Republika: Kamis, 17 April 2008

'Islam tak Butuh Mirza Ghulam Ahmad'

Sebut saja namanya Budi. Pria paruh baya yang tinggal di Desa Manis Lor,
Kec Jalaksana, Kab Kuningan, Jawa Barat, ini menjadi anggota Jemaat
Ahmadiyah pada 1983. Selama menjadi pengikut Mirza Ghulam Ahmad (MGA), dia
mengaku selalu mengalami pergolakan batin.

Sekitar 25 tahun lalu, orang-orang Ahmadiyah mendatanginya, menawarkan
bantuan materi. Budi yang sedang terlilit masalah ekonomi tentu saja
senang.

Tapi, si pemberi bantuan mensyaratkan masuk Ahmadiyah. Tak begitu memahami
hakikat Ahmadiyah, Budi mau saja dibaiat. Tapi, setelah resmi menjadi
penganut Ahmadiyah, Budi mulai merasakan kejanggalan. Antara lain, soal
adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Budi juga tak bisa lagi shalat di
sembarang masjid, karena penganut Ahmadiyah dilarang shalat di belakang
imam non-Ahmadi.

Selain itu, Budi juga diharuskan menyetorkan uang pengorbanan sebesar 10
persen dari total penghasilan setiap bulan. Sesuatu yang dinilainya
memberatkan. ''Karena miskin, mereka suka 'tidak menganggap' dan sepertinya
memandang sebelah mata ke saya,'' kata Budi dengan logat Sunda.

Budi juga minder karena tak mampu membeli 'kavling surga'. Padahal, hanya
bila dikubur di tempat itulah, mereka mendapat jaminan masuk surga. Sudah
20 orang yang dikuburkan di sana, setelah membayar jutaan rupiah. Adanya
doktrin-doktrin yang tak lazim yang berlawan dengan yang didapatnya selama
ini, dan tak leluasa lagi bergaul dengan masyarakat, membuat batin Budi
bergolak. 'Hidup saya terasa mengambang, jauh dari ketenangan,'' kata Budi
kepada Republika di Manis Lor, beberapa waktu lalu.

Selama bertahun-tahun, Budi mengabaikan pergolakan batinnya, sampai
akhirnya dia tak tahan lagi. Awal 2008, dia memutuskan keluar. ''Saya
sekarang lebih tenang, tidak dikejar-kejar pengurus Ahmadiyah yang menagih
uang pengorbanan. Saya juga bisa shalat Jumat di mana saja.'' Orang seperti
Budi tak sedikit. Hasan Mahmud Audah, direktur umum seksi bahasa Arab
Jemaat Ahmadiyah yang berpusat di London, juga keluar dari ajaran Mirzaiyah
itu pada 17 Juli 1989.

Padahal, sebelumnya dia adalah seorang mubaligh Ahmadiyah dan pernah
menetap lama di Qadian. ''Menurut pendapat saya, Islam itu telah tampak
dalam keadaan sempurna dengan Nabi Muhammad SAW dan tidak membutuhkan Mirza
Ghulam Ahmad untuk menyempurnakannya,'' katanya dalam bukunya,
Al-Ahmadiyyah, Aqa'id Wa Ahdats.

Di buku yang telah diterbitkan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam
(LPPI) dengan judul Ahmadiyah; Kepercayaan-kepercayaan dan
Pengalaman-pengalaman itu, Audah memburaikan isi perut Ahmadiyah. Mulai
dari doktrin-doktrinnya, administrasi, sanpai keuangannya.

Soal doktrin-doktrinnya, dia mencantumkan banyaknya wahyu MGA yang
kontradiktif. Dia juga menyoroti wahyu-wahyu MGA yang sangat mendukung
Inggris--yang saat itu menjajah India, soal kengototan MGA mengawini gadis
17 tahun, dan MGA yang menggunakan ucapan-ucapan berisi caci maki dalam
'wahyu-wahyunya'--termasuk saat merendahkan Nabi Isa.

Selain itu, dia menulis bahwa menjadi penganut Ahmadiyah sangat banyak
dituntut mengeluarkan uang. Mulai dari setoran bulanan sebesar enam persen
penghasilan, 10-13 persen penghasilan untuk memesan kavling surga, serta
sumbangan untuk kegiatan tahunan seperti jalsah salanah. Total ada sekitar
10 item sumbangan yang harus disetorkan kepada pimpinan Ahmadiyah, yang
berakhir di Jemaat Ahmadiyah Pusat di London. Audah mengatakan dana itu
dalam pengawasan langsung khalifah, dan tak seorang pun mengetahui
dikemanakan dana-dana itu.

Jumlah pengikut
Saat ini, pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengklaim penganut
Ahmadiyah telah mencapai 150 juta, tersebar di 120 negara. Adapun di
Indonesia, jumlah penganutnya 500 ribu. Soal klaim-klaim, Audah menilainya
banyak yang kebesaran. Mirza Thahir yang merupakan khalifatul masih IV,
dalam wawancaranya dengan Sunday Times, Desember 1989 lalu, kata Audah,
menyatakan pengikut Ahmadiyah hanya sekitar 10 juta, tersebar di 80 negara.
Jumlah 10 juta itu pun dinilai Audah meragukan.

Dari 80 negara atau 120 negara, Audah menyatakan sebenarnya kebanyakan
hanya 1-1.000 orang Ahmadiyah di setiap negara. Di Cina, bisa dihitung
dengan jari. Di Mesir, hanya 30-40 orang. Di Inggris yang merupakan
pusatnya, hanya 8.000-an orang. Itu pun imigran Pakistan. Negara-negara
yang penganut Ahmadiyahnya besar, hanya di Pakistan, Ghana, dan Nigeria.
''Padahal, ajaran ini telah berumur hampir 100 tahun,'' kata Audah.
Propaganda-propaganda lewat Muslim Television Ahmadiyyah (MTA) soal
besarnya jumlah penganut Ahmadiyah, kata Audah, sebenarnya hanya menipu
diri.

Di Indonesia, penganut Ahmadiyah tak diketahui pasti. Yang terbesar
terkonsentrasi di dua tempat, yaitu Manis Lor dan Pancor, Lombok Tengah,
NTB. Di Manis Lor, Ahmadiyah yang masuk tahun 1954, kini dianut 70 persen
dari 4.200 jiwa. Di NTB, jumlah mereka disinyalir hanya beberapa ribu. Di
Kampus Mubarak, Parung, Bogor, yang merupakan markas pusat JAI, juga tak
banyak orang Ahmadiyah. Saat Republika mengunjungi tempat itu, Ketua RT
03/04, Ismat, mengatakan hanya ada 12 kepala keluarga (KK) di RT 03.
Belasan KK lainnya di RT 01. ''Tapi, rumah-rumah mereka sering kosong,''
katanya.

Alhasil, klaim 500 ribu penganut Ahmadiyah di Indonesia memang tanda tanya
besar. Seperti markas pusatnya di London, yang ditonjolkan JAI adalah
jumlah cabang. Pada 2005, misalnya, JAI mengklaim memiliki 305 cabang di
seluruh Indonesia. Saat datang ke Indonesia, Khalifah Mirza Tahir, juga
mendatangi Manis Lor, Juni 2000 lalu. Pulang dari Indonesia, Mirza Tahir
berkata kepada majalah Al Fadhl International edisi Juli 2000: ''Saya
tegaskan kepada kalian bahwa Indonesia pada akhir abad baru ini, akan
menjadi negara Ahmadiyah terbesar di dunia ....''

Kata-kata seorang khalifah, bagi warga Ahmadiyah, tak ubahnya separuh
wahyu, bahkan wahyu--karena mereka meyakini wahyu tak terputus. Tapi, yang
terjadi dalam kenyataan malah sebaliknya. Warga Muslim NTB marah atas
adanya penganut ajaran itu dan membuat warga Ahmadiyah terusir. Di Bogor,
warga yang gerah telah menutup Kampus Mubarak. Di Manis Lor, sampai saat
ini suasananya seperti bara dalam sekam. Di berbagai sudut jalan,
tergantung pengumuman anti-Ahmadiyah.

Junaidi, ketua Remaja Masjid Al Huda, Manis Lor, mengatakan warga telah
berupaya mengembalikan warga Ahmadiyah kepada Islam. ''Kami sayang kepada
mereka karena mereka adalah saudara kami. Kami hanya ingin mereka kembali
pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Itu saja,'' katanya.

Sejumlah ulama sebelumnya juga mengajak penganut Ahmadiyah untuk ruju'ilal
haq atau kembali kepada kebenaran. Sebelumnya, MUI dan ormas-ormas Islam
bersedia membuka pintu untuk membimbing warga Ahmadiyah. Bangsa ini memang
tak membutuhkan Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku nabi dan
memperjualbelikan kavling surga. lis/osa/run

Kirim email ke