Saatnya PMII Kembali ke Pangkuan NU

Oleh: Abdul Rahman Wahid






--Wacana kembalinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjadi
Badan Otonom (Banom) Nahdlatul Ulama (NU) mulai memasuki titik ujung. Hal
ini didasarkan pada hasil Sidang Komisi Organisasi Musyawarah Nasional Alim
Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) pada Sabtu, 1
November 2014. PBNU dan perwakilan wilayah NU dari seluruh Indonesia telah
sepakat memberikan tenggang waktu kepada PMII hingga menjelang Muktamar NU
2015 nanti. Jika tidak ada sikap PMII kembali ke NU, ada kemungkinan NU
akan membuat organisasi kemahasiswaan yang baru di bawah naungan NU.






Menilik pada sejarah, berangkat dari hasrat atau panggilan nurani mahasiswa
NU untuk mendirikan organisasi merupakan hal yang wajar, karena kondisi
sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk
mendirikan organisasi baru.







Hasrat tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk Ikatan Mahasiswa NU
(IMANU) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa pimpinan pusat dari
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun IMANU tak berumur panjang,
karena PBNU secara tegas menolak keberadaannya. Tindakan keras itu
dilakukan lantaran IPNU baru saja lahir, yakni pada tanggal 24 Februari
1954. “Apa jadinya jika baru lahir saja belum terurus sudah terburu
menangani yang lain,” logika yang dibangun oleh PBNU. Jadi keberadaan PBNU
bukan pada prinsip berdiri atau tidak adanya IMANU tapi lebih merupakan
pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas waktu.






Pada tanggal 14-16 Maret 1960 IPNU menggelar Konferensi Besar di
Kaliurang,  Yogyakarta. Konferensi inilah yang menjadi cikal bakal
pendirian suatu organisasi mahasiswa yang terlepas dari IPNU baik secara
struktural maupun administratif, kemudian dikristalkan dengan nama PMII.
Selanjutnya, PMII diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibuat di
Surabaya. Tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khodijah pada tanggal 17 April
1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H.






Independensi PMII






Jatuhnya rezim Orde Lama dan naiknya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru
telah membawa Indonesia kepada perubahan politik dan pemerintahan baru.
Pada masa Orde Baru (1966) situasi sosial politik semakin panas dan banyak
organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan kekuatan politik
untuk sepenuhnya mendukung dan menyokong kemenangan partai. Akhirnya, PMII
yang sejak kelahirannya sedikit banyak terpengaruhi oleh kondisi politik,
gerakan PMII juga cenderung bersifat politik praktis dengan menjadi
Under-bow partai NU.






Keterlibatan PMII dalam dunia politik praktis semakin jauh pada pemilu
pertama, tahun 1971. Keterlibatan tersebut disinyalir sangat merugikan
gerakan PMII sebagai organisasi mahasiswa, yang menyebabkan PMII mengalami
kemunduran  dalam banyak hal. Hal ini juga berakibat buruk pada beberapa
Cabang PMII di daerah-daerah.






Kondisi ini menuntut PMII untuk mengkaji ulang gerakan yang telah
dilakukannya, khususnya dalam dunia politik praktis. Setelah melalui
berbagai pertimbangan, maka pada Musyawarah Besar tanggal 14-16 Juli 1972
PMII mencetuskan deklarasi Independen di Murnajati, Lawang, Jawa Timur,
kemudian dikenal dengan “Deklarasi Murnajati”.






Sejak itulah PMII secara formal-struktural lepas dari naungan partai NU.
PMII membuka ruang sebesar-besarnya tanpa berpihak kepada salah satu partai
politik. Pada saat itu PMII Cabang Yogyakarta mendorong secara total di
canangkannya independensi PMII. Dengan alasan bahwa PMII sebagai organisasi
kemahasiswaan dan kelompok insan akademis yang harus bebas menentukan sikap.






Menakar Kembalinya PMII Pada Rahim NU






Melihat fakta sejarah, keluarnya PMII dari naungan NU lantaran NU menjadi
Partai Politik. PMII sebagai gerakan mahasiswa terpasung dalam bergerak.
PMII lebih menjadi under-bow NU di level mahasiswa. Sikap kritis dan
kepekaan sebagai organisasi kemahasiswaan tumpul dengan sendirinya. Namun,
ada beberapa hal kenapa hari ini PMII dirasa penting kembali ke pangkuan NU.






Pertama, muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, di bawah kepemimpinan
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) NU menyatakan sikap “kembali ke khittah
1926”. NU melepaskan diri sebagai partai politik dan kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan.






Dengan demikian, alasan keluarnya PMII karena NU menjadi partai politik
hari ini sudah tidak dibenarkan lagi. Kembalinya NU ke khittah 1926
membenarkan kembalinya PMII menjadi badan otonom NU. Karena cita-cita yang
diusung keduannya sama.






Kedua, berakhirnya otoritarianisme Orde Baru dan munculnya era reformasi.
Dimana, PMII pada masa Orde Baru memakai logika vis a vis terhadap Negara
dengan selalu melakukan kritik. Sikap ini dibenarkan karena Soeharto pada
saat itu memimpin dengan cara militeristik, memasung dan menindas hak
kebebasan semua warga serta memihak pada golongan tertentu. Hadirnya Negara
pada masa Orde Baru sangat represif, PMII menyadari itu.






Akan tetapi, kehadiran Negara pasca reformasi berbeda jauh dengan Orde
Baru. Kebebesan sudah bisa dirasakan oleh semua elemen masyarakat
Indonesia. Saat ini mesin kekuasaan sudah bergerak cepat dan terbuka lebar,
bersikap demokratis transformatif adalah pilihan yang harus diambil.
Memperbaiki dari dalam mendorong agenda kesejahteraan  merupakan agenda
besar yang harus terpatri secara terus menerus dalam tubuh PMII.
Bagaimanapun juga PMII dan NU sama-sama mempunyai komitmen menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).






Ketiga, munculnya kelompok-kelompok makar dengan nama agama dan spirit
Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang diusung PMII dan NU. Banyaknya
kelompok makar yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam
merupakan masalah serius. Jika hal ini dibiarkan maka cita-cita NU dan PMII
tinggal slogan saja.






NU maupun PMII sudah final dengan Pancasila dan NKRI merupakan harga mati.
Dengan berlandaskan Aswaja, selama ini NU dan PMII merupakan kelompok Islam
Indonesia yang sangat toleran dengan kelompok lain. Nah, kalau NU dan PMII
berjalan dengan sendiri-sendiri kekuatan besar itu akan terbelah menjadi
dua.






Berangkat dari kultur dan tradisi yang sama, bagaimanapun juga PMII adalah
tameng terakhir yang bergerak di level mahasiswa (pemuda) dalam
mempertahankan paham Aswaja. Untuk menjadi jamaah yang besar dalam
merealisasikan cita-cita bangsa PMII harus menjadi bagian dari NU. Dengan
demikian, jika PMII kembali ke pangkuan NU, eksistensi Pancasila dan
Keutuhan NKRI akan semakin terjaga pula. Agar Islam yang menghargai sesama,
menghargai tradisi, dan Islam yang rahmatal lil ‘alamin ini tetap menjadi
ciri khas Islam Indonesia.






Menurut penulis sendiri, wacana kembalinya PMII menjadi Badan Otonom NU
bisa dibenarkan untuk saat ini. Seperti yang telah disampaikan oleh PBNU
dan juga para sesepuh PMII. Dimana, selama ini ada keterputusan jenjang
kaderisasi. IPNU sebagai organisasi pelajar juga bergerak di Perguruan
Tinggi. Agar kaderisasi IPNU fokus di pelajar, NU butuh wadah yang jelas di
level mahasiswa. PMII merupakan oraganisasi yang tepat, karena PMII lahir
dari rahim NU.






Namun penulis di sini melihat ada dua hal urgen yang harus dilakukan PMII
ketika sudah kembali ke naungan NU. Pertama, PMII mampu menginternalisasi
pemahaman Aswaja. Karena sejauh ini saya melihat pemahaman Aswaja bukan
menjadi hal utama dalam kaderisasi PMII. Seakan-akan pemahaman Aswaja
dianggap cukup karena kader PMII mayoritas dari pesantren yang kulturnya
NU. Generalisasi semacam ini tidak bisa dibenarkan.






Kedua, tidak ada patronase pada partai politik. Jika PMII berpatron pada
partai politik dan cenderung menjadi tujuan utama untuk meniti karir ini
akan berakibat fatal. Spirit kembalinya PMII ke pangkuan NU tak akan
membuahkan hasil apa-apa. Namun bukan berarti PMII tidak boleh berpolitik.
Yang dimaksud di sini adalah, tradisi transaksional yang mengatasnamakan
organisasi harus dihilangkan. Bagaimanapun juga NU dan PMII mempunyai dua
identitas, NU dan PMII sebagai organisasi serta NU dan PMII sebagai Jamaah.






Saya rasa, jika dua hal di atas di penuhi maka kembalinya PMII menjadi
badan otonom NU akan menjadi kekuatan besar di Republik ini. Keberadaan
PMII dan NU akan menjadi tameng pertahanan NKRI. Sejarah pun akan mencatat
momen penyatuan kembali NU dan PMII. Sehingga membicarakan Indonesia tidak
lengkap tanpa membicarakan NU dan PMII juga. Karena Indonesia, NU dan PMII
tiga hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika ingin berbicara pada sejarah,
inilah saat yang tepat PMII kembali kepangkuan NU. []






Abdul Rahman Wahid, pengurus Rayon PMII Ashram Bangsa, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Masa Khidmat 2014-2015.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke