Kiai Machfudz Siddiq Sang Pemula





Walaupun KH Machfudz Siddiq tinggal di luar Ibu Kota Propinsi, tetapi
kreativitasnya untuk mengembangkan organisasi yang berskala nasional tidak
pernah terhenti, sekitar tahun 1935 kiai ini telah merintis berdirinya
majalah NU, yaitu Soeara Nahdlatoel Oelama. Tulisannya tersebar ke seluruh
Nusantara dan digemari para Kiai serta santri, apalagi Majalah itu terbit
dalam dua aksara, baik aksara Arab maupun Aksara Latin dengan menggunakan
bahasa Melayu dan bahasa Jawa.




Melihat pengetahuannya yang luas, pikirannya yang jernih dan mendalam itu
orang semakin tertarik untuk mengikutinya, karena itu pada Muktamar NU
ke-12 di Malang 1937 kiai ini dipilih menjadi Ketua Hoftbestuur Nahdlatul
Ulama (Ketua Umum PBNU). Walaupun Muktamirin telah sepakat memilihnya,
tetapi Kiai yang juga pujangga ini menolak dengan alasan masih akan
konsentrasi mengelola majalah dan pesantrennya di Jember.




Melihat keinginan Muktamirin itu akhirnya KH Hasyim Asy’ari turun sendiri
dengan meminta kesediaan Kiai Machfudz Siddiq. Karena yang meminta Rois
Akbar, maka tidak ada jalan lain kecuali harus menerima. Tetapi masalah
besar muncul bahwa Kiai Machfudz tidak memiliki rumah di Surabaya, pusat
kantor PBNU Saat itu. Akhirnya Muktamirin mengedarkan kotak sumbangan untuk
menyewakan rumah bagi ketua umumnya, uang pun didapat dari Muktamirin
dengan jumlah yang melebihi kebutuhan sewa rumah, tetapi juga untuk
membantu kehidupan Sang Kiai dengan keluarganya hidup di Surabaya.




Saat menjadi ketua Umum PBNU itu pikirannya semakin tumbuh subur, selain
melakukan penataan organisasi secara modern, merumuskan  metode dakwah yang
efektif, penerbitan majalah dan koran semakin digencarkan, juga merumuskan
tentang prinsip pengembangan masyarakat yang dikenal dengan mabadi khoiro
ummah. Pikiran ini sangat terkenal di kalanagan ulama saat itu dan
digunakan hingga sekarang.




Ketika masa Orde Baru NU mengalami kemunduran yang sangat drastis ditekan
oleh rezim itu sehingga NU tercabik-cabik. Melihat kenyataan itu  sekitar
tahun 1980-an Kiai Ahmad Siddiq (adik Kiai Machfudz Siddiq) menyampaikan
keluhannya pada Kiai Muchith Muzadi. “Kita ini sudah berumur 50 tahun lebih
tetapi belum bisa berbuat apa-apa seperti yang dulu dilakukan Kiai Machfud
yang saat itu baru berusia 30-an tahun, sehingga kita tidak bisa mendandani
Nu yang sedang jatuh ini.”




“Sampeyan yang sudah bisa berbuat banyak masih mengeluh, lalu bagaimana
dengan orang seperti saya yang seumur-umur belum bisa berbuat apa-apa,
tentunya saya harus lebih mengeluh lag kiai,” jawab Kiai Muchith sedih.




“NU ini milik Allah dan milik ummat, semoga Allah mengirimkan pemimpin
besar untuk kembali menegakkan NU di tengah bangsa ini, sehingga bisa
dijadikan jalan menuju keridloan hidup di dunia dan akhirat.”




Tidak lama setelah itu yakni 1983 islah antara kubu NU Situbondo dan kubu
Cipete terjadi, lalu diadakan Munas 1983 dan Muktamar NU 1984, di
Situbondo. Tanpa diduga sebelumnya KH Achmad Siddiq terpilih sebagai Rois
Aam dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum, sementara Mustasyarnya KH
As’ad Syamsul Arifin merupakan paduan yang sangat ideal, yang mampu membawa

NU ke puncak kemajuan, sehingga NU menjadi organisasi paling disegani  baik
di level nasional maupun dilingkungan diplomasi internasional. []






(Abdul Mun’im DZ)






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke