Mengenang KH Wahab Hasbullah

Oleh: Mohammad Affan






Umat Islam Indonesia, khususnya warga Nahdliyin, patut bersyukur. Salah
satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang juga pejuang kemerdekaan, KH Abdul
Wahab Hasbullah, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dalam rangka
peringatan Hari Pahlawan tahun ini.






SK penetapan diberikan Presiden RI Joko Widodo, Jumat (7/11), di Istana
Merdeka dan diterima perwakilan keluarga, salah satunya Romahurmuziy yang
juga politisi PPP. Gelar pahlawan itu telah diusulkan sejak 1989 di masa
Orde Baru. Usulan itu tidak mendapat respons pemerintah, lalu kembali
diusulkan pada 2012.






Meskipun terbilang lambat, gelar pahlawan nasional yang baru diberikan
tahun ini patut disyukuri. Bukan Kiai Wahab yang membutuhkan gelar atau
pengakuan, tetapi kewajiban negara mem berikan penghargaan dan apresiasi
atas jasa perjuangan anak bangsa yang telah mengokohkan negeri ini.






Sumbangan Kiai Wahab untuk bangsa ini sangat besar. Sebelum membidani
lahirnya NU bersama Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari pada 1926, Kiai Wahab
telah merintis organisasi Nahdlatul Wathan (NW) tahun 1916. Secara literlek
Nahdlatul Wathan berarti "kebangkitan Tanah Air" atau dapat dimaknai juga
"gerakan kebangsaan." Organisasi pergerakan ini bertujuan menggembleng
generasi muda menjadi pembela Islam dan pembela Tanah Air melalui jalur
pendidikan.






Dari NW lahirlah cabang-cabang organisasi di berbagai daerah dengan nama
variatif agar tidak dicurigai Belanda, tapi tetap menggunakan embel-embel
Wathan. Di Wonokromo diberi nama Ahlul Wathan (Warga Bangsa), di Gresik dan
Malang bernama Far'ul Wathan (Elemen Bangsa), di Jombang disebut Hidayatul
Wathan (Pencerah Bangsa), di Pacarkeling Khitabatul Wathan (Pembela
Bangsa), dan di Semarang Akhul Wathan (Solidaritas Bangsa). Hingga akhirnya
NW tersebar di seluruh kota Jawa dan Madura.






Kiai Wahab juga merintis organisasi Nahdlatut Tujjar (NT) "kebangkitan kaum
saudagar". Jika segmen NW adalah kaum muda di bidang pendidikan, maka NT
menyasar kalangan pengusaha dan niagawan yang bergerak di bidang ekonomi.
Tujuannya sama, menggalang berbagai elemen bangsa dengan segala sumber daya
yang dimilikinya untuk berjuang membela negara dan agama dari kolonialisasi
bangsa asing. Dua organisasi inilah yang kemudian menjadi embrio lahirnya
Nahdlatul Ulama.






Jasa besar Kiai Wahab yang tak bisa diabaikankan juga adalah perannya dalam
peristiwa 10 November 1945. Momen bersejarah yang kemudian diperingati
sebagai Hari Pahlawan ini tidak lepas dari fatwa Resolusi Jihad yang
dikeluarkan Rais Akbar PBNU Kiai Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945.






Adalah Kiai Wahab yang saat itu menjabat Khatib Am PBNU mengawal
implementasi fatwa di lapangan. Berdasarkan fatwa itulah Bung Tomo
menggelorakan semangat jihad arek-arek Surabaya melawan Belanda.


Pertempuran heroik kala itu mendapat du kungan ribuan santri dan umat Islam
Surabaya yang digerakkan para kiai, termasuk Kiai Wahab. Bukan kali itu
saja Kiai Wahab mendukung pertempuran fisik. Sebelumnya ia telah
berkali-kali terlibat dalam Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah, dan
Barisan Kiai melawan penjajah. Maka, sudah sepantasnya ia mendapat gelar
Pahlawan Nasional.






Sebagai figur ulama-politisi, Kiai Wahab dikenal sebagai sosok yang
progresif, terbuka, dan toleran. Dalam forum bahtsul masail muktamar NU, ia
sering memberikan pandangannya yang mampu menerobos berbagai macam
kebuntuan (mauquf) soal keagamaan. Ia lebih mengutamakan dalil rasional
ketimbang doktrinal. Meski tidak jarang ijtihadnya kontroversial dan
berseberangan dengan ulama lain.






Jauh sebelum Gus Dur mentradisikan kebebasan berpikir dan berpendapat di
kalangan Nahdliyin, Kiai Wahab telah merintis hal itu, bahkan sebelum NU
berdiri. Melalui forum diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran)


yang didirikannya pada 1914 di Surabaya, Kiai Wahab mendorong lahirnya
sikap berpikir yang kritis, tidak jumud, dan progresif. Forum ini awalnya
untuk mendiskusikan isu-isu keagamaan yang menjadi perdebatan kalangan
modernis, reformis, dan tradisionalis Muslim.






Dalam perjalanannya, banyak tokoh dari kalangan Muslim maupun nasionalis
terlibat dalam forum ini untuk mendiskusikan berbagai permasalahan agama,
sosial, dan bangsa. Forum ini juga menjadi ajang komunikasi sekaligus
jembatan antara generasi muda dan tua. Lebih lanjut kelompok diskusi ini
menjadi semacam laboratorium pengaderan bagi kaum muda yang gandrung pada
pemikiran keilmuan dan dunia politik.






Sikap keterbukaan dan menghormati keragaman adalah salah satu warisan
penting Kiai Wahab bagi umat Islam Indonesia saat ini. Di saat umat sering
terpecah belah dalam menyikapi perbedaan, forum semacam Tashwirul Afkar
penting dihadirkan kembali. Ruang-ruang diskusi antarumat yang berbeda
aliran, mazhab, orientasi politik, dan lainnya perlu digalakkan. Agar
setiap perbedaan tidak disikapi dengan emosi, takfiri, apalagi aksi dan
kontestasi massa.






Para elite Muslim yang berada di pucuk pimpinan, baik di organisasi
keagamaan, politik, maupun kemasyarakatan perlu membuka akses dialog dan
diskusi seluas-luasnya dalam menyikapi tiap perbedaan dengan kelompok lain
di internal maupun eksternal organisasinya.






Seperti perpecahan yang terjadi di internal PPP. Sebagai partai politik
berbasis Islam yang salah satu pimpinannya Romahurmuziy adalah cicit Kiai
Wahab, alangkah elok jika partai ini dapat mencapai islah dan bersatu
kembali.






Perpecahan hanya akan menambah beban permasalahan umat, sedangkan persoalan
yang ada sudah kian kompleks dan beragam. Tantangan kehidupan berbangsa dan
bernegara ke depan tidak mungkin diselesaikan hanya oleh satu kelompok atau
satu umat saja. Diperlukan kebersamaan dan kekompokan semua elemen bangsa
untuk menata Indonesia ke depan yang lebih maju dan berdaulat. Selamat Hari
Pahlawan! []






REPUBLIKA, 11 November 2014
Mohammad Affan  ;  Peneliti pada Forum Kajian Islam dan Politik UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke