JAYANAGARA DAN PERISTIWA BADANDER

Sepeninggal Sri Kertarajasa pada tahun 1300, Sri Jayanagara naik tahta
Majapahit. Sri Jayanagara adalah putra Sri Kertarajasa dari istri Dara
Petak yang juga bernama Indreswari.

Pada masa pemerintahan Sri Jayanagara terjadi pemberontakan Nambi yang
berhasil ditumpas pada tahun saka dengan candrasangkala
mukti-guna-paksa-rupa (=1238) atau tahun 1316 M. Namun 2 tahun kemudian
menyusul pemberontakan yang dilakukan oleh Ra Lasem dan Ra Semi, yang
juga berhasil ditumpas pada tahun saka nora-weda-paksa-wong, 1240 (=
1318 Masehi).

Lagi-lagi, setahun kemudian Majapahit kembali diguncang pemberontakan
yang dilakukan oleh Ra Kuti pada tahun 1319.

Ra Kuti berhasil menduduki tahta Majapahit dan mengakibatkan Sri
Jayanagara mengungsi ke Badander.

Pada waktu malam Sri Jayanagara terpaksa meninggalkan istana hanya
diiringkan oleh lima belas pengawal dari Bhayangkara (Kesatuan
Bhayangkara sudah ada sejak zaman Singasari, Raden Wijaya tetap
mendirikan kesatuan ini dengan nama sama. Tugas pokoknya adalah sebagai
pengawal raja dan kerabatnya).

Kebetulan kepala pengawal pada malam itu Gajah Mada. Mereka membawa Sri
Jayanagara ke Badander yang dengan sangat hormat diterima oleh kepala
desa Badander yang masih sangat setia itu.

Peristiwa ini tercatat di Pararaton sebagai berikut:

'Sang Prabhu bermaksud pergi ke Badander. Perginya pada waktu malam,
tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Hanya diiringkan oleh pasukan
Bhayangkara sebanyak 15 orang. Mereka itu kebetulan sedang mendapat
giliran jaga.

Pada waktu itu Gajah Mada menjadi kepala pasukan Bhayangkara. Kebetulan
sedang mendapat giliran jaga. Itulah sebabnya Gajah Mada mengiringkan
Sang Prabhu ketika pergi. Lamalah Sang Prabhu tinggal di Badander.

Ada seorang pengalasan minta izin untuk pulang. Tidak diizinkan oleh
Gajah Mada, karena jumlah pengiring raja hanya sedikit. Karena memaksa
untuk pulang, lalu ditusuk dengan keris oleh Gajah Mada. Maksudnya
jangan ada orang yang memberitahu bahwa Sang Prabhu tinggal di rumah
kediaman kepala desa Badander. Gajah Mada khawatir jika hal itu
diketahui oleh Ra Kuti. Lima hari kemudian Gajah Mada mohon izin untuk
pergi ke Majapahit.

Setibanya di Majapahit, para amancanegara bertanya dimana tempat
pengungsian Sang Prabhu. Jawabnya bahwa Sang Prabhu sudah mangkat
dibunuh oleh pasukan Ra Kuti.

Yang diberitahu semuanya menangis. Berkatalah Gajah Mada, "Diamlah!
Tidakkah tuan-tuan semuanya menghendaki Ra Kuti sebagai raja?" Jawab
yang ditanya, "Apa katamu itu? Ia bukan raja kami!"

Akhirnya Gajah Mada memberitahu bahwa Sang Prabhu tinggal di desa
Badander. Gajah Mada mohon bantuan kepada para mantri; semuanya sanggup
membunuh Ra Kuti. Ra Kuti mati dibunuh. Pulanglah Sang Prabhu dari
Badander. Tinggallah kepala desa Badander, nama Badander itu terkenal
sampai lama.'

Setelah peristiwa Badander, nama Gajah Mada mulai dikenal di Majapahit.

Menurut Pararaton, dua bulan setelah peristiwa Badander Gajah Mada
diangkat menjadi patih di Kahuripan. Tapi pernyataan ini masih
diragukan.

Karena Nagarakretagama pupuh LXXI hanya mengatakan Gajah Mada mulai
menjabat patih di Daha pada tahun saka 1253 (= 1331 Masehi) dan
sebelumnya berada di Majapahit. Pernyataan ini didukung oleh prasasti
Blitar yang juga menyatakan Gajah Mada menjadi patih di Daha pada tahun
1330/1.

Setelah peristiwa Badander, Sri Jayanagara mulai menaruh perhatian pada
Gajah Mada.

Dia mulai sering berada di istana bersama-sama mendampingi Sang Prabhu,
dengan jabatan pengageng di kesatuan Bhayangkara sebagai pengawal khusus
Raja, mungkin sekarang sama dengan ajudan. Oleh karena itu, segala yang
menyangkut kegiatan protokol raja, Gajah Mada lah yang mengatur.

Itulah sebabnya pada tahun saka bhasmi-bhuta-nampani-ratu, 1250 (= 1328
Masehi), ketika raja mengalami sakit serius, bisul atau pembengkakan,
Gajah Mada meminta seorang dharmaputera, mPu Tanca (tabib kerajaan)
mengoperasi raja. Operasi tidak berjalan mulus karena mPu Tanca
berulangkali tidak dapat mengiris bisul itu.

Dengan rasa hormat mPu Tanca meminta raja melepaskan kesaktiannya agar
dapat melakukan operasi terhadap penyakitnya itu. Sri Jayanagara
kemudian melepaskan kesaktiannya, barulah operasi berjalan mulus.

Tetapi celakanya, bukan saja bisul itu yang teriris, pisau bedah Mpu
Tanca bahkan mengakibatkan kematian Jayanagara. Pisau itu telah menikam
tubuh raja yang seketika tewas. (Beberapa versi mengatakan sikap Ra
Tanca itu didorong oleh rasa dendam terhadap raja yang telah melecehkan
istrinya.)

Melihat itu, Gajah Mada yang berada di kamar raja tanpa sepengetahuan
Mpu Tanca sangat marah, dengan seketika Gajah Mada akhirnya juga
membunuh Mpu Tanca, yang langsung sekarat dan tewas. Kerajaan gempar.

Kata Pararaton sebagai berikut:

'........Kebetulan raja Jayanegara menderita bengkak dan tidak bisa
pecah. Tanca disuruh mengiris (membedah), dan masuk ke peraduan. Ditusuk
sekali-dua kali tidak mempan, raja dimohon melepaskan kesaktiannya
(aji-ajinya). Raja melepaskannya di sampingnya, (bisul/kebengkakan)
diiris/dibedah oleh Tanca dan mempan, sekaligus ditusuk oleh Tanca,
wafatlah raja di peraduan. Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah
Tanca' (Pararaton 27)

Sri Jayanagara mangkat tahun saka 1250 (=1328 Masehi). Dalam
Nagarakretagama ditunjuk dengan candrasangkala windu-sara-surya.
Dicandikan di Kapopongan. Candinya bernama Sanggapura.

Salam Nusantara..!

Renny Masmada
www.rennymasmada.com
<../../../../advokasiwarisanbudaya/message/www.rennymasmada.com>
http://rennymasmada.wordpress.com <http://rennymasmada.wordpress.com/>

Kirim email ke