Arini yang mengajak agar "keplanologian" lebih 
vokal, tergelitik saya untuk urun posting. Ajakan ini bisa dijawab: ya nulis 
saja. Ajakan vokal bisa diartikan "keras", tapi mungkin dalam keadaan damai 
"social marketing" bisa jadi alternatif. Memang sedih, punya profesi yang 
cakupan analisisnya luas kok tidak "terlibat atau dilibatkan" dalam wacana 
publik. Persoalannya kemudian pemilihan tema.
  
  Kata Shakespeare, What's in a name? Colenak walau diganti namanya, dicocol 
tetap enak. Mungkin itu untuk dunia hakikat, tidak untuk marketing.
  
  Contohnya kata "perencana". Kadang terpikir untuk bertanya, saya ini 
"perencana" atau "ahli tata ruang" atau "perencana kota" atau "ahli perkotaan". 
Berdasar pengalaman, brand "perencana" ya disambut oleh khalayak dengan 
labelling sebagai perencana. Otomatis saya memposisikan dan orang menempatkan 
saya kesisi perencanaan. Tidak bicara pelaksanaan. Ini beda misalnya dengan 
"insinyur sipil" atau "ahli keuangan" atau "ahli manajemen" yang dianggap wajar 
berkecimpung di bagian perencanaan, pelaksanaan, atau pengawasan.
  
  Kedua, kata "tata ruang". Harus diakui ini memang bukan kata yang langsung 
menyentuh kebutuhan (hak) dasar masyarakat yang mereka rasakan sehari-hari. 
Beda dengan kata pendidikan, kesehatan, ekonomi (harga pangan, lapangan kerja). 
Sedikit tidak langsung dengan kebutuhan masyarakat adalah kata "lingkungan 
hidup", juga "perhubungan", karena masih bisa dirasakan. Tapi "tata ruang"? 
Orang masih lebih familiar dengan kata "pembangunan daerah", atau "perkotaan." 
  Karenanya, beberapa waktu yang lalu saya usulkan familiarisasi kata 
"perencana kota", "perencana daerah". Atau bahkan "ahli pekotaan", "ahli 
pembangunan daerah." Tak berlebihan kan, karena nama sekolahnya "Perencanaan 
Wilayah & Kota" (Urban & Regional Planning, bukan Urban Spatial Planning). Di 
CV tertulis urban planner, tapi kalau di-Indonesia-kan jadi "perencana tata 
ruang kota". (Note: saya maksudkan ini diskusi profesi keplanologian, bukan 
membahas nama Ditjen, atau Dit tertentu - mereka tentunya lingkupnya jelas, 
tapi sebuah profesi kan bukan untuk melayani satu Ditjen/Dit - yang begitu 
namanya diklat departemen).
  
  Mungkin akan lain kalau positioning, lalu branding-nya adalah "perencana 
wilayah" atau "perencana kota" atau "ahli perkotaan".  Isyu perkotaan, 
pembangunan daerah muncul tiap hari jadi pembicaraan publik, baik dari aspek 
lingkungan hidup, transportasi, ekonomi, pariwisata, persampahan, prasarana. 
Dan, kita semua bisa bicara karena di sekolah "perencanaan wilayah dan kota" 
kita pelajari aspek-aspek itu. Sementara kalau Arini mencari kata "tata ruang" 
di media publik, memang belum tentu seminggu sekali muncul.
  
  Menurut saya kata "tata ruang" (persepsi saya) membawa asosiasi kepada 
hal-hal yang teknis, di studio, di kantor Bappeda, Dinas Tata Ruang. Beda 
dengan kata "lingkungan hidup", lebih dirasakan keterlibatan masyarakat nya. 
Dengan membuang sampah pada tempatnya, memisahkan plastiknya, orang sudah 
merasa berpartisipasi menyelamatkan "lingkungan hidup". Kalau mereka batuk 
sedikit, pilek itu urusan "kesehatan". Anak bayar sekolah plus pungutan, itu 
urusan "pendidikan". Jadi mudah sekali menghadirkan hal itu ke kehidupan 
sehari-hari. Begitu pula kata "hemat energi" yang sedang dirasakan lonjakan 
harganya oleh semua orang. Tapi kata "tata ruang" ke ibu-ibu rumah tangga? Is 
it ring a bell?
  
  Saya berani bicara begini karena,  sekali lagi nama sekolahnya resminya masih 
PWK, bukan PTR. Di dunia namanya juga URP, TCP. Jadi rezim dan persepsi 
aktornya saja membatasi diri mem-frame mind-set anggotanya pada term "tata 
ruang."
  
  Mungkin positioning atau branding itu pada suatu masanya menguntungkan. 
Pangsa pasar luas. Masa itu wilayah nasional, provinsi, kabupaten, kota belum 
punya rencana tata ruang. Tapi pasar kan dinamis, berubah. Hampir semua daerah 
saat ini sudah punya RTR, tinggal pelaksanaan dan pengisian dengan komponen 
sektoralnya.
  
  Saya pikir kelompok bidang keahlian transportasi, manajemen perkotaan, 
pariwisata, kelautan (pesisir) dan lainnya, di kampus dan di dunia kerja telah 
berkembang sesuai kebutuhan masyarakat. Banyak planolog kerja disitu. So, ada 
baiknya mind-set planolog digeser, diperluas. Dari positioning/branding  di 
"tata ruang" kepada PWK (khittah asalnya), atau yang minatnya sudah 
terspesialisasi dan terdiferensiasi bisa memposisikan diri menjadi ahli 
manajemen perkotaan, ahli (perencana) transportasi, ahli pariwisata, dst.
  
  Positioning kita sebagai perencana "tata ruang" atau perencana fisik juga ada 
limitasinya. Planolog bukan pemain tunggal, karena ada arsitek, urban designer, 
yang lebih fisik, lebih detail, (dan lebih kuat brand image-nya disitu). Jadi 
posisitioning sebagai "perencana fisik" tidak serta membuat planolog kokoh 
sebagai 'tuan di negeri sendiri' juga. Di lapangan planolog malah lebih kuat 
dari arsitek pada proyek-proyek pembangunan daerah, kota, perdesaan yang 
bertitik-berat pada 'manajemen pembangunan', yang memainkan adonan 
"sosial-ekonomi-fisik". Sementara dunia real-estate memang domain 
arsitek/urban-designer. Kalau planolog ke situ, memang ada satu-dua yang sukses 
(di manajemen?), tapi umumnya ya di pinggiran saja.
  
  Demikianlah, sebelum vokal, promoting, ada baiknya terlebih dulu melakukan 
lagi segmentasi pasar, lalu targeting pasar-pasar mana, isyu-isyu mana yang mau 
dibidik. Gampangnya diidentifikasi saja kemana sebaran para alumni bekerja,dan 
apa yang mereka kerjakan. Planning kah? Tata ruang-kah? (Tentu perlu dibatasi 
yang masih dalam lingkup "pembangunan", "kota" atau "wilayah" atau "perdesaan")
  
  Lalu lakukan repositioning. Dalam spektrum PWK yang lebar itu kita mau 
memposisikan diri dimana? Kita ingin masyarakat mengenal kita sebagai ahli apa 
(bisa luas, bisa sempit), yang menjadi brand kita. 
  Sebagian orang tentu ada yang tidak setuju dengan repositioning ini. Karena 
bagi mereka fokus "tata ruang" sudah final. (Sekali lagi ini bukan soal nama 
sebuah Ditjen/Dit, tapi lingkup profesi keplanologian). Sebagian yang tak 
setuju dari kalangan dosen. Karena orientasi mereka dari sisi 'produksi' bukan 
dari sisi 'pasar'. Kepada mereka saya juga balik tanya, kenapa nama sekolahnya 
PWK, bukan PTR?
  
  Kembali kepada kerisauan mbak Arini, mengapa keplanologian tidak menjadi 
wacana publik. Menurut saya bukan 'dunia meninggalkan kita', tapi kitalah yang 
lari, mengurung diri dalam gua sempit "tata ruang". Kalau kita memposisikan 
diri sebagai "perencana kota/daerah", atau "ahli manajemen perkotaan", maka 
wacana publik harian itu menjadi relevan bagi kita, dan kita merasa diri 
relevan bicara.
  
  Saya senang mbak Arini menggunakan istilah keplanologian, lebih generik. 
Mind-set, positioning, branding ini penting karena berarti juga bagaimana kita 
memposisikan diri dalam pergaulan profesi. Banyak planolog yang bekerja di 
berbagai bidang, merasa diri 'keluar dari profesi', 'murtad'. Padahal mereka 
nyatanya masih menangani pembangunan wilayah, kota, daerah, hanya memang tidak 
di "tata ruang"nya, atau di sisi "perencanaannya". Sungguh disayangkan hanya 
gara-gara persepsi yang dipersempit sendiri. Sekali lagi bukan (wacana) dunia 
yang meninggalkan planologi. Tapi planolog sendiri yang escape, terlalu sempit 
memposisikan dirinya. 
  
  Tentu saja penataan ruang tetap merupakan aspek profesi yang marketnya masih 
cukup potensial. Tetapi pada segmen ini planolog mesti memperluas peran, dari 
hanya main di sisi perencanaan, kepada aspek "manajemen pemanfaatan" atau 
pelaksanaan, dan pengendalian nya. Wah, maaf ngelantur dan panjang lagi.
   
  Salam,
  Risfan Munir
   
  

                           


       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

Reply via email to