----- Original Message ----- 
From: Gunawan GTF


ACFTA-PASAR BEBAS 2010: 

“BUNUH DIRI EKONOMI INDONESIA”





[Al-Islam 489] Mulai 1 Januari 2010, Indonesia harus membuka pasar dalam negeri 
secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina. Sebaliknya, Indonesia 
dipandang akan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memasuki pasar dalam 
negeri negara-negara tersebut.



Pembukaan pasar ini merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas 
antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, 
Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-China 
Free Trade Agreement (ACFTA). Perjanjian ini sebenarnya sudah direncanakan 
sejak tahun 2002. Pertanyaannya, apakah kebijakan pasar bebas ini akan membawa 
perubahan nasib rakyat negeri ini yang masih dihimpit dengan kemiskinan? 





Pro-Kontra Pasar Bebas ASEAN-Cina





Pihak yang pro menyatakan ACFTA tidak hanya berarti ancaman serbuan 
produk-produk Cina ke Idonesia, tetapi juga peluang Indonesia untuk 
meningkatkan ekspor ke Cina dan negara-negara ASEAN. Menteri Perdagangan Mari 
Elka Pangestu menegaskan bahwa free trade agreement (FTA) memberikan banyak 
manfaat bagi ekspor dan penanaman modal di Indonesia (Kompas, 5/1/2010).



Kekhawatiran akan dampak negatif perdagangan bebas ASEAN-Cina juga ditepis 
Pemerintah melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito 
Abimanyu. Menurut Abimanyu, proporsi perdagangan antara Indonesia, ASEAN dan 
Cina hanya 20% saja. 



Sebaliknya, Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyatakan 
kekhawatirannya atas pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN-Cina, di antaranya 
terjadinya perubahan pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi pedagang. 
Intinya, jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor harga barang-barang 
impor yang lebih murah, akan banyak industri nasional dan lokal yang gulung 
tikar hingga akhirnya berpindah menjadi pedagang saja (Republika, 4/1/2010).



Ernovian mencontohkan, jumlah industri tekstil dari kelas industri kecil hingga 
besar bisa mencapai 2.000. Jika setiap industri tekstil mampu menyerap 12-50 
orang tenaga kerja, maka bisa dibayangkan kehancuran industri karena akan 
banyak pengusaha yang beralih dari produsen tekstil menjadi pedagang. Hal ini 
sekaligus berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja.



Mantan Dirjen Bea Cukai, Anwar Surijadi, juga mempertanyakan manfaat 
pemberlakukan perdagangan bebas ini bagi masyarakat (Republika, 4/1/2010). 



Hal yang sangat dikhawatirkan mengenai dominasi Cina terhadap Indonesia juga 
disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Menurut Hidayat, dalam kerangka 
ACFTA yang berlatar belakang semangat bisnis, Cina bisa berbuat apa pun untuk 
mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekonominya jauh di atas Indonesia 
(Bisnis Indonesia, 9/1/2010).



Pelaku pasar di sektor usaha kecil memahami dan merasakan betul risiko dan 
dampak dari perdagangan bebas ini. Sekitar 1.000 orang pelaku usaha kecil dan 
menengah yang tergabung dalam komunitas UMKM DI Yogyakarta mendatangi Dewan 
Perwakilan Rakyat Daerah DIY, Senin (11/1/2010). Mereka mendesak DPRD, DPR dan 
pemerintah pusat melindungi produk-produk UMKM yang terancam produk-produk Cina 
seperti batik, tekstil, kerajinan, jamu dan lainnya. Para petani di bagian 
Indonesia timur juga mengeluh dan mengkawatirkan dampak matinya produk beras 
mereka. (Antara, 11/1/2010). Masih banyak lagi kenyataan yang menunjukkan bahwa 
perdagangan bebas secara liar justru akan menjerumuskan rakyat ke dalam jurang 
kemiskinan dan menjadikan rakyat hanya sebatas konsumen, jongos bahkan lebih 
buruk dari itu.





‘Bunuh Diri Ekonomi’ 





Sebelum adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Cina saja, kita sudah 
mendapatkan hampir segala lini produk yang dipergunakan di rumah dan 
perkantoran bertuliskan Made in China. Bahkan tidak sedikit produk dari negara 
maju yang masuk ke Indonesia pun mengikutsertakan produk Cina sebagai 
perlengkapannya. Seorang ekonom yang juga pejabat menteri ekonomi di Kabinet 
Pemerintahan sekarang mengomentari bahwa dengan dimulainya perdagangan bebas 
Indonesia-Cina, serbuan produk Cina ke Indonesia akan “seperti air bah”. 



Karena itu, pemberlakuan pasar bebas ASEAN-Cina sudah pasti menimbulkan dampak 
sangat negatif. Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat 
mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum 
tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan 
industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran 
industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 
2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri 
pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh 
penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah 
IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 
dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di 
antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk 
dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). 



Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga 
yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari 
produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. 
Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 
15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), 
Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, 
apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat 
memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap 
pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir 
tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, "Buat apa 
memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak 
perlu repot-repot jika diproduksi sendiri."



Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang 
jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang 
harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. 
Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.



Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. 
Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk "tetek bengek" seperti jarum 
saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan 
sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai 
asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia? 



Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin 
produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan 
Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke 
Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor 
Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, 
yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil 
olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah 
sangat digemari oleh Cina yang memang sedang "haus" bahan mentah dan sumber 
energi untuk menggerakkan ekonominya. 



Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam 
pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan 
lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru 
bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja 
jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.



Walhasil, perdagangan bebas yang dijalani Pemerintah hakikatnya adalah ‘bunuh 
diri’ secara ekonomi.





Perdagangan Bebas: Haram!





Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. 
Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab 
pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu 
dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi ini 
sekaligus akan merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan 
investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan 
mengalirnya investasi.



Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari tiga aspek: 



Pertama, dihilangkannya peran negara dan pemerintah di tengah-tengah 
masyarakat, yang notabene harus berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh 
urusan rakyatnya. Padahal dengan tegas Rasulullah saw. bersabda: 





فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ 



Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas 
pengurusan mereka (HR Muslim).





Kedua, perdagangan bebas, dimana seluruh pemain dunia, bisa bermain di dalam 
pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut 
berasal dari Dar al-Harb Fi'lan atau tidak, juga jelas bertentangan dengan 
Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan internasional tersebut berdasarkan 
pelakunya; jika berasal dari Dar al-Harb Fi'lan, seperti AS, Inggeris, 
Perancis, Rusia, dsb, jelas haram. 



Ketiga, perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi dan dominasi 
asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling 
efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Dalam hal ini, jelas haram, 
karena Allah SWT berfirman: 





وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا



Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk 
memusnahkan orang-orang Mukmin (Q.s. an-Nisa' [04]: 141).





Selain itu, Nabi saw. juga bersabda: 



لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الإسْلاَمِ



Tidak boleh ada bahaya dan dhirar di dalam Islam (H.r. Ibn Majah)





Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA merupakan bentuk penghianatan 
terhadap rakyat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi. 
Dengan perjanjian tersebut, sengaja atau tidak, Pemerintah telah membunuh usaha 
dan industri dalam negeri baik skala besar apalagi skala kecil, yang tentu akan 
berdampak pada makin meningkatnya angka pengangguran. 



Sesunguhnya Islam telah menawarkan kepada umat suatu sistem ekonomi yang dapat 
membangun kemandirian negara sekaligus menjamin berkembangnya industri-industri 
dalam negeri serta sektor ekonomi lainnya. Sistem Ekonomi Islam mengatur 
kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kewajiban negara 
adalah memastikan tersedianya bahan baku, energi, modal dan pembinaan terhadap 
pelaku ekonomi rakyatnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang 
sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Eskpor 
bahan mentah, misalnya, seharusnya dibatasi. Sebaliknya, ekspor barang-barang 
hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah harus terus ditingkatkan 
selama telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya, impor barang-barang 
yang bisa mengancam industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya 
hanya terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam 
negeri. Semua itu dilakukan antara lain dalam melindungi berbagai kepentingan 
masyarakat. Sebab, kewajiban negaralah untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya. 
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [] 





KOMENTAR ALISLAM:



Presiden SBY berjanji akan terus tingkatkan kualitas demokrasi (Kompas, 
12/1/2010).



Demokrasi yang bekualitas tak menjamin apapun selain menjadi sumber 
kesengsaraan. 



Kirim email ke