*Usaha Memperluas Pemahaman Terhadap Sebuah Tradisi*

Oleh: Fathoni






--Secara leksikal, tradisi berarti kebiasaan. Ya, kebiasaan yang
berkesinambungan dalam kehidupan masyarakat sehingga tak jarang manusia
meyakininya sebagai sebuah laku sosial maupun keagamaan yang harus
dilaksanakan. Oleh sebab itu, tak jarang sebuah tradisi berbenturan dengan
keyakinan agama bagi sekelompok orang, terutama dalam lingkup agama Islam
di Indonesia.






Sebenarnya pemahaman seperti itu kontradiktif mengingat agama Islam di
Nusantara ini disebarkan melalui instrumen tradisi dan budaya. Wali Songo,
sebagai pelaku penyebaran Islam di Nusantara tidak memberangus sedikitpun
tradisi maupun budaya orang-orang Nusantara. Justru mereka menjadikan semua
itu sebagai media dalam proses internalisasi nilai-nilai Islam sehingga
Islam dengan mudah dapat merasuk ke dalam hati mereka di tengah keyakinan
nenek moyangnya yang telah berjalan selama berabad-abad.






Tak bisa dipungkiri, tradisi yang lahir dari manusia secara sosiologis
memberikan warna dan kekayaan dalam kehidupan sebagai sebuah media perekat
secara humanis dari orang per orang maupun sekelompok orang sehingga
membentuk semacam tali kasih kuat yang jika satu orang mengalami kesusahan,
semua orang tentu akan merasakan hingga timbul rasa ingin membantu. Misal
tradisi sedekah bumi, sekelompok orang menilainya sebagai sebuah laku agama
yang dapat menggelincirkan akidah.






Padahal bagi orang-orang dengan pemahaman Islam secara substantif tidak
demikian. Sebab, dalam kemasan tradisi sedekah bumi tersebut, kita
berdzikir memuji Allah swt dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an, kalimah
tahlil, dan kalimah-kalimah toyyibah lain yang kesemuanya bermuara kepada
Allah dan Kekasih-Nya Muhammad saw dengan khusyu dan penuh khidmat. Itulah
pemahaman orang-orang Nusantara dari zaman Wali Songo hingga sekarang yang
tidak lagi menjadikan para leluhur sebagai muara dari ritualnya. Hingga
sekarang, 400 lebih suku bangsa di Indonesia dengan ribuan tradisi di
dalamnya telah mampu merekatkan seluruh bangsa Indoensia.






Jika sebagian atau sekelompok orang ingin mereduksi atau menghancurkannya,
maka perbuatan tersebut sama saja dengan menghancurkan alat pemersatu
bangsa Indonesia. Kalau dahulu tradisi digunakan oleh orang-orang Nusantara
untuk meminta pengasihan kepada para leluhur, tentu zaman sekarang
pemikiran tersebut telah hilang. Sebab, para Wali Songo dan ulama-ulama
Nusantara telah mengisinya dengan nilai-nilai Islam yang dibawa Kanjeng
Nabi saw dengan tidak merusak tradisi. Analoginya, jika ada sebuah gelas
yang berisi air keruh, kita tidak harus serta merta membanting gelas untuk
membuang airnya. Cukup dengan membuang air keruhnya untuk kemudian diisi
dengan air putih bersih nan bening sehingga kita tetap bisa menggunakan
gelas tersebut selamanya. Inilah yang seharusnya dipahami dari sebuah
tradisi yang dapat menjadi media perekat kehidupan masyarakat. Tentu peran
para ‘alim ulama sangat penting dalam memahamkan esensi Islamnya sehingga
masyarakat tidak tergelincir dalam pemahaman yang keliru.






Dengan ingin mereduksi tradisi, tentu sekelompok orang ini memahami Islam
dari kulit luarnya saja. Rekonstruksi kehidupan manusia yang terjalin
melalui tradisi yang memunculkan berbagai kekayaan pemikiran dan laku
sosial serta dibalut dengan kehidupan beragama dianggap sebagai sebuah
kesesatan. Mereka menganggap Islam bisa diterapkan hanya dengan
‘bercuap-cuap’ tanpa alat atau media. Padahal selama ini, dakwah seperti
itulah yang cenderung menciptakan sikap eksklusif (menutup diri) sehingga
yang timbul adalah sifat kaku dan keras dalam mendakwahkan Islam. Sedangkan
dalam sejarahnya, Islam disampaikan secara inklusif (terbuka dengan
siapapun dan apapun) dengan tidak gampangnya melontarkan kata-kata kafir,
sesat, bid’ah, dan sebagainya terhadap kelompok lain apalagi dengan
kelompoknya sendiri dengan alasan mengotori ajaran agama Islam karena
mencampuradukan Islam dengan tradisi dan budaya.






Jika pemahaman dan sikap seperti ini yang dibawa oleh para Wali Songo,
Islam di Indonesia tidak akan sebesar seperti sekarang. Oleh karena itu,
atas jasa-jasanya, kesalehaannya secara sosial dan spiritual, dan
kedekatannya dengan dengan Allah swt, masyarakat Nusantara tidak
henti-hentinya menziarahi makam para Wali. Tapi sayang, dengan pola pikir
piciknya pula, tradisi ziarah juga dinilai sebagai perbuatan sesat oleh
orang-orang inklusif tersebut. Tentu, masyarakat tidak bermaksud menyembah
kuburan melainkan mendoakan orang saleh dengan cara mengunjunginya. Apakah
dengan shalat menghadap tembok lantas kita menyembah tembok?






Dari hal di atas mengandung esensi bahwa hanya jasadlah yang meninggal, ruh
tetap hidup. Kendati demikian, jasad kekasih Allah yaitu para Nabi dan Wali
tidak akan hancur untuk selamanya karena dipelihara Allah. Oleh sebab itu,
orang-orang saleh yang telah meninggal dapat menjadi perantara (wasilah)
permohonan kita kepada Allah, karena mereka sangat dekat dengan-Nya.
Seperti kita hendak memetik buah pada ketinggian, sedangkan kita tak bisa
memanjat, tentu kita butuh wasilah tongkat untuk dapat memperoleh buah
tersebut.






Tradisi sebagai Sebuah Simbol






Dalam memperluas pemahaman terhadap tradisi dapat juga dengan mencatatkan
diri bahwa tradisi adalah sebuah simbol. Perlu kita ketahui bersama bahwa
instrumen pengingat yang paling efektif adalah simbol. Dengan kata lain,
simbol adalah pengingat. Misal di perjalanan, simbol S dengan strip garis
merah mengingatkan kita bahwa dilarang stop (berhenti) di area tersebut.
Jika tidak diingat, tentu akan membahayakan diri dan orang lain. Begitu
juga dengan simbol-simbol lalu lintas yang lain.






Contoh lain, ada seseorang yang hendak mencari Kantor Pusat Kementerian
Agama di Jakarta. Dia belum tahu letak gedungnya. Tiba-tiba di tengah jalan
dia melihat gedung yang cukup tinggi dari kejauhan dengan simbol segi lima
warna hijau dengan gambar kitab di tenganhya. Dia tahu bahwa itulah kantor
yang dia tuju dengan mengingat simbol atau logo yang terlihat dari jarak
jauh tersebut.






Artinya, simbol adalah petunjuk. Sama seperti sebuah tradisi. Jika tak bisa
memahami dari sudut pandang agama yang akhirnya hanya bisa mengkafirkan,
cukup tradisi dipahami sebagai simbol untuk mengingat ayat-ayat Tuhan.
Contoh tradisi sedekah bumi sebagai simbol untuk mengingatkan kita bahwa
manusia harus selalu bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat berupa kesuburan
tanah dan melimpahnya hasil panen. Melalui sedekah bumi juga, masyarakat
dapat saling mengenal sehingga tercipta kondisi yang guyub-rukun. Begitu
juga dengan tradisi ziarah kubur sebagai simbol pengingat manusia akan
kehidupan sementara di dunia. Selain itu, dengan mulianya para Wali yang
tempat peristirahatan terkahirnya banyak dikunjungi, cukuplah menjadi
simbol agar manusia berlaku baik selama hidupnya sehingga menjadi seorang
kekasih yang dikasihi Tuhannya.






Dengan berpikir dan bersikap seperti demikian, tentu sebagai makhluk
berbudaya, manusia tidak akan mudah men-judge dan menghukumi sesat apalagi
berusaha menghilangkan sebuah tradisi yang jelas-jelas mampu mempererat dan
merekatkan kehidupan masyarakat dari berbagai kelompok, suku, maupun
keyakinan. Antipati terhadap sebuah tradisi, berarti tak simpati pula
dengan kekayaan berpikir manusia yang telah menjadi keniscayaan dalam
mengelola hidupnya sebagai seorang khalifah. Nah, dalam hal ini, tradisi
dapat dianggap sebagai sebuah instrumen manusia sebagai seorang khalifah
dalam mengelola kehidupan di bumi. Wallahu‘alam bisshowab... []






 Fathoni, Pegiat Kajian Islam Nusantara STAINU Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke