Narasi Wayang dalam Konteks Kekinian

Oleh: Sarah Monica






-- Malam itu (Senin, 10/11/14), suasana pendopo Pondok Pesantren Budaya
Kaliopak di Piyungan Bantul hangat dan khidmat oleh diskusi “Epos
Mahabharata, Lakon-lakon Wayang Jawa dan Filsafat Humaniora Barat: Dibaca
Berdampingan”.




Curahan hujan beberapa saat yang membawa gigil dingin pun tidak menjadi
momok bagi seluruh peserta yang hadir. Diskusi ini merupakan Sarasehan
Bersama, sebuah acara pembuka dari rangkaian kegiatan “Pekan Peringatan 11
Tahun Wayang Pusaka Kemanusiaan Dunia: Pengukuhan UNESCO 2003-2014” yang
diselenggarakan oleh Ponpes Kaliopak mulai 1 November hingga 6 Desember
nanti.




Diskusi ala jagongan ini mengundang para pembicara terkemuka, seperti Prof.
Manu J. Widya Saputra (Filolog Universitas Gadjah Mada), Dr. St. Sunardi
(Pengajar Sanata Dharma), Dr. C. Holland Taylor (Peneliti dan Spiritualis
Jawa), serta Ki Suharno Cermo Sugondho (Dalang Wayang). Dimoderatori oleh
Kyai M. Jadul Maula, pendiri Ponpes Kaliopak sekaligus penggagas acara
Pekan Budaya ini, diskusi berjalan selama hampir tiga jam. Pemilihan tema
sarasehan berdasarkan pada upaya untuk memahami kontekstualisasi dan
relevansi wayang dalam dimensi hidup kekinian.




Kecintaannya pada wayang, membuat seorang St. Sunardi tidak hanya
menjadikan wayang sebagai suatu hiburan seni yang dinikmati tiap waktu,
nyaris menjadi sebuah rutinitas harian. Melainkan juga sebagai kendaraan
reflektif atas kehidupan yang ia lakoni. Berdasarkan pengalamannya menonton
pertunjukan wayang atau sekadar mendengarkannya di radio, St. Sunardi
menjelaskan bahwa ada tiga tahap proses dalam menikmati wayang. Hal
pertama, tahap paling permukaan, adalah menikmati wayang berdasarkan
lakonnya. Bila telah melampaui tahap itu dan mampu merasuk lebih dalam,
tahap selanjutnya ialah tahap “raos” (rasa) yang artinya tahap untuk
memaknai atau “neges”. Hingga di titik akhir sebuah proses penikmatan
wayang akan bermuara pada tahap “beber”, dimana nilai-nilai pemaknaan yang
telah diperoleh, disebarkan kembali hingga kemudian menjelma sebuah proses
penciptaan dan pemaknaan ulang yang terus-menerus.




Menanggapi kisah pengalaman St. Sunardi sebagai penikmat wayang, Manu J.
Widya Saputra, filolog UGM yang telah berkeliling banyak negara demi
meneliti naskah-naskah wayang (terutama naskah Mahabharata), bercerita
bahwa bahasa Sanskerta yang menjadi bahasa awal penulisan wayang merupakan
akar bahasa dari bahasa-bahasa Indo-Eropa. Bahasa, dalam kesimpulannya,
turut mempengaruhi kesucian atas makna yang dikandungnya. Sebagaimana
agama-agama menggunakan bahasa tertentu sebagai medium artikulasinya,
wayang pun demikian. Tanpa memakai bahasa Jawa Kuno, wayang tidak lagi
menjadi sebuah pertunjukan yang sakral, yakni ketika rentang dunia
transenden memiliki ikatannya dengan realitas masa kini. Ini menjadi
persoalan, karena penguasaan bahasa Jawa Kuno oleh orang Jawa sendiri
justru semakin melemah dari generasi ke generasi. Sehingga tradisi gagasan
pengetahuan yang disajikan dalam lakon-lakon wayang menjadi semakin jauh
dari pemahaman manusia abad ini.




Pertempuran hidup, dalam konteks ruhaniah, merupakan syarat mutlak bagi
perjalanan tiap insan di dunia. Lakon perang Bharatayuda telah menceritakan
peristiwa tersebut sebagai takdir yang tidak mungkin dihindari. Kisah
Mahabharata sendiri berawal dari cerita pertempuran di padang Kurusetra
ini, yang menurut Prof. Manu, di India naskah khusus Bharatayuda telah
berevolusi hingga menjadi 24.000 sloka. Pengendalian dan penyucian diri
demi memenangkan pergolakan ruhaniah, pada akhirnya menjadi salah satu

siasat utama. Jika menyaksikan praktik-praktik kebatinan di Jawa atau
ritual sufistik dalam Islam, hal ini menjadi contoh-contoh yang relevan.
Holland Taylor, spiritualis Amerika yang kini telah menjadi warga negara
Indonesia, mengisahkan bagaimana pada abad 19 Masehi peristiwa Romantic
Movement yang berlangsung di Jerman menarik untuk dianalisis. Alih-alih
Gerakan Romantik Perancis yang lebih menekankan sisi estetika semata dalam
dinamika budaya mereka, di Jerman gerakan ini justru menjelma gerakan
spiritualis murni. Schopenhauer, Wagner, Goethe, sedikit dari sekian banyak
pemikir dan seniman yang secara langsung maupun tidak tergolong dalam
gerakan ini. Fenomena tersebut menurut Holland, membuktikan bahwa gerakan
spritualis tidak melulu lahir dan berkembang di dunia Timur, melainkan juga
berlangsung di belahan bumi Barat.




Di tanah Jawa, gerakan spiritualitas melalui wayang dapat dikatakan telah
berlangsung sejak beratus-ratus tahun lalu dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Ia menggunakan wayang untuk menyebarkan nilai-nilai Islam pada masyarakat
Jawa yang kala itu masih beragama Hindu. Kemampuannya dalam mencarang lakon
tanpa mengubah aspek moral dan filosofi wayang, menunjukkan bahwa Sunan
Kalijaga mampu membuka dimensi baru dari wayang yang tidak hanya menjadi
kerangka sistem sosial dan kultural orang Jawa, melainkan juga menjadi
sebuah jalan pencarian menuju Tuhan. Dari titik inilah, spiritualitas pun
bisa terbangun melalui kedalaman pemaknaan terhadap lakon-lakon pertunjukan
wayang.




Di penghujung acara, dalang muda Ki Harno mengungkapkan bagaimana ia dan
teman-teman dalang lain berupaya untuk terus melestarikan wayang sebagai
akar budaya Jawa. Semata-mata agar keindahan nilai etik dalam tubuhnya
tetap menjadi cara pandang dan jalan hidup masyarakat zaman ini, di saat
gempuran media informasi dan bentuk hiburan kontemporer semakin merasuki

fondasi budaya lokal.




Pada akhirnya, perjalanan diskusi Sarasehan Bersama mampu mengantarkan tiap
peserta yang hadir pada narasi pemahaman dan penghayatan yang baru tentang
wayang. Diskusi ditutup tepat menjelang tengah malam. []






Jogja, 14 Nov 2014






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke