*Tahap-tahap Penentuan Awal Bulan Qamariah Perspektif NU*


Dalam sejarah, sejak zaman Sahabat Rasulullah SAW hingga sekarang ternyata
para khalifah, sultan, ulil amri menggunakan sistem rukyah sebagai dasar
itsbat atau penetapan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan
Dzulhijjah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, meskipun pada abad 8
masehi sudah masuk ilmu hisab dari India.


Memahami, menghayati, dan mengamalkan *ad-dinul islam*, harus mendasarkan
pada asas  *ta’abbudiy *(ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnaan *ta’abbudiy
*perlu didukung dengan menggunakan asas *ta’aqquliy *(penalaran). Dalam
konteks ini, asas *ta’abbudiy *dilaksanakan dengan mengamalkan perintah
rukyatul hilal. Untuk kesempurnaan rukyatul hilal perlu didukung dengan
menggunakan asas *ta’aqquliy*, yakni dengan memanfaatkan ilmu hisab.


NU dalam menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal
bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, melalui empat tahap, yaitu:



1.     Tahap pembuatan hitungan hisab

2.     Penyelenggaraan rukyatul hilal

3.     Berpartisipasi dalam sidang itsbat

4.     Ikhbar



*Tahap Pembuatan Hitungan Hisab*


Ilmu falak berkembang di kalangan NU sejak abad 19. Lembaga-lembaga
pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah memberikan pendidikan ilmu
falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU
tersebar di seluruh Indonesia.


Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai
daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah;
menyelenggarakan diklat hisab dan rukyah dari tingkat dasar sampai tingkat
mahir; menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya.


Setiap menjelang awal tahun, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab,
astronom, dan ahli rukyah untuk merumuskan hitungan hisab kalender
tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan
melalui almanak setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul
hilal.


Hisab yang digunakan sebagai pemandu dan pendukung rukyah didasarkan pada
metode rukyah yang tinggi akurasinya, terutama dari karya para ahli di
kalangan NU, seperti antara lain: *al-Khulashatul wafiyah *karya KH Zubair
Umar; *Badi’atul Mitsal *dan *Durusul Falakiyah *karya KH Ma’shum Ali; *Nurul
Anwar *karya KH Noor Ahmad SS; *Irsyadul Murid *karya KH Ahmad Ghazali
Muhammad Fathullah; *Mawaqit *karya Dr Ing H Khafid; dan Hisab dan Rukyah
dalam Teori dan Praktik karya Drs H Muhyiddin, M Si. Metode-metode ini
termasuk kelompok tingkat *haqiqi tahqiqi *dan *tadqiqi*/*’ashri *
(kontemporer).


Selain hitungan hisab didasarkan pada metode tahqiqi dan tadqiqi, NU juga
menerima *haddu imkanir rukyah *(kriteria visibilitas hilal). Kriteria
imkanur rukyah ini digunakan untuk menolak laporan hasil rukyah, sedang
secara astronomis ketinggian hilal ketika itu belum memungkinkan dirukyah.
Tetapi imkanur rukyah tidak dijadikan sebagai penentuan awal bulan
qamariyah.


Perhitungan hisab awal bulan qamariyah yang didasarkan pada metode *haqiqi
tahqiqi, tadqiqi/’ashri *(kontemporer) dan kriteria *imkanur rukyah*,
digunakan untuk memandu dan mendukung penyelenggaraan rukyatul hilal.


*Penyelenggaraan Rukyatul Hilal*


Sesungguhnya rukyat/observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan
dan matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi
rukyat, observasi demi observasi dilakukan kemudian dicatat dan dirumuskan,
lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi.


Rukyat/observasi adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa
rukyat/observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi. Tanpa ada
rukyat/observasi yang berkelanjutan, maka ilmu hisab akan mandeg/statis.
Dengan demikian rukyat itu ilmiah.


Di satu sisi rukyat berfungsi mengoreksi hitungan hisab, dan di sisi lain
hisab menjadi pemandu dan pendukung rukyat.


Rukyat yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional, yakni rukyat yang
diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan
hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah
menjadi masalah. (Lebih lanjut mengenai ini akan dibahas di rubrik Syari’ah)


Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di
titik-titik strategis yang telah ditetapkan (saat ini ada 55 tempat) di
seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana
rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan
bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.


Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan
teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i.


*Berpartisipasi dalam Sidang Itsbat*


Hasil penyelenggaraan rukyatul hilal di lapangan dilaporkan kepada PBNU.
Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan
tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan
dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu
berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.


Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka
menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan
Rasulullah SAW.


Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai
Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana tersebut
dalam hadits:


“*Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal
(melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa
sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan
memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa*”. (HR Abu Dawud, Daruquthni,
dan Ibnu Hibban)


Hadits ini menunjukkan:

1.     Tingginya semangat melaksanakan rukyat di kalangan para sahabat.

2.     Para sahabat tidak memutuskan sendiri dan tidak mau mendahului
Rasulullah SAW.

3.     Itsbat sepenuhnya ada di tangan Rasulullah SAW. baik sebagai Rasul
Allah, maupun sebagai kepala Negara.

4.     Itsbat Rasulullah SAW. berlaku bagi semua kaum Muslimin dan mengatasi
perbedaan yang mungkin timbul di kalangan sahabat.


Itsbat suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal
bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia
wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat
harus didasarkan dalil *rajih*, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil
itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah
diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota BHR, wakil-wakil Ormas
Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat.
Dalam kesempatan ini, NU melaporkan hasil penyelenggaraan rukyatul hilal dan
perhitungan hisabnya sebagai bentuk partisipasi dalam rangka itsbat.


Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan
hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh
ummat Islam di seluruh NKRI tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi
harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan
Rasulullah SAW. dan para sahabat.


*Ikhbar (Pemberitahuan)*


Setelah dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar tentang sikap NU
mengenai penentuan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan
Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat
sesuai dengan kriteria *imkanur rukyat*.


Ikhbar akan mempunyai daya dukung terhadap itsbat, jika Menteri Agama RI
memutuskan atas dasar dalil *rajih*. Sebaliknya ikhbar berfungsi sebagai
kritik atas itsbat yang tidak didasarkan pada dalil rajih.


Ikhbar adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan
setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara
*jam’iyyah
*(kelembagaan) harus dilaksanakan.


Dari paparan di depan, dapat dipahami bahwa penentuan awal bulan Qamariah,
khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah
dengan memperhatikan 4 aspek, yaitu:



1.     Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan *rukyatul hilal.*

2.     Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria *imkanur
rukyat *tentang *dzuhurul hilal *(penampakan bulan sabit).

3.     Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional.

4.     Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat
dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan

* *

*KH. A. Ghazalie Masroeri*

*Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)*


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Reply via email to