*Kokpit F-16 di Mobil Sugiono* *TEMPO Interaktif*, : Pengemudi mobil tak perlu repot mengira-ngira di jalur sempit, ketika macet, atau menghadapi jalan berlubang. "Gambar" di kaca depan bisa memandu.
SERPONG - "Aplikatif *banget*!" Kalimat itu langsung diucapkan Amel, reporter sebuah stasiun televisi swasta, ketika baru turun dari mobil. Beberapa pekan lalu, Amel membawa para krunya mencoba "kokpit" di mobil pribadi Sugiono, peneliti di Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bersama si empunya mobil, mereka berkeliling kompleks Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang. Amel dan kawan-kawan membuktikan bahwa dengan minibus merah itu mereka mampu berkendara tanpa harus lelah mengira-ngira jarak, jangkauan ujung-ujung dan tepi mobil, serta arahnya. Sebaliknya, mereka bisa memastikan lubang-lubang tak terlindas dan gerbang sempit pun bisa dengan mulus dilewati. Tak ada rasa canggung, apalagi khawatir "senggolan". Sangat membantu pula untuk kondisi jalan macet khas ibu kota, juga kota besar lainnya, ketika jarak antarmobil bisa sangat rapat dan rawan menyerempet. Kokpit mobil milik Sugiono memang unik. Kaca depannya "dilukis" pakai garis-garis dari kaca film, lengkap dengan beberapa angka penunjuk jarak, dari 0, 5 sampai 120 meter. Kaca jadi sedikit "ternoda", memang, tapi seperti diungkapkan Amel, goresan penuh makna goniometri itu ternyata bermanfaat. Tekniknya yang menghitung kolaborasi antara garis pengukur jarak (Sugiono lebih senang menyebutnya garis bidikan) sudut kemiringan kaca, ketinggian mata pengemudi, dan lainnya itu terbukti mampu mengawal proses belajar mengemudinya sepuluh tahun lalu dengan sempurna. Proses ini dilaluinya tanpa menyisakan lecet-lecet di badan mobil Daihatsu Espass 1997, yang dibelinya dengan cara mencicil. "Saya menjadi mahir mendadak dalam menyetir mobil," katanya. "Saya tahu bagaimana menghindari persinggungan pintu gerbang dengan kaca spion atau badan minibus saya. Saya juga tahu bagaimana menghindari lubang dari lintasan ban kanan atau kiri." Sepintas, apa yang dibuat Sugiono begitu sederhana. Apalagi ia hanya menggunakan kaca film yang belakangan dikembangkannya menggunakan plastik * translucent atau kaca susu, yang dibentuknya persegi mirip layar televisi di kaca depan, tepat di muka kursi pengemudi. Tapi sebuah kontes antarpeneliti berbagai bidang ilmu di lingkungan kerjanya pada 2000 membuktikan bahwa kokpitnya itu benar-benar bermanfaat. "Saat itu saya menyabet gelar juara," katanya mengungkapkan. Sugiono bisa berkreasi dengan kaca mobilnya itu gara-gara kesadaran 25 tahun lalu bahwa lingkungan kerja dan tempat tinggalnya terkucil dari keramaian kota. "Kalau mengantar anak ke klinik harus nebeng mobil teman. Lama-lama sungkan juga," katanya. Hingga akhirnya, sepulang dari belajar ke Kanada, Sugiono berniat memiliki mobil sendiri. Untuk itu, tentu saja Sugiono harus belajar mengemudikan mobil. Ia pernah menjajal, tapi nyalinya langsung ciut. Terutama ketika harus mengambil mobil barunya sendiri dari bilangan Kota. "Saya asal saja mengarahkan roda setir, antisipasi jarak, jangkauan, dan track-nya. Pokoknya asal jalan!" katanya. Sugiono tambah kesulitan ketika memasuki kawasan tempatnya bekerja, yang memiliki pintu gerbang sempit. Pengalaman sebelumnya, yang selalu berkendara dengan sepeda motor, membuat Sugiono tak mudah mengantisipasi apakah badan mobilnya menyerempet gerbang atau tidak. "Pakai sepeda motor tidak memerlukan antisipasi tambahan seperti menyetir mobil," katanya lagi. Sugiono menolak "menderita" lebih lama, otak penelitinya lalu bekerja mencari jalan pintas. Sebuah buku teks dari perpustakaan tentang kokpit pesawat tempur F-16 memberinya ide. Dari head-up display di kaca depan kokpit pesawat itu, yang sudah dilengkapi dengan proyeksi garis bidikan dinamis, menuruti posisi dan kedudukan kepala pilotnya, lahirlah goresan-goresan garis dan angka di kaca depan mobilnya. Eksperimen hitung-hitungan dikerjakannya di luar jam kantor. Bermodal komputer IBM Compatible dengan spesifikasi PC/XT pribadi, yang saat itu juga dibeli dengan mencicil, semangatnya menggebu seiring dengan keinginannya menguasai kemudi mobil. Awalnya, Sugiono menggunakan sablon, "Tapi malah bikin pusing karena mengganggu." Sablon lalu diganti dengan kaca film dan sekarang plastik translucent. Garis piramida pun kini sudah dikembangkan menjadi bentuk persegi untuk menyiasati ketergantungan perhitungan terhadap faktor tinggi mata si pengemudi. Artinya, dalam teknik sebelumnya, kokpit Sugiono hanya cocok untuk dirinya sendiri. Kalau ada orang lain yang meminjam mobilnya, misalnya, dasar hitung-hitungan kokpitnya harus diubah lagi. Stiker kaca film lama harus dikeletek dan ia mesti begadang dua malam membuat yang baru. "Tapi sekarang (yang model plastik translucent) sudah independen dari ketinggian orang," kata Sugiono.*