Setan, Teman Tidak Mesra

Djoko Su'ud Sukahariy -
detikcom<http://www.detikportal.com/index.php?fuseaction=detik.kanal&idkanal=103>




Jakarta, Ramadan terjalani sudah. Setan dibelenggu, agar manusia khusyuk
beribadah. Ramai-ramai menabung pahala, dan kembali fitri tatkala bulan
penuh berkah ini mengikuti putaran waktu, memasuki fitrahnya, balik seperti
sediakala. Benarkah jika setan 'absen' menggoda terjamin keharmonisan dunia?
Di bulan suci ini rasanya menarik untuk bicara soal itu.


Istilah setan atau iblis hanya ada dalam agama samawi, 'agama langit'.
Yahudi, Kristen dan Islam meyakini itu. Dia semula makhluk penjaga harta
surga, dan dilaknat Allah ketika menolak untuk mengakui eksistensi Nabi Adam
sebagai makhluk paling mulia. Itu karena setan terbuat dari api, sedang Adam
'hanya' terbuat dari tanah.


Setan tidaklah terbilang jumlahnya. Ahli tafsir memprediksi, kuantitas
malaikat paling banyak, disusul setan dan manusia. Disebutnya, jika ada
bilangan sepuluh, maka yang sembilan adalah malaikat, satu itu setan dan
manusia. Kalau satu itu dibulatkan menjadi sepuluh, maka yang sembilan itu
adalah setan, sedang yang satu itu manusia.


Manusia, setan dan malaikat adalah menyatu. Poros penyatuan itu ada dalam
diri manusia. Saban manusia ditemani dua malaikat yang bertindak sebagai
'akuntan' untuk menghitung baik dan buruk. Dan diasumsikan terdapat tiga
setan yang 'mengaduk-aduk' jeroan manusia. Mereka membisiki dan mempengaruhi
agar berbuat tercela.


'Jam kerja' setan dimulai sejak manusia dilahirkan ke dunia. Tangis bayi
yang bagi paramedis diasumsikan sebagai 'tanda kehidupan awal' sang bayi,
bagi keyakinan pengikut agama samawi merupakan sinyal awal masuknya setan
'merongrong' kebaikan manusia. Hanya satu manusia yang kelahirannya tidak
disertai setan, yaitu Nabi Isa.


Setan memang identik dengan keburukan. Buruk sangka dan buruk tindakan.
Akibatnya, keburukan yang dilakukan manusia itu akibat keterlibatan setan
atau bukan tidak pernah disoal. Semuanya ditimpakan pada makhluk yang pasti
masuk neraka itu. Setan terkadang 'kambing hitam' dari tindakan jelek
manusia.


Peter J Awn dalam 'Tragedi Setan' dengan sangat puitis mengatakan, "Setan
itu kasihan, 'berbuat baik' pun tetap masuk neraka. Namun ingat, kalau
mengasihani setan, itu hakekatnya sama dengan sudah digoda setan."Setan
berbuat baik? Ya. Perbuatan baik untuk sesuatu yang buruk.


Dalam sebuah kisah orang-orang suci diceritakan. Suatu hari, seorang sufi
sedang tertidur di sebuah bangunan tua yang akan roboh. Saking nyenyaknya
tidur sang sufi, hingga Ashar hampir 'habis', dia masih mendengkur di bawah
bangunan.


Saat itulah datang seorang tua. Dia membangunkan tidur orang suci ini. Sang
sufi yang sudah terasah batinnya itu terpana tatkala membuka mata. Ia tahu,
yang membangunkannya adalah setan yang menjelma sebagai orang tua. Sang sufi
pun menegur. "Aku tahu kamu setan, tapi mengapa membangunkan aku untuk
menunaikan salat Ashar?"


Setan ini menjawab tenang. "Sudah tunaikan dulu salatmu. Habis salat,
pertanyaanmu akan aku jawab. Cepat sekarang ambil wudhu dan tunaikan
perintah Tuhanmu."


Sang sufi beranjak meninggalkan bangunan tua itu. Dia ambli wudhu, dan
menunaikan salat ashar di pohon rindang yang ada di samping bangunan itu.
Saat salat, bangunan tua itu roboh. Sang sufi yang khusyuk tidak mendengar
itu. Habis salat, sang sufi yang penasaran mendekati setan itu. Dia kembali
bertanya, motivasi apa yang membuat setan itu membangunkan dan menyuruhnya
sembahyang.


Apa jawab setan itu? "Lihat bangunan yang kamu tiduri tadi. Bangunan itu
roboh. Kalau kamu masih ada disitu, kamu akan mati tertimpa reruntuhan.
Janji Allah, surga bagimu. Itu artinya, tertutup sudah pintu untuk
menggodamu. Aku tidak rela kamu masuk surga."


"Kamu kubangunkan salat, agar kamu terhindar dari kematian itu. Sekarang
kamu masih hidup. Aku masih punya kesempatan untuk menggodamu agar masuk
neraka." Dari kisah ini tampak, setan itu cerdik dan cerdas jika kita sedang
alpa. Jika kita sedang panik, dan otak serta batin kita lengah.


Namun adakah dengan demikian kita harus resah dengan godaan setan yang
cerdas dan ada dalam diri kita itu? Dalam 'Kisah Iblis' Nabi Muhammad SAW
mencegah para sahabat yang hendak membunuhnya. Saat itu iblis sedang
bertamu. Nabi menyatakan, seseorang yang sedang mengetuk pintu itu adalah
setan. Nabi menganjurkan para sahabat menanyai apa yang membuat iblis
gembira atau bersedih. Dari sana amalan yang tidak disukai setan dijalankan,
dan ditinggalkan sesuatu yang menjadi keinginan setan.


Iblis pun menguraikan kesukaan dan ketidaksukaannya. Dari dialog itu
terpampang, ternyata, jika kita tidak malas, tuntunan yang sudah kita
lakukan adalah langkah yang amat strategis untuk menjauhi keterlibatan setan
dalam diri kita. Salat dan amal yang tidak untuk pamer syarat utama.
Dzikrullah yang tidak putus patut dianut. Malah salat di waktu sahur saja
sudah mampu membutakan mata setan.


Tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa di negeri yang dipenuhi warga dengan
salat tidak pernah lowong itu korupsi juga tidak berhenti? Tipu-tipu rakyat
juga makin menjadi-jadi, dan pat-gulipat semakin menjadi tradisi?
Jangan-jangan yang kita lihat sebagai manusia itu ternyata setan atau iblis
yang berubah rupa. Naudzubillahi mindzalik !
*
Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di
Jakarta.*

Reply via email to