Assalamu 'alaikum wr. wb.

Mas Ridwan,

Semoga Ridho Alloh dan Barokah buat anda...


Saya sih bukannya bermaksud merendahkan, menurut hasil pengamatan saya pribadi ; kebanyakan orang-orang di masa kini yang katanya dirinya TIDAK bermazhab, kebanyakan mereka belajar fiqih dari buku-buku terjemahan, atau berupa buku ringkasan, bukan langsung merujuk kepada kitab-kitab klasik (kitab-kitab fiqih/syarah hadits) yang biasa digunakan di pengajian2 tradisional. Soalnya belum faham nahu, sehingga kesulitan membaca yang berbahasa arab.
Perbedaan antara orang yang belajar fiqih yang merujuk pada mazhab tertentu, dengan mereka yang bermazhab pada dirinya sendiri, sering terlihat mulai pada saat mengambil air wudhu.
Ada sebagian orang yang katanya TIDAK bermazhab (alias bermazhab pada dirinya sendiri) ketika wudhu mereka belum faham benar mana batasan apa yang disebut membasuh muka, dalam arti mereka belum memahami mana batas2 yang disebut muka.
Begitu juga pada saat membasuh tangan, mereka ga faham yang disebut batas tangan itu yang mana, bagaimana methode membasuh telinga, dan mana batasan membasuh kaki.
Biasanya bagi yang ga faham mazhab, mereka berwudhu seperti halnya bebek nyemplung ke sungai, pek-kepek-kepek.... selesai dan biasanya air wudhunya muncrat kemana-mana sampai membasahi tetangga wudhu disebelahnya.

Tapi bagi mereka yang belajar fiqih dengan mazhab yang 4, apapun mazhabnya yang dipilih, kita bisa membedakan, orang tersebut sebetulnya ketika wudhu bermazhab apa.

Begitu juga ketika sholat berjamaah, orang-orang yang tidak bermazhab, biasanya antara niat awal sholat dengan didalam sholat berbeda. Ketika di awal sholat (takbirotul ihrom) dia berniat mengikuti imam, tapi dalam pelaksanaan ketika sholat, terkadang gerakannya membarengi imam, atau bahkan suka mendahului imam, terutama kertika imam bangkit dari sujud, mereka lebih cepat berdiri dari imam tanpa ada duduk istirahat antara sujud ke dua dan berdiri.

Kalau dirinya mengatakan bahwa mereka TIDAK bermazhab, kemudian gerak-gerik sholatnya ada kesamaan gerakan seperti yang diajarkan oleh 4 mazhab, boleh jadi sebetulnya mereka bermazhab juga, tapi MALU mengakui dirinya bermazhab, atau merasa dirinya sudah sangat berilmu, kemudian memperaktekkan sujud dengan mengangkat ke dua telapak tangan dan kakinya.
Padahal contoh-contoh gerakan baik sewaktu wudhu maupun sholat, semua itu didapati di kitab2 fiqih atau syarah2 hadits, sebelum diintisarikan atau disadur menjadi buku berbahasa Indonesia. Adapun didalam hadits to' tidak dijelaskan secara terperinci, apalagi di dalam Al-Qur'an.

Ya.. semua kembali kepada ilmu yang didapati masing-masing, kita tidak bisa menilai pekerjaannya salah atau tidak, semua dikembalikan hanya kepada Alloh SWT saja.

Saya teringat sewaktu kecil, guru-guru ngaji kita suka bilang, perbedaan antara yang bermazhab syafi'i dengan mazhab yang lain adalah, sewaktu dipadang mahsyar, pangkal lengan pengikut mazhab syafi'i terlihat terang benderang hingga pangkalnya, sedangkan mazhab lain terang hanya sampai sikunya, hal ini disebabkan karena fiqih syafi'iyyah men-sunnatkan membasuh tangan melewati siku, itu sebagai salah satu tanda orang-orang yang bermazhab syafi'iyyah.


wassalam,

 


--- In keluarga-islam@yahoogroups.com, "MR" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Bang Arland...
> syukron atas pemaparan pendapat-nya, dan syukron juga kepada bang yudi atas tambahan postingannya, saya yang sangat lemah dalam ilmu agama ingin sedikit memberikan pendapat (yang tentunya jangan diikuti)...sepengetahuan saya tentang ber-madzhab adalah dalam koridor fiqih saja, sedangkan dalam tauhid para Imam (termasuk kita) adalah sama, dan Rosul saw membolehkan kita untuk ber-ijtihad untuk menetapkan suatu hukum dalam syariat Islam (fiqh). Namun begitu dalam ber-ijtihad itu apakah boleh dilakukan oleh semua orang tanpa memandang ilmu yang dimilikinya ? Apakah saya yang tidak pernah menekuni agama dan tidak pandai berbahasa arab boleh ber-ijtihad menentukan hukum syariat Islam (fiqh) ?
>
> Dikarenakan kebodohan saya dalam agama dan ketidakmampuan saya berbahasa arab maka saya bermadzhab kepada Imam Syafe'i, mengikuti dari guru-2 agama saya yang lebih tahu agama daripada saya, mungkin ini disebut taklid buta, tetapi tidak mengapa karena syariat agama itu harus dilakukan dengan keyakinan.
>
> Jadi menurut pendapat saya bermadhzhab itu perlu bagi orang-2 bodoh seperti saya, namun begitu saya juga yakin ada orang yang bodoh seperti saya yang merasa tidak perlu bermadzhab karena merasa sudah bisa baca hadits shohih tetapi ilmu tentang hadits tidak dikuasainya, apalagi bahasa arab-nya belum mahir. Itu baru ilmu tentang hadits, belum lagi ilmu tentang Al Quran, Tarikh agama, dan lain-lainnya. Daripada pusing mikirin yang tidak mampu kita kerjakan mendingan taklid aja sama Imam yang sudah ada.
>
> Afwan jika tulisan saya tidak berkenan, maklum orang yang masih jahil (bodoh).
>
> salam madzhab
> Ridwan
>
> --------------------------------------------------------------------------------
>
> ----- Original Message -----
> From: Arland
> To: keluarga-islam@yahoogroups.com
> Sent: Saturday, December 10, 2005 8:57 AM
> Subject: [keluarga-islam] Re: Pernyataan Para Imam Mazhab
>
>
>
> --- In keluarga-islam@yahoogroups.com, "duy_201" [EMAIL PROTECTED] wrote:
> >
> > Wa'alikum salam..
> >
> > Masa sih Mas, sampai sebegitu bahayanya?
> > Coba dibaca postingan saya itu sekali lagi dgn kepala yg dingin dan
> > hati yg jernih, jangan dibaca dgn mempergunakan rasa fanatisme
> > terhadap Imam tertentu secara berlebihan.
>
> Assalamu 'alaikum wr. wb.
>
> Saya berharap kalau memang kita mau berdiskusi dengan fair, janganlah cepat-cepat menuduh lawan diskusi kita TIDAK berkepala dingin dan TIDAK berhati jernih, apalagi cepat2 menuduh orang lain fanatisme terhadap Imam tertentu secara berlebihan, sehingga seakan-akan ; belum mulai berdiskusi kita sudah langsung membunuh karakter lawan diskusi supaya tidak lagi bekomentar, b ukan menanggapi komentarnya.
> Disamping cara-cara seperti ini kurang beretika dalam suatu diskusi, boleh jadi kita sudah termasuk katagori orang yang Inkarus-sunnah, karena telah bersu'uzon (berperasangka buruk) pada sesama muslim, padahal Rosululloh SAW mengajarkan setiap muslim wajib untuk selalu ber-husnuzon (berperasangka baik).
>
> Yang saya kritisi pada posting yang lalu hanyalah kutipan2 tulisan tersebut, bukan mengkritisi sipengirim tulisan, oleh sebab itu saya tidak sesekalipun menyebutkan nama sipengirim, maksudnya supaya siapa saja yang sependapat atau tidak sependapat dengan posting tersebut, dapat langsung memberikan komentar secara terbuka di milist ini.
>
> Tapi alangkah sangat disayangkan, reply yang ada bukan menjawab dua pertanyaan yang saya ajukan sebelumnya, malahan mengcounter dengan posting yang pernah saya forward ke milis ini.
> Sekali lagi saya hanya mem "forward" penda pat orang lain dari milis tetangga, dengan harapan ada fihak lain yang memberikan komentar atau masukan di milis ini, bukan untuk dijadikan counter atas pertanyaan-pertanyaan saya.
>
>
>
>
>
> >
> > Kalau yg saya pahami dari kutipan kitab karya Muhammad Nashiruddin
> > tersebut adalah MELARANG KITA UNTUK BERTAKLID BUTA pada satu Imam
> > Madzhab saja. Dan menurut si pengarang, itu semua adalah PERNYATAAN
> > PARA IMAM MADZHAB sendiri yang dikutip dari kitab2 yang telah ada.
> >
> > Ini bukan berarti kita harus berijtihad sendiri2, bukankah kita bisa
> > belajar dan bertanya kepada ulama2 yang bermadzhab kepada Hadits yang
> > shahih seperti yang "diminta" oleh para Imam Madzhab tersebut?
> >
> > Hal ini juga bukan berarti kita merendahkan para Imam Madzhab
> > tersebut, kalau dalil yang dikemukakan oleh para Imam tersebut lebih
> > shahih, kenapa kita tidak mengikutinya?
>
>
> Sekarang saya mau menjelaskan, mengapa saya bilang kutipan posting tersebut berbahaya ?
> alasannya karena kalimat2 yang dikirim itu potongan dari suatu pendapat dari Syekh Al-bani yang panjang lebar tentang "hukum bermazhab".
>
> Dulu (sudah lama sekali ya) saya pernah membaca kitab Syekh Albani (judulnya ga ingat lagi karena sudah terlalu lama) yang membahas tentang hukum bermazhab seperti mana yang anda dikutip pada tulisan tersebut, seingat saya; sebelum memberikan kata-kata dalam kutipan tersebut, Syekh Albani mengatakan kurang lebihnya begini (CMIIW):
>
> Bahwa sesungguhnya Alloh Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Alloh Swt. kepada kita adalah mengikuti "hukum syariat" dan "mengamalkannya".
> Itu berarti, kita tidak diperintahkan (bermazhab) kecuali mengambil apa saja yang dibawa Ro sulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. ini menurut beliau berdasarkan Al-Qur'an Suroh al-Hasyr ayat 7.
>
> Kemudian beliau juga menandaskan lagi, secara syar'i kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Alloh, juga tidak dibenarkan kita mengikuti "pribadi-pribadi" tertentu.
> AKAN TETAPI (masih menurut pendapat syekh), fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan "menggali hukum syariat" (ber-ijtihad) sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Oleh karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka.
>
> Lalu As-Syekh ditanya ; apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan secara syariat Islam?
>
> Kemudian As-Syekh menjawab, hal itu tergantung kepada persepsi masing2 umat terhadap masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah "hukum-hukum syariat yang digali" (taqlid al-ahkam) oleh seorang mujtahid (imam Mazhab yang 4) maka bermazhab adalah sesuatu yang "sahih" dalam pandangan syariat Islam.
>
> Sebaliknya, jika umat berpemahaman bahwa yang mereka ikuti adalah "pribadi" mujtahid (taqlid asy-syekh al-mujtahidi), bukan "hukum" hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang "bertolak belakang" dengan syariat Islam.
>
> Kemudian barulah As-Syekh mengutip pendapat Imam2 Mazhab seperti yang anda sampaikan dalam posting yang dikirim terdahulu. antara lain Imam Abu hanifah berkata : Jika didapati suatu Hadits, padahal aku sudah berfatwa sebelumnya, maka ikutilah hadits, jangan mengikuti fatwaku lagi, dst dst.
>
> Jadi maksud saya, kalau tidak dijelaskan awal kalimatnya, penggalan pendapat yang anda kirim tersebut seakan-akan mengharamkan bermazhab, padahal maksudnya Syekh Al-bani bukan seperti itu.
> Itulah yang saya maksud sangat BERBAHAYA, bilamana masing-masing umat islam saling berijtihad sendiri-sendiri, tanpa mau mengikuti kerangka ijtihad yang sudah pernah dilakukan oleh Imam Mazhab yang 4, padahal imam-imam mujtahid sudah terlebih dahulu menggalinya dari sumber yg valid yaitu Al-Quran dan as-Sunnah, bukan dengan hawa nafsunya sendiri.
> Kalau diibaratkan memakan makanan, kita tinggal memilih makanan yang sudah tersedia, tanpa perlu memasaknya lagi, karena memahami bahwa diri kita memang gak pandai memasak (awam). Buat apa kita masak lagi tapi tidak enak/salah karena hakekatnya kita memang gak pandai memasak, lebih baik makan saja apa yang sudah terhidang dengan enak dan halal dihadapan k ita.
>
> Dan juga menurut pandangan saya, semua orang yang bertaklid itu tentu masih "buta" dalam masalah istimbat hukum, kalau dia sudah dapat menggali hukum itu sendiri berarti bukan bertaklid lagi tapi tarafnya ber-ijtihad.
>
> Pertanyaan saya selanjutnya ; apa dan bagaimana bila yang anda maksudkan "Taklid Buta " dan "Taklid yang TIDAK buta"???
> Mohon penjelasannya...
>
>
> wassalam
>



Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke