Membaca Nalar Politik Pesantren


[image: Membaca Nalar Politik Pesantren]


Judul                : Rethinking Pesantren

Penulis             : Prof Dr H Nasaruddin Umar, MA

Editor               : Nailunni’am, Lc

Penerbit            : Quanta, Elex Media Komputindo, Kompas-Gramedia,
Jakarta, 2014

Tebal                : viv, 141 hlm.

Peresensi          : Mamang M. Haerudin, *khadimul ma’had di pesantren
Raudlatut Tholibin, Babakan-Ciwaringin-Cirebon*



Tahun 2014 menjadi tahun paling ‘panas’ dan menegangkan dalam iklim
demokrasi di Indonesia. Setelah sebelumnya sukses memilih para wakil rakyat
(legislatif), pada 9 Juli 2014 mendatang, masyarakat Indonesia akan
melaksanakan pilpres, menunaikan hak pilihnya untuk masa depan Indonesia 5
(lima) tahun ke depan. Sebuah kenyataan yang mendebarkan, sebab nasib
Indonesia ke depan, begitu bergantung pada pelaksanaan pilpres ini.


Tentu saja kita tidak mau nasib bangsa begitu saja tergadaikan dan
tercederai oleh praktik politik praktis. Praktik politik yang tak
bersendikan etika, penuh manipulasi, dan politik transaksional. Karena itu
menurut ulama Syafi'iyah, politik harus sesuai dengan prinsip syari'at
Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan harus diarahkan untuk
mencapai tujuan umum prinsip syari'at *(maqashidus syari’at)*. Tujuan
tersebut di antaranya: *Pertama*, menjunjung tinggi kebebasan beragama
sebagaimana Islam yang memiliki spirit membebaskan. *Kedua*, mengembangkan
nalar sehat untuk kemaslahatan umat. *Ketiga*, melindungi jiwa raga setiap
manusia dari segala bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang
primer, sekunder, maupun tersier. *Keempat*, menjaga harta kekayaan dengan
pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa eksploitasi.
*Kelima*, memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun
rohani.


Prinsip demikian yang terekam dari sejarah panjang dan nalar politik
pesantren sebagaimana dipotret secara jelas dalam buku *Rethinking
Pesantren*. Buku ini terdiri dari beberapa bagian; Bagian *pertama*,
memotret asal-usul pesantren dari waktu ke waktu. Bagian *kedua*, tentang
kiai dan perannya dalam kehidupan sosial politik. Bagian *ketiga*,
mempertegas peran santri dalam dinamika sosial politik Islam Indonesia. Dan
bagian *kelima*, bagian penutup, seputar pesantren dan politik kultural.


Demikian kita bisa membaca nalar politik pesantren yang selalu menarik
banyak perhatian banyak pihak. Pesantren selalu menjadi magnet para
politikus (pejabat) yang menghasilkan. Tak pelak, mereka tak segan
melakukan berbagai safari politik ‘dadakan’ dengan melakukan ziarah ke para
wali dan kiai, silaturahmi ke kiai-kiai pesantren, dan aktivitas yang
dianggap religius lainnya.


Realitas politik semacam itu juga diamini oleh Prof Nasar, bahwa dalam
persoalan politik, karisma kiai merupakan sesuatu yang menggoda bagi
siapapun yang berkuasa. Akibatnya, sering kali kiai didekati oleh para
pejabat untuk meraih simpati masyarakat. Dari kedekatan-kedekatan tersebut
mengalir segala macam bantuan dari pemerintah kepadanya. Lagi-lagi
masyarakat bawah mendapat untung karenanya. (Hlm, 47).


Namun patut dipahami, bahwa politik hanya salah satu dari sekian banyak
peran pesantren dalam memainkan peran sosialnya. Bahwa pesantren, sebagai
lembaga asli yang lahir dari rahim Indonesia, mampu menangkap
persoalan-persoalan masyarakat secara komprehensip. Kesadaran akan peran
ini tak lain adalah sebagai wujud dari orientasi pesantren dalam upaya
dakwah *bil hal, *yakni dakwah sosial yang betul-betul nyata dan mendesak
dibutuhkan masyarakat.


Yang unik dari pesantren adalah mereka mempunyai tradisi tersendiri. Salah
satu tradisi dalam memainkan peran sosialnya, pesantren selalu menjaga erat
hubungannya dengan masyarakat. Tradisi-tradisi itu di antaranya tahlil,
marhabanan, manaqiban, dan lain sejenisnya. Bagi sebagian pihak yang tak
tahu kultur pesantren, tradisi semacam ini dianggap sebagai tradisi yang
kuno dan tak relevan dengan zaman. Tetapi bagi pesantren, tradisi semacam
ini justru menjadi wadah efektif untuk memperat tali silaturahmi secara
kontinyu. Disadari atau tidak di sinilah pesantren melakukan kontrol
sosial.


Lebih dari pada itu, pesantren juga mengilhami tradisi tirakat. Merujuk
pada pandangan Prof Nasar dalam buku ini, bahwa para ulama sangat yakin,
bahwa dengan dijadikannya diri mereka sebagai pemimpin dalam masyarakat,
maka semakin bertambah pula amanat yang mereka pikul. (Hlm, 51). Para kiai
sadar bahwa dalam menghadapi segala problem sosial masyarakat, termasuk
problem politik, tak hanya cukup mengandalkan logika rasional, melainkan
harus melibatkan kekuatan spiritual yang dijalankan dengan ikhtiar tirakat;
puasa sunah, zikir, shalat sunah, dan berbagai *riyadloh* lainnya.


Karena itulah nalar politik pesantren melalui kiai dan para santrinya,
sering kali sulit dibaca dan ditebak. Para pengamat politik pun
berpandangan beragam, sering kali menyulut peredebatan sengit. Inilah
kekuatan nalar dan fitrah politik pesantren, karena pesantren tahu betul
bahwa politik bukanlah tujuan, melainkan hanya *wasilah* (sarana) untuk
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk melakukan manipulasi dan
merampas kemanusiaan. Pesantren bersikukuh pada perwujudan *baldatun
thayyibun warabbun ghafuur* (negeri yang indah dan mendapatkan pengampunan
dari Allah).


*Walhasil*, membaca nalar politik pesantren tak ubahnya membaca politik
Islam Indonesia, dan itu artinya membahas nasib bangsa jauh ke depan.
Meminjam istilah Prof Nasar, bahwa apa yang tengah ditempuh oleh pesantren
oleh para kiai adalah langkah *back to basic*, kembali ke pesantren dan
menjadi kiai kultural. Jalan kultural inilah yang begitu efektif untuk
terus melakukan kritisasi secara objektik dan independen, tanpa memedulikan
figur pemegang kekuasaan, tetap menjadi pengayom sejati masyarakat dan
bangsa. Dan buku ini betul menuntun pikiran dan nurani kita untuk kembali
memikirkan dan mempertimbangkan kontribusi dan peran pesantren untuk bangsa
ini. Apalagi buku ini ditulis oleh seorang yang kapasitasnya sebagai
pimpinan pesantren, mustasyar PBNU, dan cendekiawan Muslim. *Wallahua’lam
bis shawab. []*



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
  • [keluarga-islam] (Buku o... Ananto pratikno.ana...@gmail.com [keluarga-islam]

Kirim email ke