Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Di tempat saya ada kebiasaan dalam upacara pemberangkatan jenazah muslim,
seorang yang mewakili keluarga almarhum berbicara kepada para pelayat,
memohonkan maaf untuk almarhum.



Itu memang sangat diperhatikan oleh keluarga yang sangat mencintai dan
menghormati anggotanya yang meninggal. Menurut keyakinan mereka, hal ini
sangat penting. Karena ada hadis yang menjelaskan betapa gawatnya kesalahan
antar manusia apabila tidak diselesaikan sewaktu masih hidup. Dalam hadis
yang bersumber dari shahabat Abu Hurairairah r.a riwayat imam Bukhari
misalnya, Nabi Muhammad SAW berpesan, "Barangsiapa mempunyai tanggungan
(kesalahan yang merugikan) kepada saudaranya, baik mengenai kehormatannya
atau yang lain, hendaklah dimintakan halal sekarang juga, sebelum dinar dan
dirham (/uang) tidak laku…."



"Sebagai manusia biasa, almarhum dalam pergaulan dengan bapak-bapak,
ibu-ibu, dan para pelayat sekalian selama hidupnya pasti mempunyai
kesalahan. Karena itu kami, atas nama keluarga, dengan kerendahan hati
memohon sudilah kiranya bapak-bapak, ibu-ibu, dan para hadiirin semua
memaafkannya." Antara lain begitulah kira-kira pidato wakil keluarga. Bagi
keluarga yang berhati-hati dan sangat mencintai almarhum yang meninggal,
biasanya kata-kata permohonan maaf itu ditambah dengan memohon penyelesaian
kalau-kalau ada urusan yang menyangkut hak Adam: "Apabila ada kesalahan
almarhum yang berkaitan dengan hak Adami, utang-piutang, atau yang lain,
jika bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian berkenan
mengikhlaskan dan membebaskannya, keluarga menghaturkan banyak-banyak
terimakasih. Namun apabila tidak, bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara
sekalian dapat menghubungi keluarga dan ahli waris untuk penyelesaiannya."


Di akherat uang tidak laku. Tidak bisa untuk menebus. Tidak bisa untuk ganti
rugi. Tidak bisa untuk menyogok. Pesan hadis di atas -- wallahu a'lam--:
mumpung masih di dunia, belum di akherat, hendaklah kita menyelesaikan
masalah kita dengan sesama. Sebab jika tidak masalah itu akan menjadi
ganjalan kelak di akherat. Dalam hadis sahih yang lain, digambarkan betapa
bangkrutnya seorang ahli ibadah –ahli salat, puasa, dll—gara-gara
kelakuannya yang buruk terhadap sesama manusia. Suka mencaci , memukul,
menuduh, melukai, memakan harta sesama. Pahala-pahala ibadah yang
diharapkannya dapat mengantarkannya ke sorga, habis digunakan untuk
'menebus' kesalahan-kesalahannya terhadap sesama. Karena besarnya tanggungan
kesalahan dan kelalimannya itu, malah menjerumuskannya ke neraka. Na'udzu
billah min dzaalik.



Hal itu berlaku untuk kita dan tentu saja untuk orang-orang yang kita
cintai. Orangtua, suami/istri, anak, kekasih, dan siapa saja yang tidak kita
kehendaki celaka kelak di akherat. Artinya, apabila kita ingin ke sorga,
tentu sekaligus kita ingin orang-orang yang kita cintai juga bersama-sama
kita di sorga. Seorang ibu yang mengaku mencintai anaknya tentu ingin
berbahagia bersama-sama anaknya dan tidak ingin anaknya celaka. Maka sungguh
tidak bisa dimengerti apabila ada orangtua yang mengaku mencintai anaknya
tapi membiarkan si anak itu kesasar di neraka. Demikian pula sebaliknya;
seorang anak yang menyintai dan ingin mengangkat martabat orangtuanya, yang
dalam istilah Jawa ingin mikul dhuwur mendhem jero, tentu tidak ingin
orangtuanya bahagia di dunia yang fana ini saja tapi celaka di akheratnya.
Anak yang mencintai dan berbakti kepada orangtuanya pasti ingin orangtuanya
bahagia di dunia dan terutama di akherat.



Bahkan muslim yang baik ingin saudara-saudaranya selamat dan bahagia
bersamanya terutama di kehidupan kekal kelak di akherat. Itulah sebabnya
muslim yang baik terus beramar-makruf-nahi-mungkar. []

Reply via email to