Pada tanggal 2 Maret 1757, Damiens sang pemberontak (the regicide) dihukum
untuk 'amende honorable' di luar pintu utama the Church of Paris. dimana dia
diletakkan dan diikat pada sebuah pedati, tanpa pakaian hanya sehelai kain
menutupi, menggenggam lilin dan tempatnya, kemudian digiring ke the Place de
Greve, di tempat yang terbuka, keringat dan air keluar dari hidungnya,
tangan, sendi-sendi pergelangan yang memerah bercampur darah, sementara
tangan kanannya menggenggam pisau yang digunakan untuk mencederai raja
(parricide), yang hangus tersiram belerang, dan kemudian di tempat itu
tubuhnya dicampur lagi dengan cairan panas, minyak panas, damar panas, lilin
dan belerang panas secara bersamaan, dan kemudian tubuhnya diikat dan
ditarik oleh empat ekor kuda dan seluruh tubuhnya tercerai-berai, kemudian
terbakar, dan menjadi debu yang diterbangkan angin.

Akhirnya dia tercerai-berai. Seluruh kegiatan ini memakan waktu yang lama
(dalam literatur lain disebutkan memakan waktu 4 jam), karena keempat kuda
tersebut tidak kuat menarik tubuh Robert-Francois Damiens, sehingga ditambah
dua ekor kuda lagi. Dan setelah tubuh Damiens tercerai berai, disebutkan
masih ada bagian tubuh (torso) yang hidup (bergerak-gerak).

... ini adalah paragraf pertama dari bukunya Michael Foucault (1975)
berjudul "Discipline and Punish: the birth of the prison" (Surveiller et
Punir: naissance de la prison), buku yang belum selesai saya baca waktu
weekend kemarin. Sebuah catatan lain dari pengelana Giacomo Casanova
menyebutkan: "We had the courage to watch the dreadful sight for four
hours(...) Damien was a fanatic, who, with the idea of doing a good work and
obtaining a heavenly reward, had tried to assassinate Louis XV; and though
the attempt was a failure, and he only gave the king a slight wound, he was
torn to pieces as if his crime had been consummated.(...) I was several
times obliged to turn away my face and to stop my ears as I heard his
piercing shrieks, half of his body having been torn from him, but the
Lambertini and Mme XXX did not budge an inch. Was it because their hearts
were hardened? They told me, and I pretended to believe them, that their
horror at the wretch's wickedness prevented them feeling that compassion
which his unheard-of torments should have excited."

Penggunaan bahasa yang sulit apalagi berupa terjemahan dari le Francais ke
English, membuat saya agak lamban mencerna maksud Foucault-nya Pak Eko itu.
Hal ini juga dikeluhkan oleh sang penterjemah, Alan Sheridan, yang
mengatakan untuk istilah 'surveiller' saja sulit untuk menemukan padanannya,
bisa 'inspect, supervise, observe', hingga akhirnya dipilih 'discipline'.
Untuk Indonesia istilahnya seperti bermakna kepatuhan atau ketaatan, namun
lebih tepat sebagai 'rumah kaca', yaitu kita di dalam rumah kaca tidak bisa
melihat ke luar, tapi dari luar bisa melihat kita di dalam.

Kurang lebih maksud si Foucault adalah hingga pertengahan abad ke-18 di
Eropah khususnya, konsep 'manusia' masih menyatukan keutuhan raga dan jiwa.
Sehingga hukuman diberikan adalah kepada jiwa dan raga. Dengan memecah-mecah
bagian tubuh manusia dimaksudkan adalah memberikan hukuman kepada 'jiwa dan
raga'. Hingga setelah itu dikembangkanlah 'teknologi penghukuman' terutama
dengan telah dikembangkannya konsep kemanusiaan (soverignity) yang men-split
jiwa dan raga. Peraturan penghukuman 'modern' dikembangkan seperti di Rusia
(1769), Prusia (1780), Pennsylvania dan Tuscany (1789), Austria (1788),
Perancis (1791); yang memulai era baru peradilan kriminal. Penjara mulai
dikenalkan sebagai bentuk penghukuman terhadap jiwa atau mental. Penggunaan
tahanan untuk pekerjaan umum, menyapu jalanan kota, dan memperbaiki jalan
raya mulai diterapkan di Austria, Switzerland, dan sebagian Amerika Serikat.
Foucault memperkenalkan konsep
'governmentality<http://groups.yahoo.com/group/kebudayaan/message/1202>',
sebagai bentuk soverignity dalam skala negara, yang dimaksudkan untuk
men-split 'govern-mentality'. Bahwa dalam tubuh 'government' ada 'jiwa'-nya
(mentality). Dan bila ada yang sakit, maka mungkin karena aspek mentalnya.
Sehingga akhirnya kita mengenal lebih lanjut konsep-konsep 'good
governance', 'clean government', dst yang dimaksudkan untuk men-terapi
mentalitasnya. Namun apakah rumah kaca bagi negara, siapa di dalam dan siapa
di luar?

Sementara demikian dulu. Salam.

-ekadj


2009/12/28 Harya Setyaka <harya.sety...@gmail.com>

>
>
> Intermezzo;
> waah.. asal jangan dijadikan pembenaran FPI & FBR dan ormas-2 sejenis
> saja..
> hehehe..
>
> kalao klakson doang oke lah.. tidak dalam bentuk kekerasan fisik.
>
> Tks,
> -K-
>
> 2009/12/27 ffekadj <4ek...@gmail.com>
>
>
>>
>>
>> Pak BTS dan rekan-rekan ysh,
>>
>> Mungkin bapak masih ingat beberapa belas tahun yang lalu kita duduk
>> bertiga, saya, anda, dan MarcoK. Marco pernah melemparkan satu topik
>> pembicaraan tentang ketidakdisiplinan prilaku masyarakat di jalan, dan
>> Marco sangat kesal.
>>
>> "Bagaimana sih mendisiplinkan pengguna jalan itu. Mereka suka
>> menghentikan kendaraan sembarangan, terutama angkutan umum itu".
>>
>> "Iya nih, sebel banget deh, kadang-kadang suka selonongan, nyalip dari
>> kiri, dst".
>>
>> "Iya, padahal kan sudah ada peraturan lalu-lintas, rambu-rambu jalan,
>> nggak boleh stop, dll".
>>
>> "Tapi pengguna jalan nggak bisa disalahkan, mereka nggak dididik untuk
>> disiplin".
>>
>> "Seharusnya sopir-sopir angkot itu dimasukkan dalam penjara, biar tahu
>> rasa".
>>
>> .....
>>
>> "Hukum itu tidak harus ditegakkan oleh pemerintah, tetapi juga oleh
>> masyarakat sendiri", saya timpali.
>>
>> "Iya, bagaimana bisa, kan itu harusnya tugas polisi dll".
>>
>> "Tidak pak, bapak juga bisa menghukum".
>>
>> "Wah, bagaimana mungkin saya menghukum kesalahan orang lain".
>>
>> "Apa yang bapak lakukan ketika diserempet angkutan umum?"
>>
>> "Yaa tak klakson keras-keras".
>>
>> "Nah, itu salah satu bentuk hukuman yang bisa kita berikan sebagai
>> sesama pengguna jalan".
>>
>> Salam,
>>
>> -ekadj
>>
>

Kirim email ke